Share

Pergulatan

Sebelas Tahun Kemudian. Jakarta, 2020.

Wira sudah berdosa besar pada Lovina Adnan Yusuf. Pastilah demikian alasan mengapa perempuan muda itu memekik histeris seperti habis dibegal sepagi ini.

Sejilid laporan dibantingnya sekuat tenaga ke meja Wira, di hadapan lelaki itu, di depan semua orang.

Budi yang bersebelahan meja dengan Wira nyaris melompat karena kaget, tumbler di meja Wira juga melompat kendati sempat digapai empunya. Celotehan karyawan lain di ruangan pun padam seketika, terkecuali derit printer dari meja Finance dan Akunting.

“Lo periksa lagi nggak sih bagian proposal yang lo kerjakan dan rencananya dipresentasikan hari ini! Kenapa berantakan begini?” pekik Vina. Murka semurkanya.

“Ada masalah apa Bu?” Wira mencoba tenang menghadapi badai yang hadir tanpa mendung.

Jemarinya menelusuri salinan lembar demi lembar halaman proposal yang menyita waktu tidurnya untuk dirampungkan tersebut.

“Coba aja lo periksa sendiri. Typo-Error di sana-sini. Angkanya kebolak-balik! Grafik yang lo bikin sama sekali nggak nyambung dengan pemaparan gue dan Dimas, bukannya sewaktu brainstorming kemarin lo bilang udah nyambung bagian apa yang lo mesti olah!”

Perempuan muda itu berkacak pinggang, dadanya kembang kempis menahan amuk. Seandainya mungkin, matanya yang terbingkai kacamata ramping itu pasti sudah menyorotkan sepasang sinar laser ke lelaki di depannya.

Karyawan yang lain menjadi rikuh karena kegaduhan ini, sedangkan Wira cuma bisa menelan ludah mendapati dirinyalah memang pangkal masalahnya. Kerjaan hasil lemburnya berantakan.

Mampuslah gue, batinnya.

Seketika ulu hatinya terasa terjotos, terasa ingin memuntahkan sarapannya tadi pagi, kendati dia pun tidak ingat lagi apakah ia sempat sarapan tadi pagi. Jangan-jangan sepagian ia memang hanya makan angin sehingga sekarang mendadak mual.

Vina yang berusia tiga tahun lebih muda sekaligus juga atasannya itu setengah mati mengatur ritme napas.

“Kamu paham nggak malunya saya dan Pak Hadi di dalam sana? Apa yang saya paparkan berantakan ketika mengacu ke laporan kamu. Seolah kinerja Omni itu omong kosong semua!” kendati bahasanya kembali formal, tetapi marahnya belum tuntas.

Seperti bom waktu yang hendak meledak. Wajahnya memerah, separuhnya karena malu presentasinya barusan berantakan, sebagian lagi karena kesal yang bukan buatan.

“Kamu ini senior kok bodoh sekali!?” Vina terlihat kalap di tahap ini. Wira tertegun, menelan pahit ucapan dari Vina.

“Saya mohon maaf, Bu.”

Budi seolah tidak percaya perihal yang didengarnya barusan, begitu pula dengan penghuni kantor yang lain, sembunyi-sembunyi melirik dari balik layar komputer mereka.

Tahan emosimu Wira, jangan terbawa emosi, kata suara dalam diri Wira.

“Baiklah saya akan segera revisi kilat dan fotocopy ulang Bu Vina,” Wira akhirnya berani menatap mata tersulut amarah itu.

“Oh, Please. Terus semua orang di dalam harus nungguin kamu selesai gitu? Setelah segalanya berantakan seperti ini?”

“Lantas sebaiknya saya bagaimana, Bu Vina?”

“Kamu pikir sendiri saja!” Vina menegangkan rahangnya. Matanya berkeliling ruangan merazia sorot-sorot mata yang penasaran menontonnya. “Seisi kantor selalu berpikir kamu lebih cerdas dari saya bukan? Buktikan kalau begitu!”

Wira semakin serba salah, otaknya berputar keras mencari solusi kilat, sayangnya buntu.

Keduanya terdiam canggung, Wira yang bingung harus bagaimana, dan Vina yang tak tahu harus bagaimana menangguhkan kekesalannya. Hingga kebuntuan itu pecah oleh suara ponsel Wira yang bergetar lirih oleh rentetan pesan yang masuk.

Vina akhirnya menyerah, ia terpaksa beranjak dari meja Wira dengan raut wajah frustasi dan kecewa, tergambar dari kerasnya suara bantingan pintu Toilet di pojok ruangan ketika ia masuk.

“Anjrit banget!” umpatnya sebelum hilang ke dalam Toilet.

Wira mengurut dada. Seisi ruangan seperti ikut menarik napas lega bersamaan dan mulai berisik kembali.

***

“Jangan diambil hati Bos, lagi sensi kayaknya tuh anak.” Budi yang bersebelahan meja dengannya berujar. “Eh, kemana tuh bocah?”

Lain halnya dengan Wira yang terduduk tanpa gairah. Padahal, lelah kantuk dan upaya begadangnya demi menyelesaikan proposal tadi bahkan masih urung tertawar, segalanya justru malah bubar di tangannya sendiri.

“Toilet kayaknya. Santai kok gue, bro. Ya memang gue juga salah, Bud.” Wira berkata pelan, sebelah tangannya membuka kunci ponsel dan membalas pesan yang masuk.

“Tapi nggak perlu dibikin ala Drama Korea juga kan,” celoteh Budi tanpa beralih dari layar monitornya sedikitpun.

Wira mengangkat bahu. Menelan sakit hatinya sendiri. Ini bukan yang pertama kali Vina mengomelinya di depan umum, sudah terlalu sering malah, perempuan muda itu memang terkenal frontal dan tidak pandang bulu.

“Jabatan memang cenderung bikin seorang lupa diri ya. Lagian si Vina ‘kan sekarang atasan lo, ya kudunya dia yang cek lah gawean lo. Jangan modal mejeng aja tuh anak.”

Hati Wira mencelos dalam diam, sebetulnya Budi berusaha menghibur, akan tetapi ini justru membuka luka lama pada Wira.

Empat tahun yang lalu, Wira adalah Manajer Marketing di perusahaan distribusi ini. Diangkat setahun sebelumnya pada tahun kerja ketujuh, atas prestasi yang ditorehkan selama mengabdi. Wira telah bekerja di sini sebagai Sales Lapangan semenjak lulus SMU.

Waktu itu, Omni Wahana Niaga bukanlah perusahaan distribusi yang besar layaknya hari ini kendati sudah berkecimpung semenjak awal 90-an. Wira beruntung dapat belajar langsung dari Pak Hadi dan Bu Merry, pendiri perusahaan ini mengenai seluk-beluk pemasaran produk Kosmetik.

Wira kendati hanyalah tamatan SMU, ternyata memiliki bakat berjualan yang baik serta analisa yang tajam. Ia merasakan bergerilya dari toko ke toko, membelah pasar becek, hingga membabat hutan alias ekspansi bisnis bersama Omni.

Perlahan posisinya meningkat sejalan dengan performa kerjanya, serta pertumbuhan perusahaan yang pesat. Malangnya, ketika ia mulai menapaki buah jerih payah itu, kehidupan mengujinya dengan tantangan baru.

Fitnah dan Demosi, komoditas klasik yang berseliweran liar dalam hiruk-pikuk karyawan swasta.

“Sudah tahu mendadak … tamunya penting … calon pemodal… eh, dia malah sempet ngedugem ke Tangsel semalam.”

Mendengar celotehan barusan, Wira seketika menoleh dengan raut tanya ‘siapa?’ di wajahnya.

Sedangkan mata Budi tetap tidak beranjak dari layar monitor dan tidak menjawab, hanya mulutnya saja mengulas senyum.

***

Pintu ruangan rapat mengayun terbuka, kali ini Dimas si Manajer Marketing Jabodetabek yang melangkah keluar. Junior yang kemudian menempati bekas posisinya itu Kelihatan kebingungan.

Wira tahu dirinya lah yang hendak dituju, tiga tahun lebih mengenal juniornya ini di kantor adalah cukup bagi Wira untuk hapal basa-basinya yang khas.

“Nyariin lo tuh,” celetuk Budi.

Benar saja, setelah sejenak Dimas segera beranjak ke mejanya dengan setengah tersenyum. Palsu tentu saja, senyum formalitas seorang Sales.

“Bang Wira, Vina tadi kemana ya?”

“Kayaknya ke Toilet barusan, kenapa Dim?”

Dimas tampak berusaha menyusun kalimat di benaknya, sebelum kemudian berani membuka mulut. “Anu Bang Wira, kayaknya data yang diolah kebolak-balik, jadinya nggak nyambung sama Perencanaan Bisnis yang Vina susun, ujungnya rancu juga sama Plan yang gue paparin.”

‘Plan yang gue paparin’, sialan pikir Wira. Ia tertawa getir mendengarnya.

