Share

Debar Tidak Asing

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2023-03-06 16:25:42

Malam semakin larut ketika Natasya sudah mampu mengendalikan tangis hebatnya, begitu menyadari ia masih dalam pelukan Gaza dalam posisi yang amat memalukan jika terlihat orang. Di dorong dada Gaza agar ia bisa bangun dari sana. Bagaimana bisa ia berada di atas Gaza yang masih memeluk erat sesekali membelai rambut berantakannya yang terlentang di atas sofa hitam.

               “Jangan mencari kesempatan Ga!” sentak Natasya.

Natasya sudah berdiri dan menghapus jejak basah di wajah dan merapikan rambutnya. Menolehkan wajah entah kemana asalkan tidak menatap mata teduh di sana. Gaza tidak menghiraukan emosi Natasya yang mudah berubah-ubah. Setelah bangun dari posisi tidur, di tarik pelan Natasya untuk kembali duduk.

Gaza belai wajah merah sembab itu dengan senyum kecil. “Masih lebih jelek wajah bangun tidur kamu dulu kok Di.”

               “Apasih pegang-pegang. Awas!” Kembali Natasya jauhkan tangan Gaza dari wajahnya.

               “it’s ok Diwang ... terima kasih ya sudah mau cerita. Bagaimana sudah lebih baik setelah menangis?” Gaza membelai kepala Natasya lembut. Hanya di jawab anggukan kecil dengan membalas tatap dalam Gaza. Benar kata Gaza ia merasa lebih baik setelah menangis hebat tanpa Gaza coba hentikan.

               “Kamu hebat Diwang, aku tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Ibu yang menolong kamu itu mami?” Gaza menyerahkan botol air mineral yang bersebelahan dengan botol minuman alkohol miliknya.

               “Iya, mungkin karena itu juga mami sangat sayang sama aku. Dia punya masa lalu hampir serupa dengan aku. Kamu benar melaporkan aku ke polisi sebagai orang hilang?” tanya Natasya.

               “Iya benar, tapi aku tidak bisa mencari kamu di luar Semarang karena enggak punya uang Di. Belum bekerja saat itu ‘kan, ayah sangat disiplin masalah kuliah. Boro-boro aku di kasih uang banyak di luar keperluan kuliah. Aku sama Valen di didik keras, mau uang lebih buat jalan ya harus ambil kerja serabutan. Masih kere pokoknya waktu mahasiswa,” kekeh Gaza.

               “Memang sekarang sudah merasa kaya?” Sindir Natasya menumpukan kaki dengan santai. Ia sudah tidak pedulikan lagi bagaimana tampilannya saat itu, bahkan ia melihat jelas jejak basah di kaos putih Gaza karena air matanya.

               “Lumayanlah kalau buat keliling masih di Indonesia, masih mampu aku. Cukup buat tiket dua orang sampai balik lagi ke rumah. Tapi setelah itu harus kerja keras tanpa batas lagi.” Gaza menghembuskan nafas mengasihani diri. Menjadikan Natasya tertawa terbahak-bahak. Luar biasa sekali Gaza mampu mengaduk-aduk perasaannya dalam waktu sekejap.

               “Bagaimana pendapat kamu setelah tahu wanita di club itu memang adalah aku Ga? jijik?” Natasya bertanya ringan saja.

Berpikir sejenak Gaza menjawab. “Pertama yang ada di pikiran aku begitu tahu itu memang kamu cuma satu. Apa yang terjadi sama Diwang sampai ia mengambil keputusan sebesar itu bekerja di sana. Yang paling awal sih sebenarnya, gila dia benaran Sahaya Diwangkari? cantiknya enggak ada otak. Mana bisa Diwang secantik itu. Bedakan saja tidak pernah dahulu.”

               Mendengar penuturan Gaza, kembali Natasya tertawa terbahak-bahak hingga air mata menetes tidak terasa memegangi perutnya yang sakit.

               “Kamu mengakui juga kalau aku cantik Ga? kenapa aku enggak percaya ya kalau kamu yang bilang,” ledek Natasya.

               “Sumpah Di kamu cantik banget malam itu di Hotel. Olan sampai ileran padahal cuma membayangkan doang. Otak kotor memang dia, tolong jangan pakai lipstik merah lagi Di. Buat laki-laki pikirannya kotor semua,” pungkas Gaza.

               “Terserah aku mau pakai apa, tidak ada yang berhak melarang. Urusan isi otak orang yang kotor itu urusan mereka sendiri.” Natasya mengangkat bahu tidak peduli.

               “Atau isi otak kamu juga sama kotornya dengan mereka,” sindir Natasya.

