Share

Bab 3. Kenapa Aku?

“Siapa itu Helios?”

Halim tidak mengomentari perkataan Ardi. Dia justru menoleh dan bicara setengah berbisik pada Victor. 

Victor mengangguk dan bergerak mendekati bufet kecil di sisi kanannya. Dia mengambil sebuah folder berwarna biru gelap dan memberikannya kepada Halim.

Halim membuka folder dan mengambil beberapa dokumen penting. Dia membebernya di atas meja. Ardi mengerutkan kening mencoba melihat dengan lebih jelas, berkas apa saja yang ada di sana.

"Mendekatlah, Tuan Muda. Ini beberapa berkas yang akan paling kamu butuhkan untuk menjalankan misi besar hidupmu," kata Halim.

"Misi besar?" Ardi refleks mengulang kata itu. Apa lagi yang dia dengar?

Dengan ragu dan kebingungan, Ardi berpindah duduk di samping Halim, menghadapi sebuah meja bundar. Tampak akta kelahiran, KTP, buku rekening, kartu ATM, dan tidak ketinggalan kartu kredit.

"Ambil akta kelahiran itu dan bacalah," kata Halim memerintah.

Ardi menurut saja perkataan Halim. 

"Helios Bintang Hartawan." 

Pelan Ardi membaca. Tangan Ardi gemetar saat membaca nama orang tua yang tertera dari akta itu. Dia merasa seperti tidak sedang duduk tapi melayang beberapa senti dari atas lantai.

"Herman Duta Hartawan, Arinda Kristania." Ardi mengangkat wajahnya yang memerah dengan tangan masih gemetar. "Kenapa nama ibuku ada di sini?"

"Itu akta kelahiran kamu, Tuan Muda. Tuan Herman Duta Hartawan itu ayah kamu dan ibu kamu, ya itu memang ibu kamu." Jawaban Halim membuat Ardi makin bingung. Antara dia mau marah, tetapi banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya. 

Pertanyaan-pertanyaan itu menambah daftar panjang misteri hidupnya sendiri yang hampir tak bisa dia singkapkan.

"Ini tidak benar. Ayahku bukan Herman Duta Hartawan. Namaku bukan Helios. Aku Ardiandana." Ardi menguatkan hati, menatap Halim.

Halim mencondongkan badannya mendekat ke arah Ardi. "Kamu memilih menjadi Ardiandana, pria miskin yang putus asa dan mencoba bunuh diri terjun ke sungai, atau kamu mau menjadi Helios Hartawan dan tinggal di mansion mewah serta punya segalanya?"

Kalimat itu diucapkan dengan nada berat, menekan, dan menempatkan Ardi pada posisi harus memilih menjadi Helios. Ardi menelan ludahnya. Sekali lagi pertanyaan yang muncul di benaknya, dia sedang tidak bermimpi, bukan?

"Tapi, tapi itu semua tidak benar, Pak. Aku bukan Helios, aku Ardiandana. Ardi panggilanku." Ardi membalas tatapan Halim. "Kenapa aku harus jadi Helios? Helios yang sebenarnya di mana? Mana Tuan Herman Hartawan? Apa ini semua rekayasa? Sebuah skenario film?" 

Halim menarik badannya kembali tegak. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Aku senang kamu menanyakan itu. Ya, ini sebuah skenario. Skenario yang harus dilakukan Tuan Herman demi menyelamatkan banyak nyawa dan masa depan anak-anak sederhana seperti kamu."

"Aku tidak mengerti," sahut Ardi. Semakin lama Ardi merasa Tuan berkumis itu semakin misterius.

"Tuan Muda Helios. Biasakan dirimu dengan panggilan itu." Halim berkata tegas. "Begitu kamu keluar dari pintu kamar ini, siapa pun yang bertemu denganmu akan menghormati kamu sebagai Tuan Muda. Kubur Ardi dalam-dalam, aku akan mengajari kamu menjadi Tuan Muda yang patut meneruskan perjuangan ayah kamu yang sedang terancam."

Ardi memegang kepalanya. Dia pejamkan mata, mencoba mengerti semuanya. Sayangnya yang ada hanya kebingungan yang semakin dalam. Ardi ingin semua jelas, dijabarkan dengan gamblang, bukan sepenggal-sepenggal yang membuat dia seperti orang bodoh.

Dengan keras Ardi menggeleng-geleng, lalu memukul-mukul kepalanya. Dia berharap semua ini mimpi dan dia segera bangun. Siapapun dia berharap dapat menolong Ardi sadar dan kembali pada hidupnya.

