Wira sudah menduga kalau Erhan akan kembali berteleportasi untuk menghabisinya, ia hanya tidak bisa menebak dari arah mana Erhan akan menyergap. Sehingga ia pun berjudi kembali dengan keputusannya.
Bertaruh pada pendengaran, kecepatan refleks tubuh, dan sedikit dorongan kecepatan kilat yang sengaja dihimpun. Sehingga ketika Erhan menyergap dari balik punggungnya, meski harus sedikit terpaksa memutar badan, ia sudah siap.
Kilat selalu memukau dan mengejutkan, meski sebetulnya yang membuat bergidik adalah yang menyusul setelahnya. Petir.
Mitosnya, Petir tidak pernah menyambar titik yang sama untuk kedua kalinya. Faktanya, Petir bisa, dan bahkan seringkali menyambar titik yang sama berulang kali.
Dan malam ini, Petir yang dilepaskan oleh Wira sedetik pasca pedangnya tercabut, menyambar Erhan tiga kali berturut-turut.
Sambaran pertama, terlontar bersama ayunan katana yang serta-merta menetralisir hujaman sepasang Khopesh-nya. Ia tercengang, senjatanya tercampakkan, pertahanannya terbuka lebar.
Sambaran kedua mendarat sesudahnya. Hantaman telak dari serangka eboni mengkilat yang meremukan rusuk kanan. Erhan yakin jeroannya juga pecah atau koyak.
Sambaran pamungkas sedikit berjeda dari yang kedua meski jauh lebih mematikan. Bertumpu pada pijakan kirinya, Wira menyorong pedangnya telak ke jantung Erhan.
Kekuatan geledek yang menyertai mengirim mereka berdua terbang melintasi lapangan parkir, sebelum berakhir menumbuk keras ke tembok pembatas.Layaknya ketika badai, setelah petir yang meledak hebat susul-menyusul, penutupnya adalah hening.
Erhan nampak tercekik dan memuntahkan darahnya sendiri. Darah juga mengucur dari ujung pedang yang menembus tembok dan tubuh Erhan sekaligus, jatuh ke permukaan paving block yang berada empat lantai di bawahnya.
Manusia biasa pastinya sudah mati jika mengalami hal ini, akan tetapi Erhan adalah Aeternum, mahkluk kekal. Ia masih hidup walaupun juga tengah berada di titik nadir. Napasnya teramat berat dan berungkali terbatuk darah.
Erhan Sumer tidak menyangka jika dirinya akan tumbang semudah ini, satu jurus dan pertarungan mereka usai. Satu jurus dari seorang ‘pemula’ yang usianya tidak sampai se-persepuluh usianya sendiri.
Ia tidak hanya dikalahkan oleh anak didik muda ini, tetapi juga dibuat hancur egonya. Kiranya ia terlalu menganggap enteng Wira yang masih hijau ini untuk ukuran seorang Aeternum. Pada penghujung nyawa ini, Erhan mengibarkan bendera putih dalam benaknya.
“Aku tidak pernah membencimu, jadi maaf kalau harus berakhir seperti ini.” Wira berdiri tegak menyandang serangka pedangnya di hadapan Erhan.
“Tidak perlu bersimpati. Itu tadi pertarungan yang adil dan ksatria. Hadiah bagi yang kalah dalam pertarungan semacam ini adalah kematian terhormat itu sendiri.” Erhan menjawab dengan pedang masih menancap di jantungnya.
“Karena pada akhirnya, hanya akan ada seorang yang layak.”
Ia memberi isyarat pada Wira untuk segera mengakhiri semuanya.
“Aakkh…..!” Erhan memekik tertahan.
Wira perlahan mencabut pedangnya dan Erhan pun terbebas dari pasungan, hanya untuk kemudian jatuh bersimpuh pada kedua lutut, bahunya bergetar hebat. Darah terus terpompa keluar dari tubuhnya yang menganga, ia terlalu lemah untuk menyembuhkan diri.
