“Aku masih tidak percaya semua ini!”
Setelah mengatakan itu, Ardi mendengus. Lalu, ia melanjutkan, "Tapi bagaimana bisa kalian menemukan aku? Berapa lama kalian menguntit aku sampai akhirnya membawaku?"
"Pertanyaan yang bagus," jawab Halim sambil mengurai senyum di ujung bibirnya.
Ardi menunggu jawaban dan penjelasan lebih lanjut.
"Memang tidak mudah menemukan orang yang tepat. Tapi perjuanganku dan Victor tidak sia-sia. Kamu sangat sesuai dengan bayangan kami untuk menjadi putra tunggal, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan. Bersiaplah untuk itu, Tuan Muda." Halim menjawab tidak sejelas yang Ardi mau.
"Maksud aku i—"
"Tidak ada waktu menjelaskan dengan detail. Yang kamu lakukan adalah mengenal Tuan Herman dan memahami bahwa keluarga beliau tidak pantas mendapatkan harta miliaran,” sela Halim. “Jadi saat kamu bertemu mereka, kamu akan tahu apa dan bagaimana kamu harus bersikap."
Mendengar ucapan itu, Ardi mulai bisa meraba situasi di keluarga Hartawan.
Apakah seperti yang ada di film atau sinetron tentang keluarga yang berebut warisan? Jika ya, hidup seperti apa yang dijalani miliader itu?
"Malam ini beristirahatlah. Besok pagi aku akan datang dan memulai rencana kita," kata Halim lagi.
"Pak, aku belum berkata iya dengan tawaran Bapak," sahut Ardi.
Ini semua tiba-tiba dan sangat mengejutkan. Ardi dibawa begitu saja tanpa permisi. Lalu seenaknya Halim memaksa dia menjadi orang lain. Hei! Tidak semudah itu, Tuan!
Halim dan Victor saling memandang. Apa itu artinya Ardi menolak rencana besar Tuan Herman?
"Kamu mau menolak rencana Tuan Besar?" tanya Victor kaget. Setelah semua yang dia paparkan Ardi tidak mau ikut rencana mereka? Apa dia sudah tidak waras?
"Kamu mau balik pada hidup kamu yang hampir tidak bisa disebut kehidupan itu?" Langsung Victor bicara dengan keras dan ketus?
"Aku masih bingung. Apa harus aku? Aku tidak ada hubungannya dengan semua urusan Tuan Herman dan keluarganya." Ardi katakan saja apa yang muncul di kepalanya.
Victor menatap dalam pada Ardi. "Tuan Muda, jika gampang menemukan orang yang tepat, tidak perlu aku jauh-jauh menjelajah kota demi kota, menyelidiki hidup orang-orang yang aku tidak pernah tahu. Tidak perlu jauh-jauh aku mencari hingga pinggiran Semarang dan membawa kamu ke Jakarta."
"Jakarta? Kita di Jakarta?" Ardi terkejut mendengar itu.
Keduanya saling memandang. Ada rasa kesal yang tampak dari tatapan Victor.
"Ya, kita ada di ibukota negara Indonesia. Dengar baik-baik, ini juga bukan urusanku. Mau harta Tuan Besar dicuri saudaranya atau mau dihabiskan dalam semalam, itu juga bukan urusanku,” ucap Victor. “Tetapi aku melihat banyak keluarga yang akan kehilangan pekerjaan, anak-anak yang mungkin saja putus sekolah kalau bukan orang yang tepat yang memegang semua aset milik Tuan Besar."
Kemudian Victor melanjutkan. "Kalau aku yang mirip dengan Tuan Besar, aku bersedia menjadi Tua Muda Helios."
Ardi menelan ludahnya.
Kenapa Victor jadi marah? Apa salah kalau Ardi menolak? Apa iya Ardi akan berpura-pura jadi orang lain?
"Victor, tahan dirimu. Jangan buat Tuan Muda makin bingung." Halim menegur. Dia paham pria muda di depannya yang dia ambil tiba-tiba itu pasti sedang bingung dan masih perlu waktu mencerna semuanya."Baik, Tuan.” Victor mengangkat dua tangan seperti orang yang mau menyerah. “Bagian selanjutnya aku serahkan pada Tuan saja."
Halim melepas tangannya dan meletakkan di atas meja. Tubuhnya mendekat hampir merapat pada meja.
"Tuan Muda, aku tidak sedang tawar-menawar dengan kamu. Ini yang aku tunjukkan nyata di depanmu. Hidupmu yang ingin kamu akhiri karena terlalu berat kamu jalani atau hidup di sini, kamu punya semua yang kamu perlukan dengan menjadi Tuan Muda Helios?
