“Ngapain cari kosan, kamu bisa tinggal di apartemen.”
Pagi-pagi sekali, Christ sudah bertandang ke rumah Bening. Duduk berdua di sebuah kursi besi panjang di teras depan dan bercerita tentang berbagai hal.
Selama ini, Bening memang tidak pernah menyembunyikan hal mengenai kehidupan keluarganya pada Christ. Karena sedari awal Christ memintanya berkomitmen, Bening ingin pria itu menerimanya dengan semua kekurangan yang ada. Sejak itulah, Christ selalu tahu semua hal yang terjadi di keluarga Bening.
“Christ, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tapi, aku sudah putuskan untuk nggak akan ngelanjutin hubungan ini.”
“Tapi, Ning. Uti sudah nggak ada,” sahut Christ masih ingin berusaha meyakinkan gadis itu dan memilikinya. “Kita bisa pergi ke Singapur dan meneruskan sem
Sejak, Aga mengantarkan Bening terakhir kali, pria itu mulai menjaga jaraknya ketika mereka berada di kantor. Sikapnya kembali seperti dulu, hanya berbicara pada Bening untuk urusan pekerjaan saja. Namun, ada satu hal mencolok yang Bening rasakan, yaitu, pria itu sudah tidak segarang dahulu kala yang selalu saja protes dengan perihal tampilan serta attitude Bening ketika berada di kantor. Sementara untuk hubungannya dengan Christ, saat ini Bening sungguh-sungguh ingin menata hatinya terlebih dahulu. Hingga saat ini, mereka berdua memang sudah tidak lagi memiliki hubungan sama sekali. Kendati, Christ masih menghubunginya, tapi Bening hanya merespons pria itu dengan seadanya. Sakit memang. Namun, ketika ia kembali mengingat bahwa hal tersebut yang diinginkan oleh Sinta di saat-saat terakhirnya, maka Bening seolah memiliki kekuatan untuk melupakan pria itu.
Setelah pertemuan yang membahas mengenai pembagian harta wasiat itu selesai, Bening tidak langsung pergi dari hotel tersebut. Kakinya melangkah santai menuju lobby lounge, untuk menikmati makan siang seorang diri. Mengingat nominal warisan yang sudah pasti menjadi miliknya, Bening berniat memanjakan diri untuk mengusir penat yang menggantung di kepala.Dengan satu porsi oxtail ramen di depan mata, ditemani sparkling water dan segelas red berries smoothy, Bening betul-betul menikmati kesendiriannya. Setelah makan siang, Bening pun berniat pergi ke klinik kecantikan untuk menghilangkan stresnya. Merawat diri dari ujung rambut hingga kaki, lalu pulang ke rumah dan tidur sampai esok pagi.Di saat makan siangnya hampir selesai, Bening menangkap sosok Vira yang masuk ke dalam lounge dan langsung mendatangi sebuah meja kosong. Wanita itu terlihat mengeluarkan ponsel,
Keduanya terdiam di dalam lift yang membawa ke lantai atas. Tidak bersuara apalagi berdebat, karena di dalam sana ada beberapa orang lagi yang memenuhi bilik persegi tersebut.Setelah sampai di lantai tujuan yang sama dengan pengunjung lain, kaki Bening buru-buru melangkah mendahului Aga untuk menuju ke tempat parkir.“Ning, kamu beneran mau berhenti?” tanya Aga dengan gampangnya menyamakan langkah di samping Bening.“Kan, sudah jadi cita-cita Bapak mau pecat saya dari dulu,” sindir Bening semakin mempercepat langkahnya. “Jadi, saya kabulkan biar Pak Aga senang.”Saat wajah Aga menunduk, ia baru menyadari kalau barang belanjaan yang dibawa Bening saat ini, semuanya berasal dari brand ternama. Jelas saja Aga tahu, dahulu kala ia s
“Mau pulang sekarang?” tanya Aga setelah tangis Bening mulai mereda.Bening menarik diri dan masih sesegukan sambil mengusap seluruh tangis yang masih tersisa di pipi dengan satu tangan. Ia mengangguk lalu Aga pun membawa tubuhnya untuk berdiri. Pria itu menggiringnya menuju tempat duduk penumpang di bagian depan. Sementara Aga, langsung mengitari mobil dan duduk di balik kemudi.“Kunci mobil?” pinta Aga dengan menjulurkan tangan kirinya pada Bening.Bening yang baru menyadari, bahwa sedari tadi ia menggenggam kunci mobil di tangan kiri, akhirnya menyerahkan pada Aga.“Bapak, nggak malam mingguan sama istri?” pancing Bening ingin mengungkap kecurigaannya.“Enggak.”
