Share

Sang Pewaris
Sang Pewaris
Author: whip

Permintaan Terakhir

Menteng Dalam. 2008.

Takdir dan kematian tak ubahnya sahabat karib bagi kehidupan manusia yang semata wayang. Sesuatu yang pasti menjelangi. Sebuah keniscayaan. Hanya perkara kapan dan di mana. Tak terkecuali bagi Aryo Yuda Iskandar yang telah lama mengenyam keabadiaan.

Selama ratusan tahun dia tidak pernah menempatkan kematian dalam tampuk musuhnya, Aryo sejak lama merendahkan egonya terhadap kepastian ini. Malahan, petang ini, dirinya justru menyambut hadirnya kematian seolah sekadar kawan lama yang menjemput. Dia sudah siap untuk dijemput pulang kendatipun kepadanya Aryo meminta untuk menunggu barang sejenak di selasar depan.

Bagi segelintir koleganya, Aryo tak lebih sekadar pengusaha muda berusia pertengahan 30 tahun. Orang akan menyebutnya mati muda setelah petang ini bergulir. Akan tetapi, bagi penuai nyawa yang kian gelisah menunggu, Aryo sudah terlalu lama mencurangi jatah umurnya, atau umur kebanyakan manusia. Satu dari sekian banyak sepertinya yang menumpuk di daftar tunggu.

Kini, Aryo hanya terbujur ditemani pelayan setianya, Watari Kuranosuke, sementara bentangan kain putih yang ditegakkan di sepanjang ruang latihan itu telah mengepung keheningan mereka. Lelaki Jepang berusia lima puluhan yang satu dekade telah melayaninya itu bersimpuh membisu, tidak bersuara sepatah katapun di sisi majikannya yang sekarat.

Kimono yang dikenakannya putih, kendati penuh bercak merah dari dadanya yang terbedah, menampakkan jeroan yang berkedut-kedut mengikuti ritme napas.

Aryo mengulur kepergiannya dengan menekuri rintik hujan pada genting, sedangkan sang maut kian gelisah dalam penantian di serambi luar, bolak-balik mengintip menembus dinding rumah dan tirai yang menghalangi pandangan.

Baru ketika telinganya menangkap gema kertuk lantai kayu dipijak langkah setengah berlari menuju ruangan mereka, wajah muram lesu itu sedikit mendapatkan angin. Lalu tirai putih itupun tersibak. Seorang remaja ceking, jangkung, berseragam sekolah putih-abu mendekat dengan mata yang sudah memerah serta ujung rambut ikal yang kebas.

Tangisnya sudah pecah semenjak Watari mengabari ketika masih berada di sekolah. Setengah bagian seragamnya tampak lembap kusam.

“Kamu sudah datang, Wira? Syukurlah, kemarilah bujang. Aku ingin bicara padamu untuk terakhir kali.” dengan suara yang lemah Aryo meminta si remaja bernama Wira untuk mendekat. Kendatipun berupaya bibirnya mengulas senyum kebahagiaan.

“Saya minta maaf…saya minta maaf…saya minta maaf Sensei…”

Sekadar itu yang kini terucap oleh mulut remaja tanggung bernama Wira itu, dia kebingungan perlu berbuat apa melihat luka menganga di dada gurunya yang sekarat, Watari yang ditoleh demi sebuah petunjuk pun hanya menggeleng pelan dengan wajah muram kaku.

Aryo yang terbujur dengan kimono serba putih itu meraih genggaman tangan Wira, dengan segenap daya pemungkas yang dia masih miliki. “Semuanya adalah takdir, Wira. Termasuk kematianku petang ini, Boy. Takdir yang sudah kupilih. Sehingga kamu tak perlu tangisi.”

Kendatipun dia sadar, jika murid semata wayang itu masih terlalu belia untuk memahami soal pilihannya ini. Sehingga wajarlah saja seandainyapun kata-kata penghibur yang meluncur sesudahnya justru membuat sang murid kian bersimbah tangis tergugu.

“Aku hanya berharap satu, semoga kamu memaafkan saya untuk permintaan terakhir yang saya ingin ajukan.” Aryo melanjutkan. Dia membendung napasnya yang nyaris putus, dadanya berguncang.

“Apapun itu. Saya bersedia penuhi, Sensei.” Wira mengusap tangisnya dengan lengan baju.

"Jangan mudah berjanji, Bujang. Ingat itu. Lelaki tak boleh murah janji dan pantang pula untuk ingkar. Kau paham? Tetapi aku bersyukur karena engkau sudi memenuhi pintaku."