"Kamu masih muda, waktu hidup kamu masih panjang. Apakah akan kamu akhiri sia-sia? Sedangkan di sini, dengan menjadi Helios Bintang Hartawan, kamu sedang menyelamatkan banyak kehidupan. Bukan hanya hidupmu yang berubah, tapi banyak yang lain karena kamu ada di posisi ini."Tegas dan berkarisma, Halim berkata.
Degupan kuat di ada Ardi belum mereda. Yang Halim katakan benar. Kembali menjadi Ardi hidupnya akan sia-sia. Dia kembali akan berhadapan dengan ibu kos galak yang pasti akan mengusirnya. Lalu, dia masih akan bertemu kekasih yang sudah mencampakkannya. Juga, Ardi belum tahu akan dapat uang dari mana karena dia sudah dipecat dari pekerjaan.
"Kamu mau mati sia-sia atau mendapatkan kesempatan menjadi orang yang berguna?" Kalimat itu menghunjam di hati Ardi.Ardi menarik napas dalam. Dia menegakkan punggungnya dan menatap Halim lekat-lekat.
"Baiklah. Aku Helios Bintang Hartawan." Dengan suara bergetar Ardi mengucapkan itu.
Victor mengepalkan tangan tanda kegirangan. Halim tersenyum lebih lebar. Dia terlihat sangat lega mendengar yang Ardi katakan.
"Anak baik," ujar Halim masih dengan senyumnya. "Aku dan Victor harus mengurus hal yang lain. Puaskan dirimu. Besok kita akan bertemu lagi dan bersiaplah untuk banyak hal baru yang akan kamu temui."
Halim dan Victor meninggalkan ruangan itu. Semua berkas yang tadi ditunjukkan pada Ardi mereka bereskan dan simpan kembali. Folder pun mereka bawa. Ardi hanya memandangi saja kedua pria itu beranjak dan hilang di balik pintu.
Begitu kedua pria yang masih misterius bagi Ardi itu berlalu, Ardi bangun dari kursinya dan melangkah ke depan cermin besar lagi. Dia perhatikan dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Aku jadi tuan muda? Aku bukan lagi Ardiandana Krisnadi, pemuda miskin dari kampung. Aku adalah Helios Bintang Hartawan, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan." Dengan jelas sambil menatap dirinya di cermin, Ardi bicara.
Sebenarnya kalau tampang dia lumayan. Tinggi juga posturnya. Sayang saja, nasib buruk terus mengikuti sejak dia bocah. Bahkan boleh dikata sejak dia lahir. Mungkin malah sejak dia masih dalam rahim ibunya. Tapi Ardi tidak terlalu tahu detail kisah hidupnya sendiri.
Ardi berbalik, lalu mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Kamar yang besar. Kalau tidak salah perhitungan, kamar itu empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya selama ini. Kamar sebagus ini akan jadi kamarnya. Mimpi apa dia?
Ardi melangkah cepat menuju ke lemari besar di samping cermin besar itu dan segera membuka isinya. Ardi masih terkagum-kagum dengan deretan pakaian-pakaian bermerek yang digantung memenuhi lemari. Cepat tangan Ardi meraih satu kemeja yang berwarna putih dengan motif abstrak biru dan hitam. Bagus sekali.
"Astaga. Ini baju satu lembar gini, bisa jatah makanku lebih satu minggu harganya." Ardi bicara sendiri.
Tiba-tiba sorotan lampu mobil masuk dari jendela yang tak jauh di sebelah kiri lemari. Ardi bergerak mendekati jendela. Dari kaca, Ardi melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti dan diparkir di halaman rumah besar itu.
Seorang gadis turun dari dalam mobil. Suasana remang-remang, sehingga Ardi tak bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. Yang pasti, dia berambut lurus panjang hampir sepunggung dengan postur tubuh imut tetapi padat berisi dan bagus.
"Siapa gadis itu? Apakah masih keluarga Tuan Herman?" Ardi bergumam sambil menatap lebih tajam pada si gadis yang berjalan ke arah teras rumah.
Mata Ardi terus mengekori gadis yang baru datang ke rumah itu. Tepat saat gadis itu berdiri di teras, Ardi bisa melihat wajahnya. Cantik. Tidak sangat cantik, tetapi menarik dan unik. Pakaian yang dia kenakan press body. Kaos hitam dan celana pendek di atas lutut berwarna putih. Sepatu flat putih melengkapi penampilannya, makin asyik dilihat.
