Share

Sebuah Kejadian

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2023-01-05 14:12:13

                Tatap ingin membunuh dari Natasya menjadikan Gaza salah tingkah kemudian menggaruk rambut kepala hingga semakin berantakan. Beberapa saat setelah kejadian bodoh yang Gaza lakukan, ia langsung tersadar dan mengejar Natasya segera. Meminta maaf yang tentu saja tidak mudah ia dapatkan dari wanita angkuh di depannya sekarang, yang melipat tangan dan mengangkat dagu tinggi.

                “Maaf Di sungguh aku .... “

“Kalau mau bodoh jangan melibatkan aku Ga!” Natasya mengambil bantalan sofa di samping dan ia lempar kuat ke Gaza. Menyisakan tawa kecil dari Gaza tanpa perlawanan.

“Iya maaf banget sumpah tadi kaya yang keterlaluan saja kata-kata kamu. Berasa enggak terima jika kenyataannya Naren seperti itu. Sudah kita tutup saja masalah mereka biar jadi urusan ku. Mana coba lihat tangan kamu yang tadi aku tarik, luka?” Gaza berpindah tempat duduk ke samping Natasya. Menarik tangan Natasya pelan, lalu meringis menatap merah pekat di sana. Sekuat itukah tadi perlakuan kasarnya.

“Sumpah Ga tidak ada yang berani menyakiti aku seujung rambut pun selama ini. Dan kamu buat tangan aku jadi begini, harusnya tadi aku dorong sekalian kamu ke jurang. Kalaupun mati tidak ada yang akan tahu.” Di tarik tangannya dari pegangan Gaza, baru terasa sekarang sakitnya. Sedari tadi Natasya terlalu emosi hingga luput akan pergelangan tangannya.

“Iya aku tahu aku sangat salah, sebentar aku ambil kompres ya biar enggak bengkak.” Gaza melangkah ke dapur cepat. Meninggalkan Natasya sendirian di ruang tamu.

                Dalam diam Gaza mulai mengompres tangan putih Natasya, bermacam penyesalan menghampirinya. Baru sekali ini ia sampai lepas kendali sampai menyakiti seorang wanita tidak bersalah seperti Natasya.

                “Kita ke rumah sakit saja ya Di, takutnya tulang kamu ada yang retak.” Mengangkat wajah Gaza pandang ke dua mata hitam Natasya.

                “Enggak perlu, lebam doang. Nanti sembuh sendiri, aku istirahat saja. Kalau kamu masih mau di sini, biar aku panggil taksi saja buat balik nanti sore. Sepertinya kamu butuh menenangkan diri sendirian dari pada di temani aku yang malah bikin tambah ruwet isi kepala kamu. Istirahat Ga, kamu juga butuh istirahat.” Natasya menepuk bahu Gaza sebelum beranjak ke salah satu kamar.

                Terlihat Gaza duduk sendirian di ruang tengah dengan tangan menggenggam sebotol minuman saat Natasya keluar dari kamar. Di luar hari sudah gelap, sepertinya Natasya tidur terlalu lama. Jelas mereka berdua masih mengenakan pakaian sama sedari pagi karena tidak membawa ganti. Natasya sambangi Gaza yang sudah bersandar dengan mata terpejam dan kaki naik ke atas meja. Hanya mengenakan kaos putih polos dan celana hitam.

                “Gaza,” sapa Natasya.

Gaza membuka mata dan menurunkan kakinya. “Mau balik sekarang? sudah malam soalnya tadi sore mau aku ajak pulang kamu pulas banget.”

                “Kamu mabuk?” tanya Natasya.

Mengangkat botol di tangan Gaza menggeleng. “Ini enggak bisa bikin mabuk Di.”

                “Aku enggak mau ambil risiko semobil sama orang yang habis minum Ga, masih sayang nyawa aku. Aku panggil taksi saja,” tukas Natasya.

Meletakan botol di tangan Gaza berkata. “Baiklah terserah kamu Di.”

                Natasya menghentikan niat menghubungi taksi saat mendengar nada pasrah dari Gaza, ia memutuskan duduk di sebelah Gaza dan memperhatikan wajah berantakan di sana. Kemudian menuangkan minuman di botol ke sebuah gelas kosong yang bahkan tidak Gaza pakai. Meminumnya pelan, tidak buruk juga selera Gaza pada jenis minuman.

                “Nanti aku tinggal, kamu bunuh diri lagi. Repot jadi tersangka nantinya aku enggak mau,” sindir Natasya.

Bukan membalas ejekan Natasya, Gaza hanya tersenyum kecil. Matanya melirik tangan Natasya yang memegang gelas panjang. Masih terlihat merah kehitaman di sana.

“Aku akan bertanggung jawab untuk itu Di.” Menunjuk pergelangan tangan Natasya, Gaza menggeser duduk hingga menghadap Natasya.

“Boleh aku tanya satu pertanyaan Di?” tanya Gaza pelan.

“Apa?” jawab Natasya.

“Tujuh tahun lalu, kamu pergi kemana? tiba-tiba menghilang tanpa kabar.” Gaza menatap lekat Natasya yang sudah menghentikan tegukan mendengar pertanyaannya.

