"Udah mama bilang, cari istri itu yang setara, biar nggak ada drama-drama kayak gini," ketus Leny.
"Udah terlanjur, Ma. Jangan diungkit lagi. Lagian tu si Kayla, sudah saya bilang uang dikumpulin buat beli rumah. Kalau seperti ini terus kapan cukup uangnya? Harusnya dia tahu harganya nggak murah. Jadi jangan pakai uang untuk hal tak berguna!"
Leny terkekeh senang, dia memang kompor sejati.
Kayla menutup telinga dengan bantal saat kembali terdengar suara gedoran di pintu kamar. Kayla menghapus air mata dengan kasar, lalu duduk di pinggir ranjang.
Manisnya madu pernikahan hanya diteguk sesaat, lalu berganti pahitnya kenyataan. Kayla tergugu menatap potret ayah ibu yang tersimpan di ponselnya. Mereka semakin menua seiring tahun berganti dan dirinya tak juga bisa membahagiakan mereka. Bahkan untuk berkunjung atau dikunjungi pun, tergantung restu sang suami. Ini sangat menyakitkan.
"Hey! Buka pintunya!" Aaargh, Bryan memaki di balik pintu kamar, sementara Kayla menulikan telinganya.
"Sial, entah sudah berapa banyak uang yang dia kirim ke keluarga di Subang. Bisa berantakan rencana membeli rumah pak Surya untuk investasi!" teriak Bryan lagi seraya terus menggedor pintu.
"Biarin aja, nanti juga keluar kalau lapar. Eh, Bryan. Mama perlu uang sepuluh juta, si Indri anaknya mau mantenan, teman-teman arisan pada mau urunan nyumbang. Mama sih cukup lima juta aja, yang lain ada yang nyumbang sepuluh juta."
Degh! Lima juta? Keterlaluan kau Leny. Kayla menarik garis di bibir membentuk senyum sinis.
"Iya, Ma. Nanti Bryan isi lagi Atm-nya."
Cukup! Kalian akan merasakan pembalasanku nanti, geram Kayla. Tangannya terkepal, seraya membayangkan Leny akan menangis memohon kemurahan hatinya kelak.
Saat ini Kayla bertekad tak akan keluar kamar, sementara Bryan bertekad akan memastikan Kayla tak mengirimkan uang ke orangtuanya lagi. Bagaimana pun caranya.
Tak berguna, kata Bryan.
Mengunci diri di dalam kamar, Kayla tak henti menumpahkan air mata. Terisak di pembaringan seraya memeluk bantal, dia menahan suara agar lelaki yang berteriak dari balik pintu tak mendengar tangisannya.
"Kayla, buka pintunya! Mas mau ambil jam tangan!" teriak Bryan.
Kayla bergeming. Bantal telah basah oleh air mata. Matanya menerawang mengitari seisi kamar. Bila dalam keadaan normal, ia akan sangat menikmati ranjang mewah tempatnya berbaring. Kamar ini didekorasi indah, dilengkapi perabotan berkelas pilihan sang suami. Sayangnya, semua terasa hambar di mata Kayla.
"Kayla! Buka pintu, kita bicara baik-baik." Suara di luar pintu melunak. Kayla tetap bertahan memeluk bantal. Ia tak percaya perkataan sang suami.
"Pergi sana!" balasnya.
Bryan bukan tipikal lelaki yang gampang merasa iba, bila tak suka maka jangan harap ia bermurah hati. Lelaki itu akan merasa puas bila melihat Kayla menangis. Semakin pilu derita sang istri, semakin dia merasa berkuasa, setidaknya itulah yang Kayla rasakan. Menyebalkan.
Kata-kata pedas itu seperti terdengar kembali. Tak berguna. Memberi sedikit untuk orang tua dianggap tak berguna. Hati nuranimu benar-benar telah mati, Bryan. Rumah yang ingin dibeli itu pun sebenarnya tak begitu mendesak, hanya untuk investasi, menunggu anak-anak dewasa juga bisa. Kayla mengutuk dalam hatinya.
Lagi, Kayla sesenggukan. Ternyata benar kata orang, harta bisa mematikan hati nurani manusia. Tanpa disadari, kesombongan kerap datang menyertai limpahan harta.