“Bening!”Aga reflek membanting setirnya ke kiri, karena harus mencondongkan tubuh untuk meraih bagian tubuh Bening yang dapat ia jangkau.Apapun itu!Asal bisa menarik tubuh itu kembali masuk ke dalam mobil. Aga meraih tas selempang yang masih bisa terjangkau dan menariknya. Di saat yang sama, mobil yang dikendarainya langsung berputar dan berbalik arah, karena Aga tidak sengaja telah melakukan oversteer dan kehilangan keseimbangan.Tubuh Bening yang sudah siap melompat itu, terhentak keras. Tertarik kasar kembali ke belakang. Jatuh, dan kepalanya terbentur tuas persneling mobil.Sementara Aga, sudah tidak bisa mengontrol kemudi. Kakinya reflek mencari apapun yang bisa diinjak dan berharap itu adalah pedal rem. B
Aga terhenyak dari tidurnya. Getaran ponsel yang tergeletak di sisi tubuh Aga, langsung membangunkannya seketika. Tangan Aga meraba sisi kosong di sebelahnya lalu mengangkat ponsel yang akhirnya ia temukan. Melihat nama Vira, kemudian Aga langsung mensenyapkan getarannya. Tidak berniat sama sekali menerima panggilan dari sang istri, di pagi hari seperti ini. Terlebih, Aga sudah melalui malam yang sangat melelahkan, hingga ia tidak ingin dicecar oleh pertanyaan Vira sama sekali. Aga kemudian bangkit perlahan dari tidurnya. Melihat Bening yang masih tertidur pulas, karena efek obat bius yang disuntikkan pada gadis itu ketika dalam keadaan lengah malam tadi. Selagi Aga terus mengoceh untuk memancing perhatian Bening. Dua orang perawat dan satu dokter sudah bersiap untuk meraih gadis itu, dan langsung memberi suntikan untuk menenangkannya.
Akhirnya, Aga bisa meninggalkan Bening saat Ruri datang ke rumah sakit setelah gadis itu menghubunginya. Satu-satunya yang bisa dibawa Aga saat kecelakaan tersebut adalah tas yang masih melekat di tubuh Bening tadi malam. Beruntung di dalam sana juga ada ponsel yang bisa digunakan untuk menghubungi Ruri, sehingga wanita paruh baya itu bisa datang dan membantu untuk menjaga Bening.Karena Ruri datang pada saat Bening kembali tertidur pulas, maka Aga bisa berbicara beberapa hal mengenai kondisi Bening yang sudah hampir melenyapkan nyawanya sendiri sebanyak dua kali.Ruri cukup terkejut ketika mendengar pernyataan dari Aga tersebut. Namun, setelah mendengar dengan seksama apa yang telah dikeluhkan Bening kepada Aga, Ruri akhirnya bisa mengerti.“Tapi, Bu Ruri, maaf sebelumnya,” ujar Aga setelah menjelaskan
“Pak Aga, nggak pulang?” Bening melihat jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Aga masih terlihat bersandar di sofa dengan memangku laptopnya. Bening jadi gelisah sendiri, ketika mengingat kembali ajakan Aga untuk menikah dengannya. Apa pria itu sungguh mengatakan hal tersebut dengan serius? Lantas, bagaimana dengan istri dan anaknya? “Kalau saya pulang, siapa yang ngawasi kamu di sini.” Manik Aga tetap tertuju pada layar laptopnya. Ia tengah mengecek kelengkapan berita, yang akan diterbitkan esok hari. Karena ada isu sensitif di dalamnya, maka Aga menaruh konsentrasi lebih pada tulisan tersebut. Jangan sampai, perusahaannya mendapat masalah, karena telah salah dalam menyikapi sebuah informasi dari narasumber. “Bapak, bisa minta salah satu suster untuk temani saya di sini.” “Tidurlah, Ning,” titah Aga mengabaikan ucapan Bening. “Kamu perlu istirahat biar cepat pulih dan masuk kantor. Kamu sudah banyak izin bulan ini. Har