Share

Bab 2 Sakit di Hati Kayla

"Udah mama bilang, cari istri itu yang setara, biar nggak ada drama-drama kayak gini," ketus Leny.

"Udah terlanjur, Ma. Jangan diungkit lagi. Lagian tu si Kayla, sudah saya bilang uang dikumpulin buat beli rumah. Kalau seperti ini terus kapan cukup uangnya? Harusnya dia tahu  harganya nggak murah. Jadi jangan  pakai uang untuk hal tak berguna!" 

Leny terkekeh senang, dia memang kompor sejati.

Kayla menutup telinga dengan bantal saat kembali terdengar suara gedoran di pintu kamar. Kayla menghapus air mata dengan kasar, lalu duduk di pinggir ranjang.

Manisnya madu pernikahan hanya diteguk sesaat, lalu berganti pahitnya kenyataan. Kayla tergugu menatap potret ayah ibu yang tersimpan di ponselnya. Mereka semakin menua seiring tahun berganti dan dirinya tak juga bisa membahagiakan mereka. Bahkan untuk berkunjung atau dikunjungi pun, tergantung restu sang suami. Ini sangat menyakitkan. 

"Hey! Buka pintunya!" Aaargh, Bryan memaki di balik pintu kamar, sementara Kayla menulikan telinganya. 

"Sial, entah sudah berapa banyak uang yang dia kirim ke keluarga di Subang. Bisa berantakan rencana membeli rumah pak Surya untuk investasi!" teriak Bryan lagi seraya terus menggedor pintu. 

"Biarin aja, nanti juga keluar kalau lapar. Eh, Bryan. Mama perlu uang sepuluh juta, si Indri anaknya mau mantenan, teman-teman arisan pada mau urunan nyumbang. Mama sih cukup lima juta aja, yang lain ada yang nyumbang sepuluh juta."

Degh! Lima juta? Keterlaluan kau Leny. Kayla menarik garis di bibir membentuk senyum sinis.

"Iya, Ma. Nanti Bryan isi lagi Atm-nya." 

Cukup! Kalian akan merasakan pembalasanku nanti, geram Kayla. Tangannya terkepal, seraya membayangkan Leny akan menangis memohon kemurahan hatinya kelak. 

Saat ini Kayla bertekad tak akan keluar kamar, sementara Bryan bertekad akan memastikan Kayla tak mengirimkan uang ke orangtuanya lagi. Bagaimana pun caranya. 

Tak berguna, kata Bryan.

Mengunci diri di dalam kamar, Kayla tak henti menumpahkan air mata. Terisak di pembaringan seraya memeluk bantal, dia  menahan suara agar lelaki yang berteriak dari balik pintu tak mendengar tangisannya. 

"Kayla, buka pintunya! Mas mau ambil jam tangan!" teriak Bryan.

Kayla bergeming. Bantal telah basah oleh air mata. Matanya menerawang mengitari seisi kamar. Bila dalam keadaan normal, ia akan sangat menikmati ranjang mewah tempatnya berbaring.  Kamar ini didekorasi indah, dilengkapi perabotan berkelas pilihan sang suami. Sayangnya, semua terasa hambar di mata Kayla.

"Kayla! Buka pintu, kita bicara baik-baik." Suara di luar pintu melunak. Kayla tetap bertahan memeluk bantal. Ia tak percaya perkataan sang suami.

"Pergi sana!" balasnya.

Bryan bukan tipikal lelaki yang gampang merasa iba, bila tak suka maka jangan harap ia bermurah hati. Lelaki itu akan merasa puas bila melihat Kayla menangis. Semakin pilu derita sang istri, semakin dia merasa  berkuasa, setidaknya itulah yang Kayla rasakan. Menyebalkan. 

Kata-kata pedas itu seperti terdengar kembali. Tak berguna. Memberi sedikit untuk orang tua dianggap tak berguna.  Hati nuranimu benar-benar telah mati, Bryan. Rumah yang ingin dibeli itu pun sebenarnya tak begitu mendesak, hanya untuk investasi, menunggu anak-anak dewasa juga bisa. Kayla mengutuk dalam hatinya. 

Lagi, Kayla sesenggukan. Ternyata benar kata orang, harta bisa mematikan hati nurani manusia. Tanpa disadari, kesombongan kerap datang menyertai limpahan harta. 

"Ya udah, Ma. Bryan mau berangkat kerja dulu. Kalau Kayla keluar kamar, bantu ingatin dia jangan kirim-kirim uang lagi."