"Ya udah, Ma. Bryan mau berangkat kerja dulu. Kalau Kayla keluar kamar, bantu ingatin dia jangan kirim-kirim uang lagi."
Air mata Kayla tak kunjung mengering walau tak terdengar lagi suara sang suami memaki. Riuh anak-anak tengah bermain lamat terdengar di kamar sebelah dan Kayla tak ingin mereka kehilangan tawanya hanya karena pertengkaran ayah ibunya hari ini.
Bryan benar-benar berubah, tak seperti belasan tahun lalu, saat dengan manis ia berjanji di depan orang tua Kayla yang hidup sederhana di sebuah rumah kecil, di pinggiran kota Subang.
"Saya bersungguh-sungguh ingin menikahi Kayla," pintanya waktu itu kepada ayah Kayla.
Ayah Kayla mengangguk tanda setuju, pun ibu. Mereka menerima lelaki manapun yang dipilih Kayla, asal sang putri bahagia. Ya, saat itu Kayla memang bahagia. Tak tampak ada kesombongan di wajah Bryan, walau keluarganya jauh lebih berada dibanding orang tua Kayla.
Hubungan mereka pun berjalan sangat manis sebelum Bryan memutuskan ingin memperistrinya.
Namun siapa sangka, ketika kesuksesan demi kesuksesan di genggaman dan uang mengalir bagai air, lelaki itu menjelma menjadi sosok yang berbeda. Ia mengabaikan peran Kayla yang selalu mensupportnya.
Pengorbanan Kayla tak lagi berarti baginya. Semua hasil jerih payah, diklaim sebagai kerja kerasnya semata, seakan tak ada andil Kayla di dalamnya.
"Kayla udah ngikutin permintaan mas supaya berhenti kerja, bagaimana mau kasih uang ke bapak ibu, kalau nggak ambil dari tabungan kita? Kayla mau bisnis sendiri pun nggak dibolehin. Mau buat apa saja nggak boleh," ujar Kayla sesekali di setiap pertengkaran mereka.
"Ya buat apa, Kayla? Buat apa kerja kalau saya bisa menghasilkan banyak uang dan semua kebutuhan kita tercukupi. Soal bapak ibumu, mereka sudah cukup makan dari hasil kebun belakang rumah, kan? Buat apa kau kirim uang lagi? Sakit juga nggak!"
Menyebalkan sekali lelaki itu. Kayla mengumpat dalam hatinya. Apakah harus sakit untuk perlu uang? Haruskah kelaparan agar dikirimin uang oleh anak? Kayla hanya ingin orangtuanya punya tabungan yang cukup, agar kapan saja perlu uang, mereka tak khawatir.
Lagipula, satu juta! Bahkan harga sepasang sandal Bryan lebih dari itu.
Sebagai satu-satunya anak yang berhasil menamatkan pendidikan hingga sarjana, wajar bila Kayla ingin membantu orangtua. Dan Bryan sangat tahu kondisi keluarga Kayla. Tidak seharusnya Kayla harus menghiba seperti ini.
Tak seberapa, hanya satu juta dari sekian ratus juta tabungan yang mereka miliki dan itu jadi masalah. Seperti yang sudah-sudah. Sebenarnya, menyadari sifat Bryan yang perhitungan, Kayla sudah berusaha menyembunyikan kiriman itu.
Sayangnya, tanpa sengaja struk Atm bukti transfer ke Nirani—adik Kayla paling bungsu yang mengurus kedua orangtuanya—terjatuh saat Kayla membuka dompet. Sialnya, Bryan kebetulan lewat dan struk itu melayang tepat ke atas kakinya. Pertengkaran pun tak bisa dihindari.
Ketika tak terdengar lagi gedoran pintu, Kayla memutuskan ke luar kamar. Kayla mengusap wajah yang sayu, ia menyapukan make up tipis sebagai penyamar sembab. Bryan pasti telah berangkat kerja. Ini saatnya ia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya hari ini, sekalipun pertengkaran menanti.