Aerternum memang mahkluk yang kekal, akan tetapi bukan tanpa batasan. Fisik mereka mampu menyembuhkan segala macam luka, luar maupun dalam, lengan yang terpotong bahkan dapat pulih.
Sementara serangan telak ke jantung mampu melumpuhkan metabolisme serta regenarsi super reaktif seorang Aeternum, pancungan di leher akan segera membinasakan mereka.
“Setelah kau mencabut nyawaku. Akan semakin banyak yang mendatangimu, mereka yang menginginkan kekuatan atau kemahsyuran, bersiaplah wahai Padawan muda.” ucap Erhan yang sorot matanya telah melemah dan pasrah menerima nasibnya.
Wira bergeming dengan pedang terhunus bermandi darah. Untuk sekejap pandangannya menerawang jauh. Selama bertahun-tahun ia telah berusaha mengaburkan jejak gurunya, demi menghindari terseret dalam kompleksitas semacam ini yang juga ikut terwarisi kepadanya.
“Bagaimana jika aku tidak tertarik untuk mencabut nyawamu?” tanya Wira.
“Maka kita akan berjumpa lagi, aku akan tetap mendatangimu lagi. Bertarung dalam Turnamen Agung adalah takdir para Aerternum, terlepas soal bagaimana takdir memilih. Ingatlah, mengabaikannya berarti juga mengingkari wasiat gurumu.”
Wira mengangguk pelan, mengamini retorika Erhan. Sedangkan Erhan kini bernapas dengan lebih ringan, dipejamkannya kedua mata birunya itu, lalu menegakkan lehernya.
“Selamat jalan.” Wira bersiap mendendangkan kematian.
“Terima kasih… Jangan lupa, pada akhirnya… hanya akan ada satu orang yang layak. Dan dia… yang terpilih… akan menanggung tanggung jawab besar… kepada dunia.”
Wira mengangguk khidmat, selanjutnya mencengkram katana-nya dengan mantap dan mengambil napas perlahan. Bilah pedangnya kembali dialiri jilatan kilat kebiruan. Dengan satu tarikan napas, seberkas kilasan cahaya biru mengakhiri perjalanan Erhan Sumer.
Tepat, cepat, tanpa rasa sakit.
Sewaktu kepala dan tubuh bongsor Erhan mulai berguling terpisah, energi yang besar melompat dari dalamnya dan membungkus sekujur tubuh Wira.
Tak ubahnya diguyur jutaan kubik air terjun yang paling besar secara bersamaan, perpindahan kekuatan itu juga membawa serta pengetahuan yang Erhan miliki sepanjang hayatnya, termasuk di dalamnya kenangan semasa hidup.
Kesemuanya membombardir setiap jengkal syaraf dan panca indera Wira, berusaha menyatu dengan segala yang telah ia miliki sebelumnya. Tubuhnya seolah tengah menjembatani pertemuan dua arus sungai yang terlampau deras, yang malah seakan berusaha menggulungnya.
Dan ketika upaya itu akhirnya paripurna, residu dari penyatuan tadi melonjak sebagai tsunami gelombang elektromagentik kuat yang menyapu segala yang terjangkau.
Memecahkan kaca dan bohlam, memadamkan gardu listrik sepanjang belasan belasan blok, termasuk membakar segala perangkat elektronik sensitif terutama yang berbasis frekuensi radio.
Praktisnya, beberapa ratus orang yang sedang asyik ngedugem atau menikmati pertarungan MMA di gelanggang, juga sedang karaoke di sekitarnya akan terpaksa membeli ponsel baru besok pagi.
Halo teman-teman pembaca, silahkan untuk memberi rating ke cerita Sang Pewaris sebagai bentuk apresiasi atau koreksi terhadap saya. Sehingga semakin banyak teman seperjalanan dalam mengikuti petualangan Wira. Trims.
Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberad
Aerternum, demikian mereka menyebut kaum mereka sendiri, atau paling tidak begitu yang Wira ketahui berdasarkan cerita mendiang gurunya. Aeternum secara sederhananya adalah kumpulan manusia kekal yang sudah ada entah sejak kapan, mungkin ratusan atau ribuan tahun yang silam, dengan satu tujuan hidup utama yang mengikat mereka. Turnamen Agung. Mereka adalah manusia yang menggemari pengetahuan, segala jenis dan tentu saja pengetahuan tentang cara menghabisi satu sama lain dengan efektif. Apakah tujuan dan hadiah kemenangan dari Turnamen Agung ini? Wira tidak tahu, karena gurunya pun tidak tahu, segalanya simpang siur. Hanya satu hal yang Wira tahu, Aeternum yang terakhir hidup yang akhirnya akan dapat menyingkap misteri ini. Demikianlah, takdir mereka untuk saling membinasakan satu sama lain digelar. Dan kini, Wira ikut terseret dalam benang kusut ini juga. Gurunya percaya, berdasarkan Aeternum lain yang pernah ia jumpai, bahwa pemenang terakhir
Jadi, Wira masih penasaran dengan lukanya sendiri. Ia meneliti perban di punggung dan yang sekujur lengannya pada pantulan cermin wastafel. Digerakkan juga sendi bahunya, masih sedikit terasa perih di balik perban yang membuatnya meringis. “Anjir!” umpatnya lirih. Semalam adalah peralunan terbesar setelah sekian lama ia menghindari konflik dengan sesama Aeter. Terakhir kali ia merasakan gejolak kekuatan yang sama besarnya seperti semalam adalah sepuluh tahun silam. Kesadaran yang membaling ini seolah menggambarkan betapa kemenangannya semalam sungguh tipis. Ia berharap yang terjadi semalam itu tidak perlu dialaminya kembali, tetapi ia juga sadar harapannya yang barusan itu konyol. Dinyalakannya keran air dan beberapa kali diraupnya banyak-banyak tangkupan air dingin. Rasanya tubuhnya sudah jauh lebih baik ketimbang semalam, kecuali sedikit nanar oleh pusing yang masih menggelayut. Ia bahkan tidak ingat apa-apa kecuali aroma parfum mobil Audrey
Wira tiba dikantornya tepat waktu jam makan siang, sudah berganti pakaian dan diantar oleh Audrey. Hari ini ia izin setengah hari, tetapi ia tidak yakin kalau izinnya diterima karena Vina hanya sekedar membaca pesannya. Dan tebakannya sesuai, singa betina itu masih saja galak ketika sesi rapat berlanjut selepas waktu ishoma. Wira duduk mengambil tempat agak di belakang rombongan leader sales yang hari ini dipanggil semuanya. Entah ini sekedar perasaannya atau bukan, satu-persatu orang yang duduk di dekatnya ditembaki oleh Vina perihal target yang masih belum tercapai. Kecuali dirinya yang sekarang tidak lebih seorang clerk. “Kalau semuanya tidak disiplin maka proyeksi bulan ini akan meleset, absensi sales kalian ke outlet juga saya perhatikan acak-acakan. Lantas bagaimana kalau bukan berikutnya kita akan perkenalkan produk baru di distributor dan mitra?” Vina memampangkan tabel pivot dari beberapa leader sales yang masih belum mencapai target areanya
