"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
“Bodoh! Ini sudah keterlaluan!” Ardiananda Krisnadi terdiam. Pria muda hampir dua puluh empat tahun dengan tubuh tinggi itu mengepalkan tangannya dan menunduk dalam-dalam. Lagi-lagi dia difitnah teman kerjanya di depan bos. Namun, alih-alih mendengar penjelasan Ardi, si bos justru meledak-ledak, percaya penuh pada karyawannya yang melapor karena karyawan tersebut adalah pegawai kepercayaan si bos.“Sudah berapa kali kamu berulah, hah!? Sebelumnya aku masih baik sama kamu. Tapi sekarang tidak!” Bosnya melanjutkan. “Aku tidak bisa mentolerir lagi kelakuan ini, Ardi! Kamu aku pecat!”Pemuda itu terbelalak. “B-Bos, dengarkan penjelasan–”Si bos mengibaskan tangannya dan langsung berbalik pergi. Bahu Ardi menurun, semangatnya pupus. Ia kemudian mengganti seragam kerjanya dengan pakaian hari-hari yang dia bawa. Dia membereskan loker dan meninggalkan seragamnya di sana. Dengan ransel di pundak, Ardi keluar dari tempatnya bekerja. Di tepi jalan, Ardi menoleh dan melihat lagi bangunan yang
Perlahan, mata Ardi terbuka, meskipun terasa berat. Kepalanya terasa berat dan pusing–membuatnya refleks menyentuh keningnya."Dia bangun, Tuan!" Suara seorang pria terdengar jelas di telinga Ardi. Sepertinya pria itu ada tidak jauh darinya.Ardi memaksa untuk menoleh ke sumber suara. Cahaya di ruangan itu sangat terang dan membuatnya silau. Berapa terkejutnya Ardi ketika ia melihat apa yang ada di sekelilingnya!"Di mana …?"Sekitarnya tampak besar, luas, dan mewah. Dinding dan langit-langit kamar berwarna putih bersih, dengan barang-barang mewah ditata apik bak rumah jutawan. Semua juga berwarna putih. Aneh sekali. Apa ini di surga? Lalu siapa pria yang tadi bicara?Ardi melihat seorang pria setengah baya berkumis duduk di kursi besar, kira-kira empat meter jaraknya dari ranjang. Di sebelah pria itu berdiri pria yang lebih muda, mungkin baru masuk usia tiga puluhan. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, melawan semua warna putih yang ada di ruangan itu."Selamat datang, Anak Mud
“Siapa itu Helios?”Halim tidak mengomentari perkataan Ardi. Dia justru menoleh dan bicara setengah berbisik pada Victor. Victor mengangguk dan bergerak mendekati bufet kecil di sisi kanannya. Dia mengambil sebuah folder berwarna biru gelap dan memberikannya kepada Halim.Halim membuka folder dan mengambil beberapa dokumen penting. Dia membebernya di atas meja. Ardi mengerutkan kening mencoba melihat dengan lebih jelas, berkas apa saja yang ada di sana."Mendekatlah, Tuan Muda. Ini beberapa berkas yang akan paling kamu butuhkan untuk menjalankan misi besar hidupmu," kata Halim."Misi besar?" Ardi refleks mengulang kata itu. Apa lagi yang dia dengar?Dengan ragu dan kebingungan, Ardi berpindah duduk di samping Halim, menghadapi sebuah meja bundar. Tampak akta kelahiran, KTP, buku rekening, kartu ATM, dan tidak ketinggalan kartu kredit."Ambil akta kelahiran itu dan bacalah," kata Halim memerintah.Ardi menurut saja perkataan Halim. "Helios Bintang Hartawan." Pelan Ardi membaca. Tang
“Aku masih tidak percaya semua ini!”Setelah mengatakan itu, Ardi mendengus. Lalu, ia melanjutkan, "Tapi bagaimana bisa kalian menemukan aku? Berapa lama kalian menguntit aku sampai akhirnya membawaku?" "Pertanyaan yang bagus," jawab Halim sambil mengurai senyum di ujung bibirnya.Ardi menunggu jawaban dan penjelasan lebih lanjut."Memang tidak mudah menemukan orang yang tepat. Tapi perjuanganku dan Victor tidak sia-sia. Kamu sangat sesuai dengan bayangan kami untuk menjadi putra tunggal, pewaris utama dari Dinasti Herman Duta Hartawan. Bersiaplah untuk itu, Tuan Muda." Halim menjawab tidak sejelas yang Ardi mau."Maksud aku i—""Tidak ada waktu menjelaskan dengan detail. Yang kamu lakukan adalah mengenal Tuan Herman dan memahami bahwa keluarga beliau tidak pantas mendapatkan harta miliaran,” sela Halim. “Jadi saat kamu bertemu mereka, kamu akan tahu apa dan bagaimana kamu harus bersikap."Mendengar ucapan itu, Ardi mulai bisa meraba situasi di keluarga Hartawan. Apakah seperti yang
Sekalipun perasaannya campur aduk, Ardi harus mengakui dia terpesona dengan kamar besar tempatnya disekap. Dia bahkan baru menyadari ada pantry lengkap dengan kulkas kecil di kamar itu. "Semua lengkap di sini. Aku tidak perlu ke mana-mana, semua sudah ada." Ardi berkata pada dirinya.Lalu dia melangkah naik ke ranjang. Dia meraih remote control di atas nakas sebelah ranjang dan menyalakan TV. Bukan sembarang TV. Channel internasional ada pada tayangan TV yang dipasang di dinding seberang ranjang."Nyaman sekali. Biarpun disekap, aku tidak akan bosan, aku bisa melakukan apa yang aku mau." Ardi tersenyum.Asyik juga menjadi orang kaya. Semua sudah disiapkan lengkap dalam satu kamar. Baru satu kamar saja indahnya seperti ini. Luas, mungkin empat atau lima kali lebih besar dari kamar kosnya. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter lebih sedikit. Hanya ada kasur di lantai, lemari kecil dan meja kecil untuk Ardi menyimpan barang-barangnya yang tidak seberapa itu.Lalu, bagaimana dengan seluruh ruma