Dari arah dapur, terdengar suara Leny cekikikan. Tampaknya dia tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita itu, sifatnya sebelas dua belas dengan Bryan.
"Tenang, arisan bulan depan di sini aja. Nanti kusiapkan menu kesukaan kalian semua." Leny terkekeh senang. Kayla mengumpat dalam hatinya.
"Ma, Larissa pulang malam ya." Larissa, adik bungsu Bryan yang belum lama menamatkan kuliah di Jerman dan memutuskan pulang ke Indonesia, muncul dengan pakaian serba kurang bahan.
"Yaa, jalan sana. Uang masih ada 'kan? Minta kakakmu kalau abis," jawab Leny lembut pada Larissa.
Gampang sekali mereka menghabiskan uang, sementara dirinya harus bersimpuh seperti pengemis untuk selembar rupiah.
"Mba Sumi, jaga anak-anak," perintah Kayla pada pengasuh anaknya."Baik, Bu. Huum, ibu mau ke mana?" tanya Sumi yang tengah menuangkan susu ke dalam botol untuk si bungsu. Kayla hampir tidak pernah bepergian tanpa anak-anaknya."Keluar rumah, bentar.""Kalau bapak tanya, saya jawab apa, Bu?""Bilang aja gak tau ke mana?" ujar Kayla. Walau Bryan sedang di luar, dia akan selalu menelepon ke rumah menanyakan segala macam hal. Tentang anak-anak dan terutama tentang Kayla."Nanti bapak marah, Bu.""Biar aja, paling marah sama ibu, kan?" Sumi terdiam, dia se
Kayla mengiakan perkataan lelaki yang bahkan ia tak tahu namanya. Semua tampak terburu-buru dan panik. Rumini telah menghilang di balik pintu dan Kayla memutuskan pulang setelah lelaki di depannya bolak-balik menatap sang oma. Dia tampak sangat mengkhawatirkan Rumini.Sebelum meninggalkan rumah super luas itu, sekali lagi Kayla menatap patung kuda dikelilingi air mancur di halaman. Kemegahannya sangat kontras dengan Rumini yang bila tak memakai pakaian dengan bahan berkelas, tampak seperti gelandangan di tengah hujan.Hari yang aneh. Tak jauh berbeda dengan hidupnya yang juga aneh.***"Mau ke mana?" tanya Bryan dengan raut wajah heran melihat Kayla telah mengenakan dress ber
"Kenan? Bukannya masih banyak cucu yang lain?" tanya tamu yang lain seraya berbisik."Hanya Kenan yang peduli padanya. Yang lain cuma peduli uangnya. Lihat saja, apa mereka datang? Ulang tahun Rumini dan hanya Kenan satu-satunya cucu yang hadir.""Sayang anakku udah kawin. Kalau belum, mau kujodohin sama Kenan.""Selera Kenan tinggi, Bro. Anak-anak kita biar dipoles MUA atau operasi plastik di Thailand juga nggak akan mampu memikatnya. Beda jauh dengan wanita bergaun biru itu. Tuh! Belum pernah lihat Kenan sebahagia itu selagi bicara dengan wanita."Naah, kan!Oo, jadi jelmaan si Colin itu namanya Kenan. Bryan mengikuti
Lalu lalang mobil ke luar masuk halaman rumah yang terletak di kawasan Kemang Pratama itu masih terlihat ramai. Semakin malam semakin ramai. Di ruangan bertabur cahaya yang memancar dari lampu-lampu dengan bentuknya yang indah, para pelayan berseragam tampak sibuk menambah hidangan. Semakin malam semakin banyak tamu yang datang. Berbagai menu menggugah selera tak habis-habisnya disajikan. Rumini duduk diapit teman-teman sebaya di sebuah sofa bermotif bunga Tulip. Keriuhan terjadi ketika seorang di antara mereka mulai berdansa bersama pasangannya saat musik mulai berganti. Lagu-lagu nostalgia era 80-an terdengar mengalun lembut. Sejenak Rumini terdiam, matanya berkaca-kaca lalu kembali berbinar ketika seorang temannya mengajak berbincang. Di sudut berbeda, Kayla terlihat tengah menyantap sepotong cake. Kenan tak pernah jauh dari sisinya, membuat wanita itu kerap salah tingkah. Setelah aksi Rumini memamerkan kebaikannya di tengah huj