Mengambil gelas di tangan Natasya, di letakan gelas itu ke meja. “Kamu tahu Di, aku mencarimu seperti orang kesetanan hampir setiap hari di tahun pertama kamu menghilang. Menanyakan paman dan bibi kamu apakah terjadi sesuatu sampai kamu pergi begitu saja. Tapi mereka juga tidak tahu, aku bahkan datang ke kampus kamu hanya untuk mendengar sudah lebih dari seminggu kamu tidak datang kuliah. Melaporkan kamu ke kantor polisi sebagai orang hilang, kamu benar-benar tidak bisa aku temukan dimanapun. Kamu kemana Di?”

                Natasya diam membisu, bukan alasan mengapa Natasya bekerja sebagai wanita malam yang Gaza tanyakan. Melainkan alasan mengapa ia tiba-tiba menghilang tujuh tahun silam. Yang mana mengharuskan Natasya kembali teringat malam paling menyakitkan untuk dirinya.

                “Aku ikut teman bekerja,” jelas Natasya singkat.

                “Teman siapa? bekerja di mana?” desak Gaza

                “Kamu enggak kenal Ga, teman kuliah.” Memalingkan wajahnya dari tatap dalam Gaza, kembali Natasya meminum minuman pekat di meja.

                “Kamu bohong Di?” Gaza kembali mendesak.

                “Tidak,” tandas Natasya.

                “Aku mengenal kamu Diwang, kamu sedang berbohong sekarang. Tidak mungkin kamu tinggalkan kuliah yang susah payah kamu dapatkan itu kalau alasannya tidak besar. Kamu tidak ingin memberitahu aku?”

                “Tidak Ga, kamu sudah makan?” Mengalihkan pembicaraan Natasya berdiri dari sana. Ia enggan menceritakan malam kelabu itu pada siapapun juga.

                “Enam tahun pertemanan kita tidak cukup membuat kamu bisa mempercayaiku ya Di? tidak perlu kamu ceritakan rinci. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi sama kamu, apa itu juga terlalu berat di ceritakan?” Tambah Gaza pelan, ia sungguh ingin tahu kemana Natasya tujuh tahun silam menghilang.

                Natasya terdiam begitu lama, mengumpulkan keberanian membuka luka lama yang ia pikir tidak akan pernah sembuh. Luka yang terus berdarah saat ia mengingatnya.

                “Ya sudah kalau kamu memang tidak mau bicara sudah lupakan saja aku pernah bertanya begitu,” pungkas Gaza.

                “Malam itu sebelum aku pergi dari Semarang, aku ke rumah mu Ga. Jam dua pagi, tapi rumah kamu gelap tidak ada orang satupun.” Menunduk Natasya mulai bersuara.

Gaza menegakkan tubuhnya. “Kapan itu Di? aku tidak pernah tahu kamu datang.”

Natasya menarik nafas panjang sebelum mulai bercerita, ia percaya Gaza tidak akan menceritakan kepada siapapun lagi setelah tahu.

“Awal bulan Desember 2013 .... “

“Sebentar, awal Desember 2013? Itu tepat kita sekeluarga ke Bandung kalau tidak salah Di, acara nikah ponakan ayah. Iya benar waktu itu kita di Bandung seminggu Di. Mbak sama supir ayah di liburkan ayah. Rumah kosong, benar itu. Kenapa tidak menelepon Di?” Gaza perhatikan Diwang yang menatap jauh ke depan.

“Aku kabur dari rumah tante Ga, tidak ada yang aku bawa bahkan ponsel. Aku datang karena ingin meminta bantuan kamu malam itu,” tutur Natasya.

“Apa yang terjadi malam itu Di?” Gaza mendesak tidak sabar, masih menatap lekat wajah gelap Natasya.

“Karena kamu tidak di rumah, aku berjalan tanpa tujuan entah kemana. Sejauh mungkin, secepat mungkin yang sanggup aku lakukan. Saat sudah sangat kesakitan ada ibu baik hati menemukan aku di pinggir jalanan. Membawa aku ke klinik, menunggui aku hingga keesokan harinya. Meyakinkan aku yang bangun ketakutan, bahwa aku sudah aman bersama dia di klinik entah dimana itu berada. Kamu tahu Ga setakut apa aku hari itu, dalam kondisi yang katakanlah aku memohon mati saja malam itu. Ibu itu memeluk aku begitu erat, menenangkan aku yang histeris khawatir ada yang mengenali aku disana.” Kedua tangan Natasya saling menggenggam erat saat menceritakannya.

“Apa yang om kamu lakukan Di?” Gaza sudah dapat menangkap kemana arah cerita Natasya.  

“Pendarahan hebat, robek di alat vital, luka di leher karena di cekik, tamparan karena aku terus berontak dan ... masih banyak lainnya,” nanar Natasya menjelaskan pelan.

Setetes air mata jatuh di pipi dapat Gaza lihat. Pergolakan batin yang besar dapat Gaza tangkap dengan mudah. Kesakitan yang Natasya ceritakan seolah Gaza turut merasakannya.

“Pendarahan? Kamu di perkosa?" Membelalak mata Gaza.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Copy Paste ( Tamat )

    “Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Tutorial

    “Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Produk Unggulan

    “Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Perempuan Pertama

    “Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Kontraksi

    “Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24

  • Sang Primadona Rumah Bordil   Kelas Atas

    “Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status