Air mata Kayla tak kunjung mengering walau tak terdengar lagi suara sang suami memaki. Riuh anak-anak tengah bermain lamat terdengar di kamar sebelah dan Kayla tak ingin mereka kehilangan tawanya hanya karena pertengkaran ayah ibunya hari ini.

Bryan benar-benar berubah, tak seperti belasan tahun lalu, saat dengan manis ia berjanji di depan orang tua Kayla yang hidup sederhana di sebuah rumah kecil, di pinggiran kota Subang. 

"Saya bersungguh-sungguh ingin menikahi Kayla," pintanya waktu itu kepada ayah Kayla. 

Ayah Kayla mengangguk tanda setuju, pun ibu. Mereka menerima lelaki manapun yang dipilih Kayla, asal sang putri bahagia. Ya, saat itu Kayla memang bahagia. Tak tampak ada kesombongan di wajah Bryan, walau keluarganya jauh lebih berada dibanding orang tua Kayla. 

Hubungan mereka pun berjalan sangat manis sebelum Bryan memutuskan ingin memperistrinya. 

Namun siapa sangka, ketika kesuksesan demi kesuksesan di genggaman dan uang mengalir bagai air, lelaki itu menjelma menjadi sosok yang berbeda. Ia mengabaikan peran Kayla yang selalu mensupportnya. 

Pengorbanan Kayla tak lagi berarti baginya. Semua hasil jerih payah, diklaim sebagai kerja kerasnya semata, seakan tak ada andil Kayla di dalamnya. 

"Kayla udah ngikutin permintaan mas supaya berhenti kerja, bagaimana mau kasih uang ke bapak ibu, kalau nggak ambil dari tabungan kita? Kayla mau bisnis sendiri pun nggak dibolehin. Mau buat apa saja nggak boleh,"  ujar Kayla sesekali di setiap pertengkaran mereka.

"Ya buat apa, Kayla? Buat apa kerja kalau saya bisa menghasilkan banyak uang dan semua kebutuhan kita tercukupi. Soal bapak ibumu, mereka sudah cukup makan dari hasil kebun belakang rumah, kan? Buat apa kau kirim uang lagi? Sakit juga nggak!"

Menyebalkan sekali lelaki itu. Kayla mengumpat dalam hatinya. Apakah harus sakit untuk perlu uang? Haruskah kelaparan agar dikirimin uang oleh anak? Kayla hanya ingin orangtuanya punya tabungan yang cukup, agar kapan saja perlu uang, mereka tak khawatir.

Lagipula, satu juta! Bahkan harga sepasang sandal Bryan lebih dari itu. 

Sebagai satu-satunya anak yang berhasil menamatkan pendidikan hingga sarjana, wajar bila Kayla ingin membantu orangtua. Dan Bryan sangat tahu kondisi keluarga Kayla. Tidak seharusnya Kayla harus menghiba seperti ini.

Tak seberapa, hanya satu juta dari sekian ratus juta tabungan yang mereka miliki dan itu jadi masalah. Seperti yang sudah-sudah. Sebenarnya, menyadari sifat Bryan yang perhitungan,  Kayla sudah berusaha menyembunyikan kiriman itu. 

Sayangnya, tanpa sengaja struk Atm bukti transfer ke Nirani—adik Kayla paling bungsu yang mengurus kedua orangtuanya—terjatuh saat Kayla membuka dompet. Sialnya, Bryan kebetulan lewat dan struk itu melayang tepat ke atas kakinya. Pertengkaran pun tak bisa dihindari. 

Ketika tak terdengar lagi gedoran pintu, Kayla memutuskan ke luar kamar. Kayla mengusap wajah yang sayu, ia menyapukan make up tipis sebagai penyamar sembab.  Bryan pasti telah berangkat kerja. Ini saatnya   ia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya hari ini, sekalipun pertengkaran menanti.

Dari arah dapur, terdengar suara Leny cekikikan. Tampaknya dia tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita itu, sifatnya sebelas dua belas dengan Bryan.

"Tenang, arisan bulan depan di sini aja. Nanti kusiapkan menu kesukaan kalian semua." Leny terkekeh senang. Kayla mengumpat dalam hatinya. 

"Ma, Larissa pulang malam ya." Larissa,  adik bungsu Bryan yang belum lama menamatkan kuliah di Jerman dan memutuskan pulang ke Indonesia, muncul dengan pakaian serba kurang bahan. 

"Yaa, jalan sana. Uang masih ada 'kan? Minta kakakmu kalau abis," jawab Leny lembut pada Larissa.

Gampang sekali mereka menghabiskan uang, sementara dirinya harus bersimpuh seperti pengemis untuk selembar rupiah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status