Sejak tiga tahun lalu, Kenan menutup hati bagi semua wanita di luar sana. Sejak Mariska sang kekasih meninggalkannya begitu saja tanpa alasan. Kabar burung sampai ke telinganya, Mariska kepincut bule asal Australia yang ditemuinya di kelab malam. Entah ke mana Mariska pergi, Kenan tak pernah berusaha mencarinya. Hatinya terlalu sakit oleh pengkhianatan wanita yang telah menjalin hubungan serius selama dua tahun itu. Rencana naik ke pelaminan sebelum Rumini makin menua, pupus sudah.Malam ini, rasa yang telah lama hilang itu mendadak muncul begitu saja. Menatap pesona Kayla bagai menemukan mata air di padang pasir. Dadanya berdesir hangat, apalagi ketika wanita itu mengurai senyum dan tawa. Ada bahagia dalam tawa yang menulari hatinya.Bahkan setelah mengetahui usia Kayla, ia tetap bahagia."Kenan, ajak Kayla melihat koleksi lukisanmu." Tiba-tiba Rumini sudah berada di sebelah Kayla. Entah sejak kapan wanita yang membiarkan uban tumb
Pertanyaan Kenan membuat Kayla gelagapan. Ia tak pernah berpikir sejauh itu.Kesadarannya kembali, Kenan belum tahu siapa dirinya. Ya, dia harus jujur tentang statusnya."Huum, maaf saya harus memberitahukan sesuatu. Sebenarnya saya …." Entah mengapa, sesaat Kayla menikmati momen ini. Momen di mana dirinya diinginkan oleh seseorang, dihargai dan dihormati. Namun ia tahu ini salah dan tak boleh terlarut di dalamnya. Kayla tak ingin merangkai kebohongan di atas sebuah hubungan."Katakan saja. Saya siap mendengar yang terburuk. Maaf saya tak pernah seperti ini sebelumnya, maafkan saya." Kenan memasukkan tangan ke saku celana, dia berdiri gelisah seperti anak SMA mau nembak pacar tapi takut ditolak. Pandangannya mengarah ke lantai kadang menatap Kayla yang tak kalah gugupnya."Saya … saya telah menikah," lirih Kayla dengan napas tert
Wajah di hadapan Kenan membeku, menatap lurus menembus kaca mobil. Ia tampak berusaha mengendalikan amarahnya."Maaf menempatkanmu pada situasi sulit tadi. Saya lepas kendali dan saya memanfaatkan ketidaktahuan Oma Rumi atas statusmu," ujarnya pelan berusaha mencairkan kebekuan. Ia merasa tak enak hati."Seharusnya kau jujur saja padanya," pungkas Kayla."Saya terbawa perasaan. Maafkanlah." Lelaki itu menunduk lesu."Lupakan, saya hanya ingin pulang," jawab Kayla menahan sesak menghimpit di dada. Malam ini ia berada dalam kubangan perasaan paling aneh dari semua rasa yang pernah hinggap.Bangga, sedih, marah, dan bingung jadi satu. Bila tak mengingat anak-anaknya, mungkin ia akan memilih melajukan mobil entah berakhir di mana."Berikan nomormu. Just in case Oma ing
Seharusnya, benak Kayla menari-nari. Terlalu banyak kata seharusnya yang ingin ia tumpahkan. Tapi apa gunanya? Siapa yang akan mendengar keluh kesahnya selain angin malam? Apa yang dialaminya sekarang terasa sangat tidak manusiawi, membayangkan saja sangat mengerikan apalagi mengalaminya. Hanya demi anak-anak, Kayla memilih menahan amarah, malam ini. Malam sudah terlalu larut untuk keributan yang sangat mungkin mengganggu ketenangan mereka. Kedua manusia di hadapannya malah tertawa sinis melihat Kayla menahan amarah. Kayla tak sanggup menahan perih yang menusuk saat Leny menghina ayah ibunya di Subang. Menangis dalam diam, hanya itu yang bisa dilakukannya kini. I