Separuh kesal, separuh senang.
Bening kesal dengan sikap Aga yang otoriter dan ngotot memaksanya untuk tinggal di apartemen. Namun, tentu saja Bening bukan gadis munafik, yang tidak senang jika diberi tempat tinggal gratis dan nyaman seperti sekarang. Hanya saja, sebuah fakta yang menunjukkan bahwa Aga menyukainya, membuat Bening menjadi serba salah.
Bening juga jadi bertanya-tanya di dalam hati, mengenai ucapan Aga kepadanya. Benarkan kalau dirinya juga memiliki sedikit rasa pada Aga?
Rasanya sungguh tidak masuk akal. Akan tetapi, ada satu hal yang menggelitik hati Bening saat ini. Bagaimana jika Vira tahu, kalau dirinya tengah menjalin hubungan dengan mantan suami wanita itu.
Ah! Bening tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Vira, jika hal itu sampai terjadi.
“Duduk dulu,” titah Ernest yang tengah duduk santai di teras rumah. Sengaja menunggu sang putra, yang menurut jadwal akan datang untuk menjemput Awan ke rumah. “Awan sama Mama?” tanya Aga lalu duduk pada kursi besi yang berada di samping meja bundar, yang bersebelahan dengan sang papa. Ernest mengangguk tanpa menolehkan wajah pada Aga. “Ada Vira juga di dalam.” Aga seketika mendesah panjang. Kalau sudah seperti ini, Vira justru membuat drama perceraian mereka semakin pelik. Andai tidak ada Bening, mungkin situasi Aga saat ini tidak akan terlalu memusingkan. Aga tidak berkomentar apapun. Ia memilih diam, dan menunggu kalimat apa lagi yang akan dimuntahkan oleh sang papa. Aga yakin, kalau kedatangan Vira ke rumah orang tua Aga adalah untuk mengadu tentang hubungan mere
“Sudah makan?” tanya Aga pada Bening, ketika gadis itu baru saja mengangkat telepon darinya. “Memangnya kalau belum, Bapak mau nganterin makan?” Bening balik bertanya. “Nggak masalah, kan?” tanya Aga lagi. “Saya nggak makan malam,” jawab Bening. “Jadi nggak usah repot-repot bawain makanan. Mending Bapak pulang ke rumah, terus tidur. Lagian saya capek, debat mulu sama Bapak.” Aga tidak menanggapi ocehan Bening setelahnya. Ia mematikan sambungan telepon secara sepihak, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Tidak butuh waktu lama, daun pintu itu terayun dan menampilkan sosok manis yang tengah merungut kesal kepadanya. “Mentang-mentang Bapak yang punya gedung, jadi bebas gitu, naik turun sesuka hati gini,” cerocos Beni
“Apa?”Aga membuka pintu, setelah mendengar bel apartemennya berbunyi tanpa henti. Sangat berisik, dan Aga sudah bisa menebak kalau Beninglah yang melakukan hal tersebut. Aga hanya membuka pintu sebesar ukuran tubuhnya dan berusaha fokus, untuk menatap manik Bening tanpa harus melihat ke arah lain.“Bukain pintu.” Bening merengek, tapi intonasi bicaranya seolah memerintah, bukannya memohon.“Pintunya sudah saya buka, mau masuk lagi?” Sekali-kali, gadis itu memang harus diperlakukan seperti sekarang. Mentang-mentang Aga bukan lagi atasannya, sikap Bening terlihat semakin melunjak kepadanya.“Bukan pintu punya Pak Aga, tapi punya saya.” Bening membalik separuh tubuhnya dan menunjuk pintu unitnya dengan menggunakan bibir yang
Pagi-pagi sekali, Aga sudah membaca sebuah notifikasi chat yang dikirimkan oleh Vira. Aga membukanya karena sebelumnya ia sudah berjanji, akan membalas chat dari wanita itu jika berhubungan dengan Awan. Benar saja, Vira memang mengirimkan chat yang membahas perihal anak mereka. “Awan ngajak ke Puncak, karena hari ini dia libur dan kita masih ada sisa cuti. Aku tunggu jam sembilan di rumah mamamu.” Detik itu juga Aga langsung menggeram seraya bangkit dari tidurnya. Semalam, Ernest memang telah mengabarkan kalau Vira menginap di rumah orang tua Aga. Ada keyakinan seratus persen kalau semua ini adalah rencana Arum untuk mendekatkan hubungan Aga dan Vira, dengan menggunakan Awan. Setelah bulan madu hanya berdua di Bali tidak berhasil, kali ini Arum sepertinya menyodorkan Awan untuk ikut dalam liburan mereka. Memangnya siapa lagi yang memiliki ide seperti ini jika bukan sang mama, yang dari awal memang tidak ingin Aga bercerai dengan Vira. Bagaimana Aga bisa meno