“ECU-nya mati. Jadi mesin tidak bisa dinyalakan. Sehingga saya menumpang mobil teman perempuan saya untuk pulang, dan motor saya tinggal.”Untuk kedua kalinya Wira menjabarkan alasannya meninggalkan motor di parkiran Tropico, klab malam sekaligus sasana MMA amatir, malam itu. Ia menahan dongkol dengan bersandar pada kursi lipatnya karena si pendengar sepertinya budeg atau memang pandir.“Bukankah tadi anda bilang mesinnya baik-baik saja? Lantas kenapa ECU tidak menyala?”Entah polisi gaek yang mengetik dengan sebelas jari dan rokok terselip ini berusaha menyelidik atau memang dasarnya bebal, Wira lebih yakin alasan kedua sebetulnya.“ECU-nya…” Wira menarik napas lagi. “ECU yang mengatur sinyal kelistrikan usupaya ketika mesin dinyalakan, ada pembakaran untuk kompresi karena motor saya sistem injeksi.”“Seperti belasan motor dan mobil mereka juga di ruangan ini. Atau jutaan orang lainnya d
“Senin besok lo naik Ojol aja ya, kayaknya nggak bisa mendadak jemput lo juga kayak sore ini.” Audrey tiba-tiba berujar di tengah suasana hangat warung tenda nasi goreng pinggir jalan malam itu.“Ya gue juga nggak mungkin minta jemput terus. Mulai sibuk sama perkuliahan lagi? Apa banyak job?” Wira bertanya seraya menumpuk nasi gorengnya pada sepotong kerupuk mungil.“Gue dapet tawaran iklan dan peran pembantu gitu dari kenalan gue. FTV sih, tapi langkah awal bukan?” ujar Audrey dengan bangga.Wira sejenak memproses informasi ini sekaligus suapan nasi goreng di kerupuknya bersamaan. Ia tentu saja senang mendengarnya, Audrey sudah sejak lama mengejar mimpi ini dengan mengorbankan kuliahnya, sejak mereka saling kenal bertahun-tahun silam bahkan.“Kenalan apa kenalan tuh?” seloroh Wira. Lanjut mengosongkan sepiring Nasi Gorengnya.“Kenalan … ya tapi kalau dia ngarep gue jadi sugar babyn
Bagi seonggok tubuh yang penat, segalanya dapat berubah sandaran yang nyaman. Sekedar bantalan punggung tempat duduk di gerbong kereta komuter pun seolah bantalan mahal milik hotel bintang lima yang empuk. Seperti biasa, kereta terakhir dari stasiun ini tidak akan pernah berjejal oelh penumpang, gerbong tempat Wira bercokol hanya terdapat dirinya, beberapa orang lagi menempati rangkaian yang lain. Kontras dengan keadaan beberapa jam kedepan ketika berangkat di jam subuh dari stasiun pertama. Orang-orang perlu berdesakan sekedar untuk mendapatkan tempat bergelantungan saja. Untuk saat ini kesunyian gerbang kereta terakhir itu bisa dimonopolinya sendiri. Kalau bisa dikangkanginya dengan menutup kedua pintu sekat gerbong. Hanya saja ia masih cukup waras untuk tidak dilarang seumur hidup menaiki KRL, atau pentung dan dipaksa turun akibat meresahkan publik. Fuck! Ia mendesah pendek, hela napas beratnya mengkonfirmasi kelelahan yang merundungi badan. Meskipun untuk
Si Ninja yang masih samar wujudnya itu berusaha bertahan melawan serangkaian tebasan yang Wira lancarkan dengan sebelah tangan. Dengan sabitnya ia mati-matian membendung silih berganti tebasan Murakumo yang menyergap dalam kegelapan, sebelum akhirnya terpaksa mundur oleh keadaan. Kalah taktik.Si Ninja sadar senjatanya bukan dimaksudkan untuk bertarung dengan cara demikian. Ia melenting dan bersalto ke belakang sekaligus melepaskan serangkaian shuriken lagi untuk memutus langkah pengejarnya.Wira cukup mengibaskan sekali saja pedangnya dan sekumpulan senjata lempar itu kembali bergemerincing tumpah di aspal. Namun, ia tidak bermaksud membiarkan lawannya bernapas lega, atau kembali menyusun siasat.Segera setelah menyarungkan Murakumo, ia merunduk serendahnya, lalu menerjang dengan derap langkah bermandi petir kebiruan yang meminjaminya kecepatan dewa. Matanya berkilatan.Sang Ninja sontak terkejut merasakan ledakan energi Simulakrum dari arah Wira meski b