"Kamu tidak sedang bermimpi, Tuan Muda. Ini kehidupan kamu yang akan kamu jalani. Tidak masalah jika semua ini belum kamu pahami, aku akan beri kami waktu menenangkan diri." Halim menatap dalam-dalam pada dua mata kuyu dan tegang Ardi.

"Istirahat saja malam ini. Besok pagi kita akan bicara lagi sambil sarapan." Halim memutuskan.

"Bapak mau pergi? Lalu aku?" Ardi bertanya sambil merasakan di dadanya ada degupan kencang mulai menerjang. Kalau kedua pria itu pergi, Ardi ditinggalkan dalam kamar sendirian. Apa yang bisa dia lakukan?

"Kamu jangan takut dan kuatir, Tuan Muda. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu tinggal panggil pelayan saja. Mereka akan siap menolong segala keperluan kamu, dua puluh empat jam," kata Victor menjawab kegelisahan Ardi.

"Aku tidak mau ditinggalkan di sini tapi tidak mengerti apa yang terjadi. Yang Bapak katakan tadi masih membingungkan. Jelaskan sebenarnya ada apa? Kenapa aku yang kalian culik?" Ardi tidak mau kedua pria itu pergi sebelum mereka memberikan penjelasan yang gamblang padanya.

"Tuan, boleh aku yang menjawab pertanyaan Tuan Muda Helios?" Victor bertanya sambil matanya tetap tertuju pada Ardi.

Halim mengangguk.

Pria itu menarik badannya hingga bersandar pada sandaran kursi. Kedua tangan dia lipat di depan dada, mempersilakan Victor memberikan jawaban untuk Ardi.

Victor memandang Ardi. Entah kenapa pemuda itu tidak segera membuka mulut dan berbicara. Ardi mengerutkan kening hingga hampir menyatu, tidak sabar mendapat penjelasan yang dia butuhkan. Sementara degupan kencang di dada Ardi kembali menguat.

"Tuan Herman Duta Hartawan. Mungkin kamu belum pernah mendengar nama Tuan Besar. Dan pasti belum tahu seperti apa wajahnya. Tapi simak baik-baik yang aku akan katakan padamu, Tuan Muda." Akhirnya Victor memulai.

Halim duduk dengan tenang, dengan posisi yang sama. Sedangkan Ardi, dia makin tegang saat Victor mulai bertutur kata.

"Dia seorang pekerja keras yang tidak kenal lelah sejak muda. Sekalipun lahir dari keluarga sederhana, dia mampu menjadi pria hebat. Dia punya holding company yang bergerak di bidang property dan fashion. Dia punya sekolah dan rumah sakit juga yang terus berkembang." Kisah berlanjut.

Ardi mendengar dengan cermat. Dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar tentang Tuan Herman Hartawan. Seperti apa dia? Tapi dari cerita singkat itu, tampaknya dia orang hebat. Lalu, hubungannya dengan Ardi apa?

"Sayangnya, kesuksesan dia tidak sejalan dengan kehidupan pribadinya. Dia tidak punya keturunan langsung untuk meneruskan semua yang dia punya. Tapi dia harus punya pewaris." Kalimat itu diucapkan dengan lebih tegas oleh Victor.

Detak jantung Ardi makin kencang. Sesuatu bergerilya di kepalanya. Tetapi justru membuat Ardi takut. Victor mengutak-atik ponselnya lalu dia tunjukkan sebuah foto di depan Ardi.

"Ini Tuan Herman Hartawan," ucap Victor.

Mata Ardi melotot lebar melihat wajah pria yang terpampang di sana! Rasanya Ardi tak percaya melihat gambar yang tampil di layar ponsel Victor. Seorang pria yang sangat mirip dengan dirinya, Ardiandana Krisnadi.

"Ini Tuan Herman?" tanya Ardi dengan mata tak berkedip.

"Ini foto Tuan Besar saat masih muda. Ini fotonya yang terakhir," jawab Victor. Dia menggeser gambar pertama dan muncullah foto yang lain.

Yang tampak di layar, foto seorang pria berusia lebih dari setengah baya, kurus dan terlihat pucat. Ada kerutan di wajahnya di sela senyum tipis yang dia urai. Rambutnya sudah sangat tipis berbeda dengan foto sebelumnya. 

Walau begitu kemiripan di antara Tuan Herman dan Ardi masih bisa ditemukan. Dada Ardi makin berdebar kuat. Panas menjalar di tubuhnya, sedang tangan dan kakinya terasa sangat dingin. 

Ini gila! 

Kalau benar yang dia pikir bahwa dia dijadikan anak Tuan Herman, ini gila!

"Bagaimana kamu mulai paham sekarang, mengapa aku membawa kamu ke sini? Dan mengapa kamu yang aku culik?" Halim bicara masih dengan posisi duduk yang sama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status