Aga benar-benar merasa terjebak. Atau lebih tepatnya, Aga memang tengah dijebak oleh keluarganya sendiri. Ketika Aga datang untuk menjemput Vira serta Awan di rumah orang tuanya, ternyata putranya itu sudah dalam perjalanan menuju Puncak lebih dulu.Yang akan liburan di Puncak kali ini, ternyata adalah seluruh keluarga besar mereka. Yakni orang tua Vira, dan juga orang tua Aga. Sampai akhirnya, Aga dengan terpaksa harus berada satu mobil bersama Vira karena hanya mereka berdualah yang belum berangkat.“Rencana siapa ini, Vir?” tanya Aga sambil memijat pelipisnya dengan satu tangan yang menyiku pada sisi bingkai kaca mobil. “Jangan jadikan Awan sebagai alasan, karena aku nggak akan percaya.”“Mamamu.” Vira mengatur posisi duduknya sedikit miring agar bisa leluasa melihat Aga.
Ketika Aga memutuskan untuk meninggalkan Vira dan tidak jadi pergi ke Puncak, ia benar-benar menghabiskan sisa cutinya itu di kantor. Aga menyibukkan diri, dari berbagai pikiran yang sangat menumpuk di kepala. Aga bahkan memilih untuk menginap di hotel, daripada harus pulang ke apartemen. Ia juga ingin menjernihkan pikiran, dari bayangan Bening serta berbagai ucapan yang kerap memancing Aga. Tidak hanya di situ, setelah Aga meninggalkan Vira kala itu, kedua orang tuanya langsung menelepon bergantian untuk melayangkan protes. Namun, satu yang sudah jelas tidak akan bisa diubah lagi, yakni keputusannya bercerai dengan Vira. Apapun yang terjadi, Aga tidak akan pernah mau kembali rujuk dengan wanita itu. Aga tidak akan menarik berkas apapun yang sudah masuk ke pengadilan. Bahkan, untuk mempercepat proses perceraianny
“Bukannya kamu sama si Christ itu sudah putus?” Aga meletakkan satu gelas teh hangat di atas nakas, lalu berdiri dengan melipat tangan di depan dada. Wajahnya terulas masam karena mengingat nama Christ yang terpampang di ponsel milik Bening. “Suudaah,” jawab Bening kemudian bangkit dan menggeser bokongnya sedikit demi sedikit mendekati nakas. “Kamu ngabari dia kalau lagi sakit?” “I-ya.” Bening bersila lalu mengambil bantal untuk menutupi pahanya yang terbuka lebar di depan Aga. Meraih gelas teh, lalu meminumnya sedikit demi sedikit, dengan terus menatap wajar datar Aga dengan tanda tanya. “Pak Aga tahu dari mana?” “Dia barusan nelpon dan saya yang angkat.” “Kok nggak dikasih ke saya, telponnya?” Bening sediki
Mulut Bening sibuk mendesis nyeri sedari tadi. Tubuhnya sudah tidak sabar ingin berbaring, setelah memeriksaan diri di rumah sakit bersama Aga.“Pak, tebus obatnya di apotek luar aja,” pinta Bening setelah kembali dari toilet. “Pengen pulang, terus baring aja seharian.”“Telat.” Aga meraih tangan Bening yang berdiri di depannya dan membawa tubuh itu untuk duduk di sampingnya. “Resepnya sudah masuk ke dalam.”Bening menghela, dan langsung merebahkan kepalanya di pundak Aga karena mengantuk. Setelah semalaman tidurnya tidak tenang karena perut yang melilit, maka pagi ini Bening dilanda kantuk yang luar biasa.“Apartemen sama rumah sakit juga nggak jauh, Ning,” lanjut Aga membiarkan gadis itu berada di pundaknya. &