Bening membaca dokumen yang diberikan Rohit kepadanya dengan seksama. Mengangguk tipis berulang kali, karena seluruh isinya sudah sesuai dengan permintaan Sinta.
"Saya kasih salinannya dulu ke kamu, ya, Ning," ucap Rohit di sela-sela keterdiaman Bening yang tengah serius membaca isi surat wasiat dengan teliti. "Tolong perlihatkan dulu ke bu Sinta, dan kalau fix, kita bisa langsung cari waktu besok untuk tanda tangan. Biar semua cepat clear."
"Kalau besok, pas jam makan siang aja gimana, Pak? Saya nggak enak kalau mau izin lagi," pinta Bening meletakkan beberapa lembar berkas yang telah dibacanya di atas meja. Mengembalikan dokumen tersebut ke dalam map, lalu menutupnya.
“Kalau memang fix, langsung kabari saya, dan besok pas jam makan siang kita ketemu,” angguk Rohit setuju. Ia juga tidak ingin membuang-buang waktu karena permasalahan ini juga telah tertunda karena Rohit harus ke luar kota. Sementara Sinta, ingin urusan yang ada hanya ditangani oleh Rohit send
Moon maap, karena baru bisa up. Insya Allah bakal rutin up setelah ini. Amiin ....
Roda empat Christ akhirnya berhenti di depan pagar rumah Bening. Ada rasa hampa dan tidak terima jika hubungan yang sudah terjalin selam tujuh tahun lantas berakhir begitu saja. Sampai saat ini pun, hatinya masih terpaut pada Bening seorang. Kendati sudah dua tahun ia mencoba menjalani semua dengan Chika, tapi Christ tidak mendapatkan chemistry sama sekali. Christ sudah mencoba dan mencoba, tapi hatinya tetap kembali pada Bening. “Kita sama-sama tahu, kalau kita masih saling cinta, Ning,” ujar Christ mencoba kembali meyakinkan. “Tapi, kita harus berhenti Christ,” balas Bening sudah membuka sabuk pengamannya. “Mama kamu benar, kalau hubungan kita nggak akan pernah maju kalau salah satu nggak ada yang mau mengalah.” “Ada jalan lain, Ning.” Christ sudah menimbang semua hal, tinggal menunggu persetujuan Bening, maka semua akan terlaksana. “Kita bisa pergi ke Singapur, menikah di sana, Atau, kita bisa pindah dan tinggal di sana sekalian.” Bening ya
Seberapa pun kerasnya Bening menahan senyumnya di depan Sinta, tetap saja wanita tua itu tahu, kalau perasaan sang cucu kini sedang berbunga-bunga. “Belum gajian, kan?” sindir Sinta. “Atau lagi dapat arisan?” Akhirnya, wajah yang masih terlihat pucat itu meringis lebar, dan meletakkan sendoknya sebentar untuk meminum air hangatnya. “Gimana suratnya tadi, Ti? Sudah dibaca semua?” Bening mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sinta mengangguk kecil dengan penuh rasa curiga, jika Bening telah menyembunyikan sesuatu darinya. “Sudah oke. Jadi, nanti tolong hubungi pak Rohit, biar Uti bisa tanda tangan semuanya besok siang.” Bening balas mengangguk. “Oke, Ti, habis makan aku langsung telepon, pak Rohit.” Keduanya kembali menikmati makan malam dengan beberapa perbincangan kecil nan hangat. Namun, ketika makan malam telah selesai, Sinta melihat ada sesuatu yang terselip di jemari tangan kiri cucunya itu, ketika hendak membawa piring dan gelas
Bening hanya bersedekap di sofa. Menatap datar pada sang papa, dan ibu tiri yang sedang berada di samping ranjang pasien. Kedua orang itu tengah mencari berjuta perhatian dengan tidak tahu malu. Bening sampai muak karena mendengar kalimat-kalimat manis yang terlontar dari mulut keduanya yang sudah datang ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Semalam, Bening langsung membawa Sinta ke rumah sakit dengan bantuan taksi. Ia tidak mau mengambil resiko, dengan hanya membiarkan wanita tua itu hanya berada di rumah setelah pingsan di pelukannya. Di saat-saat seperti ini, hanya satu yang Bening takutkan, yakni Sinta akan meninggalkannya untuk selamanya. Bening sama sekali tidak bisa membayangkan, kalau hal tersebut sampai terjadi di hidupnya. Kendati, semua hal itu pasti akan menimpa kepada semua mahkluk ciptaanNya. Tidak berapa lama kemudian, kedatangan Mala sedikit memecah perhatian Ilham dan istrinya. Mala tidak lupa menyapa sepasang suami istri itu terlebih dahu
