Air mata itu, seolah tidak pernah surut membasahi wajah pucat Bening sepanjang prosesi pemakaman berlangsung. Kendati sempat pingsan, tapi Bening tetap menguatkan diri untuk mengantar wanita yang sudah menjaganya selama ini, ke tempat peristirahatan terakhirnya.
“Kamu, harus kuat, ya, Ning.”
Ucapan itu, berasal dari seorang wanita paruh baya yang sudah menganggap Bening seperti anaknya sendiri selama ini. Louisa, ibu dari Christ itu segera pergi ke rumah Bening begitu mendengar Sinta telah tiada. Selama tujuh tahun putranya menjalin kasih dengan Bening, hubungan Louisa dengan Sinta bisa terbilang sangat baik. Keduanya juga pernah saling bertandang ke rumah masing-masing, ketika salah satu keluarga mengadakan sebuah perayaan besar.
Toleransi diantara mereka berdua, sungguh luar biasa. Kendati, pada akhirnya mereka harus mengambil tindakan atas hubungan Christ dan Bening yang tidak akan mungkin bersatu. Jika, salah satu diantara keduanya tidak ada yang
Bening membuka mata dengan rasa sesak sekaligus malas yang menggelayut di dalam dada. Sudah tiga hari ia mengurung diri di kamar, dan hari ini, masa cuti berkabungnya pun telah usai. Sudah waktunya kembali menata hidup, untuk menghadapi ujian dunia di luar sana. Wajah manis itu masih saja terlihat sembab dengan mata yang membengkak. Menangisi kepergian Sinta yang tidak pernah pernah ia duga sebelumnya. Bening bergegas mandi dan menyelesaikan semua aktivitas paginya seperti biasa di dalam kamar. Selama tiga hari, Bening tahu kalau Christ selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah. Namun, Bening tidak tidak pernah mau menemuinya sama sekali. Bukan hanya Christ sebenarnya, tapi, Bening juga tidak ingin menjumpai siapa pun. Seperti biasa, setelah semua urusan di kamar selesai, Bening akan turun ke bawah untuk sar
Bening menjulurkan tangan pada wanita cantik dengan pakaian formal yang berdiri di depannya terlebih dahulu. Penampilannya sangat rapi, dan tidak bisa dicela sama sekali. Juntaian surai lurus nan indah yang jatuh tepat di atas bahu itu, sungguh membuat Bening iri akan kesempurnaan tersebut. Tidak seperti surai ikal miliknya, yang kerap terlihat mengembang dan tidak beraturan jika Bening tidak merawatnya dengan benar. Satu yang pasti, kalau Bening ternyata pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Ya, Bening ingat benar, kalau wanita itulah yang ia tabrak setelah keluar dari ruangan Rohit kala itu. “Vira, Elvira Danuarja Malik,” ucapnya mengenalkan diri dengan sangat tegas. “Saya kuasa hukum yang akan menangani semua hal terkait wasiat ataupun warisan dari almarhumah bu Sinta. “Bening.” Tatapannya beralih sejenak pada Rohit, yang sudah berada di tengah-tengah mereka saat ini. Duduk melingkari sebuah meja persegi, yang ada di ruang kerja pria itu. Ternyata, tidak perlu sampai menun
Dagu Vira mengetat heran ketika melihat sang suami sudah berada di rumah di sore hari seperti ini. Biasanya, Aga akan sibuk berada di kantor, dan baru datang ke rumah di malam harinya. Saat libur pun, Aga juga kerap berada di luar rumah, karena sang suami mendapatkan jatah liburnya di hari kerja.“Tumben sudah di rumah?” tanya Vira langsung duduk di depan meja rias untuk membersihkan make upnya terlebih dahulu.Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi, dan hanya menutupi tubuhnya dengan selembar handuk, langsung menghampiri Vira. Ia berdiri di belakang sang istri lalu menyentuh kedua bahu Vira dan memberi pijatan lembut di sana.“Aku baru pulang dari Banjarmasin, Vir,” jawab Aga. “Apa kamu lupa?”“Nggak lupa,” bantah Vira