Plan yang Dimas susun padahal gubahan dari Template yang dulu Wira kembangkan berdasarkan estafet jabatan dari Manajer sebelumnya. Profil klien hingga lahan pembangunan Depot pun blueprint-nya milik Wira.

“Tipografinya memang lumayan fatal, tapi kalkulasi data dan pertumbuhan ordernya aktual, masalahnya memang gue salah narik data sewaktu generate diagram.” Wira menjelaskan dengan mencoreti salinan yang Vina tinggalkan.

“Jadi semua potensi yang kalian paparkan itu masih valid, semua kalkulasi hingga ke keperluan manpower lo juga nggak perlu berubah.”

Dimas segera bergeser ke sisinya demi menyimak seksama, Budi hanya geleng-geleng kepala di meja sebelah.

“Jadi baiknya gimana nih, Bang?” Dimas kembali bertanya. “Di dalem lagi Coffee Break sih, tapi Pak Hadi sudah gerah aja dari tadi karena paparan rancu semuanya.”

Wira menghela napasnya. Ah, shit! Here we go again, pikirnya.

“Jelasin kalau semua kerancuan murni Tipografi, sehingga pertumbuhan di Jawa Tengah menuju Jawa Timur itu aktual. Lo Screenshot artikel media yang isinya tentang ekspansi kita selama setahun terakhir, kayak waktu Pak Hadi meresmikan Depot dan kerjasama dengan Merk Lokal bersama Gubernur Jateng kemarin, untuk contoh kongkrit. Terakhir disambungin lagi sama Business Plan-nya Vina.”

Dimas meraih ponsel dan sigap mencatat segala yang Wira kemukakan. Vina yang telah selesai dari kegiatannya di Toilet, nampak keheranan melihat keberadaan Dimas di meja Wira.

“Lo ngapain keluar, yang di dalem lo tinggalin?” Vina mengejar Dimas dengan tanya menyelidik.

“Lagi ngopi. Sudah aman, gue juga nyariin lo, diminta Pak Hadi.”

Vina masih sempat mencari Wira di mejanya melalui sudut mata, rasa kesalnya seolah belum sepenuhnya padam kendati cukup lama menghabiskan waktu di Toilet. Cukup untuk memperbaharui riasannya malah.

Akhirnya Vina menurut saja mengikuti Dimas kembali menuju ruangan rapat, keduanya sayup-sayup terdengar bertukar pendapat soal bagaimana memitigasi masalah kerancuan presentasi mereka.

“Gue lihat dari data sih, Jawa Tengah dan Timur itu aktual, masalah Tipografi aja. Jadi gue ada ide nih Vin. Gimana kalau kita jelaskan ulang dan sebagai buktinya kita pakai eksposure perusahaan kita di media massa__”

Celotehan Dimas yang fasih memparafrase ucapan Wira barusan kemudian lenyap bersamaan dengan pintu ruangan yang mengayun tertutup. Api yang tersekam dalam dada Wira mulai meruam, dirinya menatap hampa daun pintu kaca yang tebal itu.

***

Bugh!

Wasit memberi aba-aba memulai dan kedua petarung saling menyentuhkan sarung tinju mereka. Penonton berdiri bersorak mengiringi jual beli pukulan yang segera berlangsung, meneriakan dukungan moril, setengahnya suruhan, untuk bagaimana jawara yang mereka dukung harus berlaga.

Dalam semenit saja, persabungan kedua manusia itu sudah mengganas. Darah bercampur peluh mulai tercecer di kanvas ring bersudut delapan itu.

Petarung dari sudut merah cukup lincah dengan moda serangan teleskopik-nya, terus menjaga jarak, tendangannya akurat, kecepatannya solid. Ciri khas petarung dengan gaya Muay-Thai kental.

Akan tetapi petarung sudut biru memiliki ketahanan fisik yang kuat, pelipisnya lebih dulu tergurat, meski demikian fokusnya masih kokoh. Hantaman Spinning Backhand-nya sempat membuat teleng si merah yang giras.

Wira menyoroti maju mundur langkah keduanya yang harmonis layaknya sepasang penari. Apabila satu sisi berinisiatif agresif, maka sisi lainnya akan mundur mengimbangi.

Koreografi alamiah ini membangkitkan memori akan dirinya sendiri bertahun-tahun silam. Maju mundur langkahnya di tanah tanpa alas kaki, mengimbangi gerak terukur mendiang gurunya.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Agus Sade
ada lanjutan
goodnovel comment avatar
Naffy
membingungkan
goodnovel comment avatar
Syaesha
Gatau lagi mesti komen apa selain keren ya kan, sehat selalu author. Wira yang sabar ya ngadepin semuanya. Wira bisa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status