"Aku ingin tahu siapa gadis itu. Dia berbeda dari gadis-gadis yang aku lihat sebelumnya." Hati Ardi bicara.
Si gadis masuk ke dalam rumah. Seorang pelayan menyambutnya membawakan koper merah yang sebelumnya ditarik gadis itu.
Ardi masih memandang keluar jendela. Dia penasaran jika dia bertemu dengan gadis itu, apa yang akan terjadi? Ardi berbalik menuju ke pintu dan mencoba membukanya, tetapi terkunci.
"Jadi aku ditawan Pak Halim dan Bang Victor?" Ardi mengerutkan keningnya. Ada rasa kesal tapi juga takut menyusup cepat di dada Ardi. Kembali matanya memandang sekeliling ke seluruh ruangan besar itu. "Sampai kapan aku disekap di sini?"
Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu. "Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh ruma
Jantung Helios seperti melompat dan meledak saat Victor mengajaknya berkeliling rumah yang sangat besar itu. Ruangan-ruangan yang ada luas, lengkap dengan berbagai barang mewah dan modern. Helios rasanya seperti masuk ke sebuah istana entah di negeri mana. Bahkan dia hampir yakin dia memang tengah bermimpi dan terjebak di sana, tanpa tahu kapan akan bangun.Selama berkeliling yang tidak cukup sepuluh menit itu, Helios berulang kali berdecak kagum dengan semua yang dia lihat. Hotel berbintang pun pasti kalah dengan kemegahan rumah Tuan Besar Hartawan. Cocok sekali kalau namanya Hartawan. Isi rumahnya sudah menggambarkan seberapa banyak hartanya."Kamu harus langsung menghafal ruangan-ruangan di mansion ini, Tuan Muda. Karena ini rumah kamu. Setelah Tuan Besar, kamu yang punya kuasa di sini." Victor berbicara sementara mereka berada di lantai atas, berjalan di balkon.Dari situ Helios melihat rumah besar lain di seberang gedung tempatnya berada. Helios tidak tahu mana yang lebih besar,
Kali ini Halim tidak mau ada tawar menawar, keraguan, atau apapun yang menyiratkan kalau Helios masih belum benar-benar sepakat dengan rencana besar Herman Hartawan. Melihat sikap Halim yang lebih tegas, Helios tidak mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bertekad, dia tidak akan mengeluh. Semua itu tidak ada gunanya. Yang dia harus lakukan, ikuti saja ke mana Halim dan Victor membawanya. Setelah hampir dua jam, akhirnya pertemuan mereka selesai. Ada kelegaan di hati Helios. Dia bisa sedikit longgar bernapas, sebelum kemudian harus fokus mengingat dan menghafal segala hal yang dicekokkan kepadanya dalam waktu yang singkat. “Kembalilah ke kamarmu, Tuan Muda. Aku dan Victor ada urusan. Nanti jam satu siang, pergilah ke kamar Tuan Besar dan makan siang bersamanya,” titah Halim. “Baik, Pak. Terima kasih.” Helios bangun dan bersiap keluar ruangan itu. Victor memanggil seorang pelayan pria dan memintanya mengantar Helios ke kamar. Helios tahu, bukan karena Victor kuatir Helios akan ter
“Mari, kita sambut … Tuan Muda Helios Bintang Hartawan!”Debaran makin kuat melanda dada Helios. Dia berdiri di tangga teratas dari lantai dua. Di ruang bawah, ruang tengah yang sudah disulap dengan begitu indah, semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan penuh tanya yang diselingi senyum, membuat hati Helios makin tak menentu.Musik yang menghantar Sang Tuan Muda hadir di tengah pesta itu mengalun manis. Lembut, syahdu, tetapi juga megah. Selangkah demi selangkah Helios mengayunkan kaki menuruni anak tangga, smentara MC acara terus berbicara memperkenalkan Sang Tuan Muda.Gelisah dan resah yang memenuhi hati Helios. Tetapi yang dia harus lakukan adalah tersenyum. Bukan senyum kecut dan kurang percaya diri, sebaliknya senyum bahagia karena dia pulang ke rumah dan bertemu ayah tercinta.Tepuk tangan terus mengiringi Helios hingga dia tiba di anak tangga paling bawah. Di saat itu, Herman menyambut Helios dengan senyum lebar. Meskipun di kursi rodanya, Herman tampak sumringah. Tangannya