Meskipun hanya beberapa kali melihat, tapi Aga sudah mengenal mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu lobi kantornya dengan baik. Lantas, yang membuatnya semakin heran ialah, Aga melihat Bening keluar dari mobil tersebut. Sejurus kemudian, Aga juga melihat Bening melambai dengan senyum kecil, untuk melepas kepergian sedan berwana hitam yang meninggalkan area parkir gedung SM.Begitu mobil tersebut menjauh dan Bening pun terlihat berjalan pelan menuju pelataran kantor, Aga keluar dari roda empatnya. Membanting pintunya dengan kasar, lalu berjalan untuk menyusul Bening dan menyamakan langkahnya.“Diantar mantan pacar, Ning?”“Hm,” gumam Bening terus saja berjalan memasuki lobi dengan lesu dan juga menunduk pilu. Kepalanya terlalu penat karena memikirkan Sinta yang masih saja tidak memb
“Maksudnya … Bapak mau jadiin saya selingkuhan gitu?” tanya Bening lalu kembali menggigit bibir bawahnya begitu kuat, karena rasa gugup yang mendadak melanda dirinya. Wajah Aga yang masih berada tepat di depannya, membuat jantung Bening melonjak tidak karuan. “Nggak ingat, sama istrinya di rumah?” Aga menatap manik jernih itu untuk beberapa saat, kemudian mengerjap. Pertanyaan Bening barusan seolah menamparnya bolak balik dengan telak. Aga baru menyadari kalau dirinya saat ini masihlah memiliki seorang istri. Sudah terbiasa mengurus diri sendiri dan tidak pernah menghabiskan quality time bersama keluarga, membuat Aga seketika melupakan semuanya. Bahkan, putra satu-satunya yang dimiliki Aga pun, belakang ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek neneknya daripada bersama dirinya dan sang istri. “Atau, Bapa
Bening mengetuk kaca pintu mobil di sisi Christ, ketika pria itu menjemputnya sepulang kerja. Menunggu untuk beberapa detik hingga kaca hitam tersebut bergerak turun dengan perlahan.“Kenapa nggak masuk? Lembur?” tanya Christ setelah kaca mobilnya terbuka sempurna. Melihat Bening tanpa membawa tas sama sekali.“Keluar bentar, aku mau ngomong,” pinta Bening dengan wajah dan intonasi suara yang lesu. Christ mengangguk lalu keluar tanpa menutup kembali kaca mobilnya. Ia lalu bersandar pada badan mobil, seraya bersedekap. Menunggu sang kekasih untuk berbicara.“Lembur?” taya Christ sekali lagi karena Bening belum menjawab pertanyaannya.Bening menggeleng, lalu melepas cincin pember
Bening menggeleng pelan pada Christ, ketika ia berjalan di samping Aga menuju mobil pria itu. Mengisyaratkan, kalau Bening sudah tidak ingin lagi berbicara pada Christ. Aga pun hanya menatap Christ sekilas. Menampilkan wajah datar tanpa keramahan sama sekali. Aga terus berjalan menuju roda empatnya dan membukakan pintu mobil untuk Bening terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia juga memasukinya. “Sudah selesai?” tanya Aga sudah melajukan mobilnya melewati Christ. “Ah?” Bening yang sempat melamun itu mendadak tersadar. Menoleh pada Aga dan bertanya, “Apanya yang sudah selesai, Pak?” “Kamu dengan dia,” ujar Aga memperjelas pertanyaannya. Bening tersenyum kecut. Mengalihkan tatapannya keluar jendela dan tidak menjawab Aga. Perasaannya benar-benar rumit. Berada di antara dua pilihan yang terlalu berat, hingga Bening lebih memilih untuk diam. “Kita ke rumah sakit?” Dengan melihat sikap Bening, sepertinya Aga bisa sedikit memahami, mengapa gadis
Vira menatap sang suami yang sudah terlihat rapi di pagi hari ini. Rapi dalam style Aga tentunya. Kemeja yang selalu tidak lepas dengan jaket apapun yang tersedia di lemari, celana jeans, dan sneaker yang selalu digunakannya untuk bekerja. Dahulu kala, Vira sangat menyukai penampilan Aga yang selalu kasual, energik, dan selalu terlihat lebih muda dari usianya. Namun, semakin ke sini, Vira menginginkan sosok yang selalu terlihat formal dan wibawa bersama jas dan dasi yang melingkar di pangkal leher. Sampai-sampai, Vira kerap membayangkan melilitkan dasi pada kemeja putih yang setiap pagi akan dipakai oleh sang suami. Hanya saja, Aga bukanlah pria seperti itu. Ditambah, profesinya yang tidak mewajibkan untuk berpakaian formal, membuat pria itu semakin betah dengan penampilannya saat ini. “Berangkat pagi?” tanya Vira yang baru saja menyuapkan serealnya sembari duduk santai di sebelah kitchen island. “Bukannya semalam juga pulang hampir pagi?” Semalam, se