Aryo melirik lemah ke Watari yang sedari tadi berkhidmat menunggui. Sang pelayan memahami bahasa isyarat sang majikan dan menggeser sebuah kotak berukir dengan vernis hitam mengilat yang sejak tadi mensejajari duduk simpuhnya.

Perlahan dibuka penutup kotak dengan hiasan bangau-bangau berkaki jenjang di permukaannya itu. Dengan kedua tangan diraih isi kotak yang kemudian dihaturkan kepada Wira.

Kedua mata remaja SMU itu membelalak bulat oleh sebilah keris yang disodorkan kepadanya oleh pelayan sang guru. Kemudian, berkeliling pandang menelusuri bubungan, seolah petunjuk atas permintaan yang barusan disekapatinya itu tengah bercokol di sana.

Dia memang mantap bersedia memenuhi permintaan sang guru, tetapi bukan ini yang terlintas dalam benaknya tadi.

Aryo mengeratkan genggaman tangannya kepada Wira yang mematung dengan perasaan berkecamuk. Ia berkata, “Aku percayakan warisan hidupku kepadamu, Wira. Kini semua yang kumiliki akan menjadi milikmu. Termasuk takdirku dan segala yang terbawa bersamanya, demikian juga musuh-musuhku yang akan jadi musuh-musuhmu.”

“Tetapi…apakah…apakah saya pantas?” Wira mencari sorot mata keraguan dari gurunya yang terlihat kepayahan tetapi teguh, mencari penolakan yang sama dari Watari meski sang kepala pelayan juga bersikap sebaliknya.

“Kepantasan itu adanya dalam perbuatan, dalam tindak tanduk, dalam pembuktian, dan engkau punya banyak waktu untuk hal itu, Nak.”

Kemudian, matanya singgah pada keris yang masih bertengger pada kedua telapak tangan Watari. Sadarlah dia jika sebagian takdirnya petang ini telah tersegel rapat.

Aryo tampak merintih tertahan sekali lagi, kepayahan membendung nyawa yang sudah jatuh tempo, orang biasa barangkali sudah tewas sejam yang lalu. Tetapi sang kematian pun kini sudah tidak sabar lagi, dia tampak melongok dari ambang pintu.

“Ingatlah, Wira! Engkau adalah pewarisku, saksi hidupku.” Aryo mengatupkan rahang, menahan perih yang kian mengombak.

Matanya kemudian dipejamkan. Wajahnya tenang dan ikhlas. Wasiatnya sudah tersampaikan dan pewaris telah terpilih. Dalam gelap tabir penghujung hayat dia mengilas balik sepanjang kenangan, segala cita dan cinta, sembari menanti Wira menunaikan pinta.

Genap pada hari ketigaratus enam puluh lima semenjak perjumpaan mereka, Wira menyanggupi permohonan pemungkas sang guru. Bersama getaran hebat yang menggoyang sendi-sendi dinding ruangan, Aryo meninggalkan Wira dan Watari, melangkah ringan dengan kawan lama yang semenjak sore menanti. Listrik di sekitar mereka padam total.

Hujan yang turun deras sampai keesokan pagi sehingga kali Ciliwung meluap akhirnya menjadi pengiring kepergian. Kisahnya sudah purna, akan tetapi bersama laman yang tertutup itu, lembaran baru telah menanti bagi penyambung amanatnya.

Bagi pewarisnya.

***

Seumur hidupnya, baru hari ini Wira mengenakan setelan jas. Sayang, kali pertama ini juga hari penanda kehilangan sosok yang setahun terakhir memberi banyak warna pada sepenggal hidupnya. Padahal dia sudah akrab dengan kehilangan --ditinggal mati orang tua semenjak lama, tetapi taklantas menjadi kebas akan kehampaan akibat ditinggalkan seseorang mentor yang pergi setelah sempat mengisi penggalan hidupnya.

Sepulang dari pemakaman yang hanya dihadiri segelintir orang itu, Wira memilih rindangnya pohon mangga di halaman rumah sang guru untuk berlindung dari panas Jakarta.

Orang-orangan yang dipakai ketika pertama kali berlatih bermain pedang itu masih tegak berdiri di dekat pohon. Tegak kaku kendati penuh luka sekujur batang tubuhnya.

“Padahal buahnya tidak selalu bagus, tetapi Sensei selalu keberatan jika aku sarankan untuk ditebang.” Watari tahu-tahu muncul di halaman, dengan setelan jas hitam seperti halnya Wira.