               “Aku laki-laki normal, tidak munafik. Tapi bagaimana ya menjelaskannya, mungkin kamu enggak akan percaya. Rasanya tidak terima saja kamu jadi bahan fantasi laki-laki macam Olan dan sejenisnya.” Gaza berdehem pelan. Sedikit salah tingkah mengakui di depan Natasya yang menatapnya dengan kepala miring dan senyuman meledek. Sudah tidak ada lagi jejak sedih di wajah pucat tanpa make up itu.

               “Kamu masih perjaka Ga?” Masih Natasya tatap Gaza dengan mata memicing seolah tidak percaya.

               “Tidak juga,” jawab Gaza.

               “Bukannya kamu bilang tadi siang tidak pernah meniduri pacarmu selama lima tahun pacaran? bukan sama dia berarti?” Selidik Natasya.

               “Tidak perlu aku ceritakan juga ‘kan, aku menjaga Naren karena memang serius ingin berhubungan Di,” papar Gaza.

               “Wow, beruntung sekali Naren itu ya. Sayang sekali kamu di depak begitu saja. Padahal kamu bahkan tidak menyentuhnya, tiba-tiba hamil tentu saja kamu ingin bunuh diri.” Natasya mengangguk seolah prihatin padahal Gaza tahu ia tengah di ledek.

               “Teruskan saja Di, biar puas kamu mengata-ngatai aku.” Gaza menyugar rambutnya membiarkan Natasya meledek habis dirinya. Itu lebih baik dari pada melihat Natasya menangis seperti beberapa saat lalu.

               “Kamu tidak merasa rugi Ga membayarku berkali-kali cuma buat ledek meledek begini,” tanya Natasya.

               “Tidak Di, sudah aku bilang kalau aku sekarang kaya ‘kan?” Gaza kembali meraih minumannya.

               “Oh ya? baiklah. Kamu memang tidak ingin juga?” Natasya melirik Gaza yang amat tenang.

               “Enggak Di, kamu teman ku. Bagaimana bisa aku punya pikiran seburuk itu,” tandas Gaza.

               “Sungguh .... “

               Natasya sudah merapat ke arah Gaza dengan gerakan gemulai. Menjadikan Gaza menaikkan alis penuh tanya.

               “Di jangan aneh-aneh. Masuk kamar saja sanalah.” Gaza mendorong bahu Natasya pelan.

Terdengar hembusan nafas panjang dari Natasya, tanpa berkata apapun lagi Natasya berdiri. Ia bodoh karena melayangkan tindakan seperti itu.

“Jangan tersinggung Diwang, kamu bukan tempat pelampiasan pria payah seperti aku. Dan aku tidak seperti pria-pria itu,” tegas Gaza.

“Iya aku paham. Sory .... “

               Belum Natasya mencapai pintu kamarnya, tubuhnya sudah tertarik ke belakang. Gaza memeluknya hangat.

               “Maaf Diwang, seandainya dahulu aku punya keberanian mengatakan semuanya. Tapi aku terlalu pengecut,” lirih Gaza.

               “Mengatakan apa?” Natasya sentuh lengan Gaza di perutnya.

               “Lupakan,” jawab Gaza, “Kamu tahu aku susah payah menahan pikiran kotor saat melihatmu malam itu di club.”

               Natasya memutar badan menghadap Gaza, tatap itu masih sama teduhnya seperti dahulu saat ia masih tinggal di Semarang.

               “Karena lipstik merah?” Natasya bertanya dengan senyuman kecil.

               “Iya, dan sepatu merahmu yang gila tingginya,” keluh Gaza.

               Natasya kembali terkekeh geli, menumpukan dahi ke dada Gaza yang masih memeluk pinggangnya. Saat Gaza mengangkat dagu Natasya untuk ia tatap mata indah itu, Natasya sudah berhenti tertawa. Menikmati diam mereka hanya dengan saling memandang.

               “Boleh?” Gaza bertanya pelan.

               “Boleh.” Natasya jawab dengan mendekatkan wajahnya pada Gaza yang Gaza sambut memeluk Natasya semakin erat.

               Ciumannya kali ini bukan kasar penuh amarah seperti tadi siang, melainkan lembut dan pelan. Natasya sudah mengalungkan lengan-lengan kurusnya di leher Gaza. Memejamkan mata membalas sentuhan lembut pria yang memeluknya.

               “Diwang .... “

               Gaza menempelkan dahi mereka dengan nafas berkejaran, ia masih memiliki pikiran waras untuk menghentikan naluri laki-lakinya.

               “Jangan pernah meninggalkan wanita yang sudah kamu pancing Ga,” geram Natasya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Copy Paste ( Tamat )

    “Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Tutorial

    “Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Produk Unggulan

    “Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Perempuan Pertama

    “Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Kontraksi

    “Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Kelas Atas

    “Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Lima Mangkuk

    “Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Jenis Kelamin

    Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Celana Robek

    “Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status