Diwang alias Natasya--wanita muda cantik dan primadona di sebuah rumah bordil--dipertemukan kembali dengan sahabat semasa sekolahnya, Gazalio Hernando. Pria itu mendadak menjadi pelanggan di sana setelah dikhianati saudara kembar dan tunangannya. Meski awalnya tak mengenali Gazalio, Natasya akhirnya terlibat dalam pusaran kisah pria itu. Terkadang, dia bahkan seolah kembali masa kelam yang dia lalui sebelum disorot gemerlap kehidupan mewah seorang wanita malam. Lantas, bagaimana kisah Natasya selanjutnya? Apakah Gazalio yang merupakan pria sukses dengan hati terluka dapat menarik keluar sang primadona dari sana?
View MoreDiwang tertatih melarikan diri dengan keadaan fisik penuh luka. Pakaian yang terkoyak dengan banyaknya luka lebam dan berdarah hampir di seluruh badan indahnya. Kaki penuh lukanya ia seret menuju sebuah rumah, ialah rumah satu-satunya sahabatnya sedari SMA. Namun nahas rumah itu gelap gulita yang menandakan pemiliknya tidak ada satupun yang berada di rumah.
Sampai akhirnya sang gadis muda ditemukan oleh Mami dan seorang wanita muda yang tengah melintasi jalan raya sunyi di pagi buta. Menemukan tubuh terkapar tersebut hingga sang pengemudi histeris melihat kondisi mengenaskan penuh darah tersebut.“Cepat bawa ke mobil, dia bisa mati di sini.” Mami memberikan perintah yang dijawab anggukan dan langsung menginjak gas setelah berdua bersusah payah memasukkan si gadis muda ke mobil, serta menambah kecepatan laju mobil mereka.“Saya menyarankan setelah pendarahannya berhenti, bawa ke Rumah Sakit besar Bu. Dia pasti korban .... “Mami hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban, matanya tertuju pada sosok yang kelak akan ia kenal dengan nama Diwangkari. Malam itu Mami dan wanita muda menunggui Diwangkari yang tidak sadarkan diri setelah mendapatkan pertolongan pertama.Keesokan harinya, tubuh dengan banyak lebam dan luka terbuka tersebut dibawa Mami ke Jakarta. Ia memiliki misi tersendiri untuk gadis cantik dengan bibir dan kening sobek lebar tersebut.“Hai cantik ...sudah bangun?” Mami menyapa lembut dengan senyuman.Diwang, begitu ia di sapa, membuka mata perlahan setelah seharian dipindahkan ke sebuah kamar di rumah Mami di Jakarta. Melihat sosok perempuan paruh baya dengan dandanan glamour tersebut, Diwang langsung beringsut. Akan tetapi ia merasakan sekujur tubuhnya luar biasa sakit, perih.“Jangan terlalu banyak bergerak cantik, kamu hampir mati semalam di jalan,” tukas Mami.Kembali tersenyum lembut, Mami menambahkan. “Jangan takut, Mami bukan orang jahat. Kamu aman di sini, istirahatlah dulu kamu di rumah Mami.” “Mami? Aku di mana?” pelan Diwang bersuara dengan tenggorokan teramat sakit.Mami mengambilkan sebotol air mineral dengan pipet dan membantu memberikan minum pada Diwangkari yang di sambut ragu-ragu. Setelah memastikan Diwang menyelesaikan dahaganya, baru Mami memutuskan menjawab.“Kamu bisa memanggil aku dengan Mami, kamu sekarang di Jakarta,” tutur Mami tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.Diwang memandang wajah berpoles make up tegas tersebut dengan bibir warna pink, kemudian melarikan mata pada sekitar tempatnya berada. Ruangan tersebut tidak terlalu besar, hampir tidak ada barang lainnya selain ranjang kecil yang tengah ia tiduri dan kursi yang Mami duduki. Kembali memandang manik mata biru di sampingnya, Diwang kembali bersuara pelan.“Terima kasih Mami.” Setetes air mata mengalir dari sudut mata indah berwarna coklat terang yang dimiliki Diwang tersebut.Sangat terasa kesakitan yang tengah dialami gadis muda di depan Mami, ia hapus jejak basah di sana dengan senyuman lembut keibuan.“Siapa nama kamu cantik?” tanya Mami.Pelan sang gadis menjawab. “Diwang.”“Ok Diwang, kamu boleh di sini sampai sembuh ya. Mami jarang berada di rumah, tapi nanti akan ada yang bantu kamu selama belum sembuh. Akan ada Dokter juga yang sesekali memeriksa kamu selama di sini.” Mami menjelaskan kembali akan banyak tanya di wajah Diwang yang tidak dapat terucap dari mulutnya.Hampir sepuluh hari yang dapat Diwang lakukan hanya berbaring, ia tidak mengerti mengapa tidak dibawa ke Rumah Sakit saja justru ia dirawat di rumah mendatangkan beberapa Dokter dan perawat yang merawat luka-lukanya.Selama Diwang berada di rumah tersebut, ia tidak lagi melihat sosok Mami dengan dandanan mencolok. Tetapi semua kebutuhan dan pakaiannya di antarkan oleh seorang berpakaian perawat.