“Sejak dahulu dia memang menggemari buah Mangga. Saking sukanya, sampai dibelinya beberapa hektare kebun di Indramayu. Sewaktu sempat tinggal di Jepang lagi, beliau sering minta dikirimi Mangga dari Miyazaki yang waktu itu sedang booming.” Watari yang mengusung sebuah map dokumen, serta sebuah benda panjang terbungkus rapi itu kemudian duduk di kursi beranda.

“Pantesan kalau ke pasar tradisional, beliau juga sering jajan Es Buah Mangga,” balas Wira yang kini beranjak mengekori.

Keduanya duduk bersebelahan dengan berselang satu meja kecil. Keduanya sudah sama-sama berdamai dengan kehilangan yang baru menimpa empunya rumah itu. Diam sejenak dalam sisa kenangan yang seolah berjam-jam lamanya.

“Sore ini, pengacara keluarga akan membacakan surat wasiat Sensei.” Watari membuka omongan terlebih dahulu.

“Beliau masih punya anggota keluarga lain?” tanya Wira.

“Teknisnya, hanya kita berdualah keluarganya.” Watari menjawab dengan ketenangan yang khas dirinya.

“Sudah kuduga.”

“Singkatnya, segala hal yang beliau miliki akan jadi milikmu, terlepas apakah kau keberatan atau tidak dengan hal ini. Tentu saja, keluarga Kuranosuke akan tetap mengurus semua asetnya seperti yang kami lakukan selama ini, hanya perlu sedikit penyesuaian legalitas yang kesemuanya sudah diurus. Segalanya dalam pengawasanku hingga kau merasa siap mewarisinya, atau kami anggap demikian, atau tidak sama sekali.” Watari bisa melihat jika remaja di dekatnya ini tampak sama sekali tidak tertarik, dia mengela napas berat, ini sudah diperkirakan olehnya dan mendiang majikan beberapa bulan lalu.

Wira memilih tidak menjawab, separuhnya karena dia sendiri tidak mengerti tetek-bengek perihal perusahaan yang gurunya kini wariskan kepadanya, sisanya karena merasa itu bukan miliknya. Biarlah keluarga besar Watari yang selama ini melayani sang guru yang memelihara itu, pikirnya.

Hanya saja sudut matanya terpaku kepada benda panjang yang bersandar miring pada meja di antara mereka.

“Kemudian yang ini, secara khusus dia wariskan padamu di luar wasiatnya resminya, tidak masuk dalam inventaris aset bahkan.”

Watari bisa menangkap ke mana arah ketertarikan di mata Wira, map yang urung disodorkannya untuk Wira bubuhkan paraf pun di letakkan di meja. Benda panjang berselubung sutra yang dibawanya kemudian diraih, dan diserahkan kepada Wira.

“Pedang Murakumo ditempa dengan percampuran Keris kuno berbahan meteorit milik Aryo Sensei dan peleburan logam terbaik yang bisa kami dapatkan. Dikerjakan oleh pengerajin pedang yang cakap. Sebuah karya seni yang menyempurnakan kecakapan seorang Aeternum, serta simbologi linimasa sang mendiang empunya.”

Watari bak menarasikan hal tersebut di latar, sementara Wira sibuk menyibak pedang peninggalan sang guru dari selimut sutranya.

Sarung pedangnya adalah eboni legam mengilat, yang berlawanan warna dengan ukiran bersepuh emas tiga gugus-awan berimpit pada sebuah pusat berpola ala Mitsudomoe. Bilahnya melengkung keperakan sejernih cermin dipatri dengan huruf kanji yang dia tidak paham maknanya di dekat pangkal gagang, belitan kain gagangnya sehitam serupa sarung pedangnya, dengan ujung dan lingkaran pelindung tangan yang juga bersepuh emas.

Wira paham jika Murakumo berarti gugusan awan dalam Bahasa Jepang. Ketika diayunkan, bilahnya seperti bersiul membelah udara. Dan ketika Wira bangkit dan memainkannya sejenak di tempat, Murakumo bersenandung syahdu.

“Murakumo kini menjadi milikmu. Kaulah sang Pewarisnya.” Watari menatap lekat tuan mudanya itu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Syaesha
Keren banget, terbanting-banting jiwaku. Makasih eNKa udah ngasih rekomendasi bacaan sekeren ini. Asli bengong aku tersepona
goodnovel comment avatar
eNKa
Gimana bisa sekeren ini sih 🥲
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status