Herman, Helios, bersama Siska dan tiga orang tamu yang sedang duduk mengelilingi meja, mengarahkan pandangan pada pria tinggi jangkung yang baru datang ketika tamu-tamu mulai meninggalkan acara malam itu.“Raditya! Senang melihatmu bisa hadir juga malam ini. Mari, duduklah!” Herman merentangkan tangannya dan mempersilakan Raditya ikut bergabung dengan mereka.Raditya maju beberapa langkah. Dia berdiri tepat di belakang kursi yang berseberangan dengan Helios. Matanya mencermati pria muda yang gagah dan tampan yang tengah duduk di samping Herman. Dia tidak berkedip menatap Helios.“Wow … Siapa namamu?” tanya Raditya tanpa memperhatikan ucapan Herman.“Aku Helios Bintang Hartawan.” Dengan tenang, meskipun jantung mulai tidak tenang, Helios menjawab.Raditya tersenyum nyengir. Logat Helios bicara jelas bukan orang Jakarta. Lebih terkesan bernada orang Jawa.“Dari mana asalmu?” tanya Raditya lagi.Wajah Helios terasa mulai panas. Hampir dia membuka mulut menyebut kota asalnya, dengan cepat
Helios memandang Herman. Rasanya aneh berdua dengan seorang laki-laki yang menyebutnya anak. Helios tidak pernah punya ayah. Campur baur rasa di dadanya berdua saja dengan Herman.“Apapun yang muncul di kepala dan hatimu, katakan saja. Dari awal kamu harus jujur dan terbuka. Karena itu akan berpengaruh pada hal-hal lain yang nanti kamu hadapi, Helios.”Perlahan, Helios menarik napas dalam. Lalu dia mulai bicara.“Aku tidak nyaman, Tuan. Mereka tidak menerimaku. Mereka terganggu dengan kedatanganku.”Mendengar ucapan Helios, Herman tersenyum. “Itu pasti. Aku sudah tahu sejak awal apa yang akan terjadi dengan kepulangan kamu. Kalau mereka terganggu, mereka lebih baik pergi saja dari sini. Aku tidak akan menahan mereka untuk tinggal. Uang yang aku berikan sangat cukup untuk mereka hidup meskipun jauh dariku.”Helios mendengarkan. Dia perlu lebih jelas mengerti situasi di antara Herman, Siska, dan Raditya. Apa yang t
Helios merasa detak jantungnya terus berpacu. Dia sudah di dalam mobil mewah berwarna putih dan mentereng. Halim mengatakan mobil itu hampir tidak pernah dipakai sejak dibeli oleh Herman. Waktu dia mulai mencari anaknya, mobil itu dipastikan akan menjadi milik Helios. “Kamu bisa menyetir, kan?” Halim memandang Helios yang duduk tidak tenang di sampingnya. “Ya, aku pernah belajar menyetir. Tapi sudah cukup lama aku tidak menyetir mobil.” Helios bicara dengan menahan debaran yang terus menguat di dadanya. “Kalau masih perlu sopir, tinggal pilih siapa yang Tuan Muda mau. Di rumah ada beberapa pelayan yang siap.” Halim mulai menyalakan mobil dan menjalankan perlahan kendaraan itu meninggalkan area mansion. Helios memandang ke depan. Ini pertama kali dia akan keluar dari rumah besar dan menuju ke kantor Belum sampai gerbang depan kendaraan berpapasan dengan gadis cantik berambut coklat kemerahan yang menarik perhatian Helios.Mata Helios tak berkedip. Dengan legging hitam dan kaos keta
Helios menghentikan langkah tepat dua tapak dari pintu. Di ruang besar itu ada lebih dari seratus karyawan duduk di dalam, menunggu kehadiran Herman dan Helios. Halim terus mendorong kursi roda Herman dan naik ke panggung yang ada di sisi kiri dari pintu masuk. Helios masih terdiam di tempatnya. Semua mata tertuju pada Herman dan Halim. Begitu Herman berada di hadapan semua karyawannya, dia melihat ke samping dan tidak mendapati Helios di dekatnya. Dengan cepat, dia mencari di mana Helios. Dengan tatapan matanya, Herman meminta Helios mendekat. Masih dengan jantung berdetak tidak menentu, Helios melangkah lagi, mendekati Herman dan Halim. Helios berdiri di samping kanan Herman, sedangkan Halim dia mundur, lalu turun dari panggung dan duduk di kursi paling depan di sebelah Victor. “Hari ini adalah hari sangat istimewa buatku. Cukup lama aku tidak datang ke kantor karena fokus dengan kesehatanku.” Herman memulai pertemuan itu. Semua orang yang ada di ru