“Mau pulang?” sapa Aga ketika mendapati Bening di dalam lift di lantai lobi. Terlihat jelas kalau wajah itu masih saja sembab setelah pemakaman Sinta tiga hari yang lalu. Bening mengangkat wajah dan tersenyum tipis melihat Aga. Setelah menemani Bening di rumah sakit kala itu, Aga memang tidak bisa berlama-lama menemani dirinya. Ada sebuah tugas yang mengharuskan Aga pergi keluar kota sore harinya. “Bapak sudah pulang?” Bening melangkah keluar lift dan berhenti tepat di depan sang atasan yang terlihat sangat segar. Bening menebak, pria itu baru saja mandi dan langsung pergi ke kantor setelahnya. Aga mengangguk dan kembali mengulang pertanyaannya. “Mau pulang?” “Iya, Christ sudah jemput—” “Kembali ke atas,” titah Aga melew
Setelah menolak permintaan Aga, yang memintanya untuk bertanggung jawab atas perasaan pria itu saat ini, sebenarnya Bening ingin sekali keluar dari mobil. Ia lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya memakai transportasi on-line, tapi pria itu tidak mengizinkannya. Aga tetap bersikeras untuk mengantar Bening hingga sampai ke rumah gadis itu.Tidak ada obrolan lagi setelahnya, karena mereka sibuk mencerna semua hal yang terjadi di antara keduanya. Sampai roda empat itu berhenti di depan pagar rumah Bening yang kini terbuka lebar.“Ada tamu sepertinya,” celetuk Aga sambil menarik handremnya. Melihat ke arah mobil yang sebagian body belakangnya menjorok ke luar pagar.“Mobil yang punya rumah,” ucap Bening seraya melepas sabuk pengamannya.“
“Ngapain cari kosan, kamu bisa tinggal di apartemen.” Pagi-pagi sekali, Christ sudah bertandang ke rumah Bening. Duduk berdua di sebuah kursi besi panjang di teras depan dan bercerita tentang berbagai hal. Selama ini, Bening memang tidak pernah menyembunyikan hal mengenai kehidupan keluarganya pada Christ. Karena sedari awal Christ memintanya berkomitmen, Bening ingin pria itu menerimanya dengan semua kekurangan yang ada. Sejak itulah, Christ selalu tahu semua hal yang terjadi di keluarga Bening. “Christ, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tapi, aku sudah putuskan untuk nggak akan ngelanjutin hubungan ini.” “Tapi, Ning. Uti sudah nggak ada,” sahut Christ masih ingin berusaha meyakinkan gadis itu dan memilikinya. “Kita bisa pergi ke Singapur dan meneruskan sem
Sejak, Aga mengantarkan Bening terakhir kali, pria itu mulai menjaga jaraknya ketika mereka berada di kantor. Sikapnya kembali seperti dulu, hanya berbicara pada Bening untuk urusan pekerjaan saja. Namun, ada satu hal mencolok yang Bening rasakan, yaitu, pria itu sudah tidak segarang dahulu kala yang selalu saja protes dengan perihal tampilan serta attitude Bening ketika berada di kantor. Sementara untuk hubungannya dengan Christ, saat ini Bening sungguh-sungguh ingin menata hatinya terlebih dahulu. Hingga saat ini, mereka berdua memang sudah tidak lagi memiliki hubungan sama sekali. Kendati, Christ masih menghubunginya, tapi Bening hanya merespons pria itu dengan seadanya. Sakit memang. Namun, ketika ia kembali mengingat bahwa hal tersebut yang diinginkan oleh Sinta di saat-saat terakhirnya, maka Bening seolah memiliki kekuatan untuk melupakan pria itu.
Setelah pertemuan yang membahas mengenai pembagian harta wasiat itu selesai, Bening tidak langsung pergi dari hotel tersebut. Kakinya melangkah santai menuju lobby lounge, untuk menikmati makan siang seorang diri. Mengingat nominal warisan yang sudah pasti menjadi miliknya, Bening berniat memanjakan diri untuk mengusir penat yang menggantung di kepala.Dengan satu porsi oxtail ramen di depan mata, ditemani sparkling water dan segelas red berries smoothy, Bening betul-betul menikmati kesendiriannya. Setelah makan siang, Bening pun berniat pergi ke klinik kecantikan untuk menghilangkan stresnya. Merawat diri dari ujung rambut hingga kaki, lalu pulang ke rumah dan tidur sampai esok pagi.Di saat makan siangnya hampir selesai, Bening menangkap sosok Vira yang masuk ke dalam lounge dan langsung mendatangi sebuah meja kosong. Wanita itu terlihat mengeluarkan ponsel,