“Hallo cantik, sudah lebih baik?” Mami mendatangi Diwang kembali tepat di hari ke 15, ketika Diwang dilanda begitu banyak tanya tidak terjawab di kepalanya karena semua yang ia tanya pada Dokter, perawat bahkanAsisten rumah tangga satupun tidak ada yang memberitahukannya.“Sudah bisa berjalan sedikit-sedikit Mami,” jawab Diwang pelan.“Tidak apa memang luka kamu serius sekali. Syukur kamu selamat, kamu pasti bosan terus menerus di ruang sempit ini. Bagaimana kalau kita keluar sambil minum teh mungkin bisa sambil mengobrol juga. Mami tahu ada banyak tanya di kepala kamu itu.” Mami berseru meminta di bawakan kursi roda dan ia sendiri yang memegangi sang gadis cantik bernama Diwangkari.Teras mungil dengan dihiasi pot-pot anggrek cantik bergantungan di atas tempat keduanya duduk. Semilir angin membelai wajah pucat Diwangkari dengan luka terbuka perlahan mengering. Secangkir teh mengepulkan uap panas tersaji bersama piring kue talam dan nagasari.“Jadi Diwang, boleh Mami tanya kamu asal mana?” Mami memberikan pertanyaan pertama setelah melihat Diwang dengan tatap menerawang ke depan terdiam sekian lama.“Aku tinggal di desa Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang Mami. Kenapa Mami tidak membiarkan aku mati saja malam itu? aku sungguh berharap mati saat itu.” Diwang menunduk kecil, memandang pergelangan tangannya dimana lebam masih tersisa samar di sana.“Mami tahu apa yang kamu alami sangat menakutkan, kamu berhak hidup Diwang. Jika kamu hidup sekarang, tandanya Tuhan memang ingin kamu hidup. Akan sangat susah melupakan hal tersebut, tapi perlahan kamu harus bangkit. Hidup kedua yang Tuhan berikan ini anggap anugerah, jangan di siakan,” terang Mami.Diwang terdiam lama sekali, kembali setetes air mata basahi pipinya. Mami menghampiri dan membelai punggung serta merangkul pelan.“Aku tidak ingin kembali ke sana Mami, untuk apa aku hidup. Aku sudah cacat, kotor dan tidak memiliki apapun lagi,” lirih Diwang sarat kesedikan.“Kamu memiliki keluarga lain selain di Lempongsari itu?” tanya Mami kembali.“Aku anak yatim piatu Mami, tidak memiliki saudara. Bapak Ibu juga anak tunggal.” Diwang menyusut sudut matanya yang basah.“Jadi kamu tinggal sama siapa di Lempongsari?” Mami kembali duduk setelah Diwang dapat mengendalikan emosinya.“Paman dan bibi.” Ucapan Diwang semakin lirih tenggelam bersama desiran angin sore cerah tersebut.“Paman kamu?” Pertanyaan selanjutnya Mami ucapkan.Satu pertanyaan Mami mampu membuat tubuh Diwang menggigil hebat. Mengusap kedua lengan berbalut kemeja panjang terbut, berharap gosokan pada tubuhnya mampu menghilangkan rasa kotor nan melekat pada Diwang yang sudah pasti tidak akan pernah mengubah keadaannya.“Dasar binatang! Aduh Mami jadi mengumpat, maaf ya cantik. Jika kamu ingin bunuh diri karena merasa tidak mampu lagi hidup, silakan keluar dari rumah Mami sejauh mungkin dan bunuh dirilah. Tapi ...jika kamu memiliki sedikit saja rasa ingin bangkit, kamu boleh tinggal di sini sampai mampu kembali beraktivitas. Mami tinggal sendiri, selain para Asisten rumah tentu saja.” Mami menghembuskan nafas dan menyesap tehnya.“Kamu kuliah, bekerja atau apa sebelumnya?” Kembali terlontar pertanyaan berikutnya dari Mami.“Bekerja sebagai Manajer di sebuah showroom mobil di kabupaten Mi,” jawab Diwang.Percakapan selanjutnya mengalir begitu saja, Diwang dapat merasakan Mami baik padanya dengan ikhlas. Akhirnya karena tidak memiliki apapun selain selembar badannya, Diwang meminta izin tinggal di Rumah Mami mpai ia dapat bekerja apapun dengan tenaganya.Diwang memilih melanjutkan hidup dari pada mengakhiri seperti perkataan Mami, berharap semoga waktu dapat menyembuhkan sedikit saja luka pada kehidupannya. Mami tersenyum mengizinkan Diwang tinggal di sana.Yang tidak Diwang ketahui adalah, sebuah rencana yang sudah Mami siapkan untuknya. Rencana yang begitu menyeramkan di mana Diwang tidak akan hidup sebagai dirinya lagi, melainkan Natasya, kebanggan rumah bordil sang mami.“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments