Share

Sangkar Emas Pernikahan
Sangkar Emas Pernikahan
Author: nyimalika

Bab 1 Sangkar Emas Pernikahan

"Kirim uang lagi?" tanya Bryan dengan nada tidak senang setelah melihat struk pengiriman uang terjatuh dari dompet Kayla, istrinya. 

Kesabaran Bryan sangat diuji pagi ini. Belum hilang kekesalan akibat melihat mobil milik istrinya baret panjang, sekarang darahnya  semakin naik mengetahui istri yang telah dinikahi selama sepuluh tahun itu ternyata mengirimkan uang buat orangtuanya.

Kayla gegas memungut struk itu dan hendak menyimpan di dompetnya kembali namun Bryan merebutnya. Tak ingin berdebat, Kayla memutuskan diam, dia lelah dengan banyak drama di rumah ini. Ia akan membiarkan Bryan terbakar dengan amarahnya sendiri, kali ini. 

"Kayla! Kamu kirim uang lagi?!" teriak Bryan ketika melihat Kayla tak menggubris pertanyaan dan malah hendak menuju ke kamar. Harga diri sebagai lelaki mendadak tersulut. Ia tak akan membiarkan Kayla merendahkannya dengan mengabaikan pertanyaannya. 

Bryan segera menyusul dan mencengkeram lengan sang istri. Kayla mengaduh, ia memberontak berusaha melepaskan cengkeraman Bryan yang terasa perih di lengannya. Matanya memindai sekeliling, memastikan anak-anak tak berada di dekat mereka. Jangan sampai mereka melihat kejadian ini.

"Cuma satu juta, Mas!" teriak Kayla akhirnya dengan nada tinggi. Setelah mengalah dan terus mengalah atas perlakuan sang suami, kali ini Kayla mulai berani membalas. Cukup sudah, pikirnya. 

Pernikahan yang dijalaninya jauh dari kata manis. Bersama keempat buah hati, Kayla hidup  bergelimang harta namun seperti di sangkar emas. Bukan hanya tak leluasa mengunakan uang yang ada tapi hidupnya pun dikekang. Tak boleh ke luar rumah tanpa Bryan, tak boleh bersosialisasi dengan tetangga. Tak boleh apa saja sebelum ada kata 'iya' dari Bryan. Bahkan untuk membeli sebuah gaun harus mengikuti selera sang suami. Suka tidak suka.

Sesekali Kayla memaksakan diri, keluar rumah untuk sekedar bertemu teman lama atau membeli suatu keperluan, itu pun harus siap menghadapi pertengkaran. Kayla sangat lelah dengan kehidupan pernikahan yang tak pernah disangkanya akan berakhir seperti ini. Pernikahan yang jauh berbeda dari impian.

Dan yang sangat menyakitkan, interaksi dalam bentuk apapun dengan keluarga sendiri  dibatasi. Seperti kali ini. 

Plak! 

Sebuah tamparan melayang di pipi sang istri. Kayla yang tak menyangka perlakuan Bryan, hilang keseimbangan dan terjatuh, punggungnya membentur meja berisi pajangan yang berdiri tak jauh dari muka pintu kamar.  Guci antik di atas meja, menggelinding jatuh dan pecah menyisakan kepingan-kepingan keramik di atas lantai. 

Bukannya iba, Bryan semakin murka melihat melihat guci yang dibelinya ketika berkunjung ke Cina, hancur dan pecahannya mengenai ujung sepatu mengkilat milik Bryan. 

"Lihat ini!" teriaknya seraya memungut salah satu kepingan dan menyodorkannya ke wajah Kayla. 

"Barang mahal begini hancur sekejap. Sial!"

Kayla memperhatikan pecahan guci dengan sinis. Lalu melayangkan tatapan murka ke arah Bryan. Ini bukan tamparan pertama tapi kali ini ia tak akan diam saja. 

Bryan bergeming. Ia menarik tangan Kayla agar wanita itu berdiri dan berniat menamparnya sekali lagi. 

Berani sekali dia membentak. Susah payah mengumpulkan uang malah diberikan pada keluarganya. Dan sekarang, guci kesukaannya pun ikut hancur. Sekali-sekali wanita ini harus diberi pelajaran, pikirnya. 

Tangan Bryan mengudara, bersiap dengan tamparan berikutnya namun di luar perkiraannya tangan Kayla  bergerak lebih cepat lagi.

"Berani mas menamparku? Kau akan menyesal!"

"Kau melawan?!" ujar Bryan, matanya mendelik tak percaya. Ada apa dengan Kayla, darimana keberanian ini ia dapatkan? Bukankah biasanya ia selalu mengalah, menangis, meminta maaf atau mengurung diri di kamar. 

"Haah mau makan apa kamu kalau kuceraikan?" ancam Bryan. Ia yakin ucapan seperti ini akan mematahkan keberanian Kayla. Dan benar, Kayla terdiam. Wanita itu menundukkan wajah, matanya menari-nari, mungkin menghitung pecahan keramik di sekitar kaki mereka atau membenarkan pernyataan Bryan. 

Menahan gigi bergemeletukan, Kayla melepaskan cengkeraman pada lengan Bryan dan memutar tubuhnya memunggungi sang suami.

See, dia takut kalau mendengar kata cerai. Benak Bryan bersuka ria.

"Huuh!" desah Kayla. Mengembuskan napas panjang sembari menahan gemuruh menggelora di dada. 

Lelaki itu jangan sampai melihat bening yang mulai mengambang di pelupuk mata. Tidak, ia tidak akan menangis untuk sebuah ancaman perceraian. Ia hanya tak sanggup membayangkan masa depan anak-anak bila tumbuh besar tanpa ayahnya. 

Pertengkaran demi pertengkaran yang selama ini mewarnai hari, selalu ia sembunyikan dari anak-anak. 

Klise, mungkin kata itu yang akan disematkan padanya, bertahan dalam pernikahan tidak sehat demi anak.  Namun tidak semua wanita semudah itu melepaskan diri dari ikatan pernikahan walau tak sejalan. Tawa bahagia keempat buah hati selalu jadi alasan terselip di dada untuk sebuah kata 'bertahan'. 

Bryan tersenyum sinis, lihat baru diancam saja Kayla sudah ketakutan, pikirnya. Melihat ketidakberdayaan Kayla, sikap angkuhnya semakin menjadi. Ia tak akan kalah dalam perdebatan, Kayla harus mengalah.

"Cuma satu juta dari sekian banyak uang yang kita punya dan mas menamparku?" Kayla berujar tanya dengan lirih. Kakinya melangkah perlahan menyeret tubuh yang lelah menuju kamar. Ia ingin menyudahi perdebatan dan enggan melihat wajah Bryan saat ini. 

"Ya, mas tahu. Tapi satu juta itu juga uang! Buat apa 'sih kirim uang ke orang tuamu, mereka enggak perlu apa-apa. Bukannya hasil dari kebun cukup buat makan? Buat apa dikasih uang lagi? Aku capek kerja, kamu tinggal ngabisin!" omel Bryan seraya mengekori Kayla. 

Ia pura-pura tak melihat pedih di mata Kayla. Salahkah mempertahankan hasil kerja keras sendiri? Cari uang tidak segampang membalik telapak tangan, perlu perjuangan, perlu kerja keras siang malam. Seharusnya Kayla sangat paham soal itu. 

"Mas! Memang mas Bryan yang bekerja namun dalam setiap rupiah yang dihasilkan, ada hak Kayla sebagai istri. Lagipula, mas juga yang memintaku agar tidak perlu bekerja!" Kayla membanting pintu kamar tepat di depan Bryan yang tengah berdiri di muka pintu. 

Bulir-bulir bening mengalir tak tertahan lagi bersamaan sakit hati membuncah. Andai waktu bisa diputar kembali, ia lebih memilih terus bekerja di kantor agar bisa menapkahi orang tua yang hidup pas-pasan di kampung halaman dari uang gaji sendiri. Perjuangannya meraih gelar sarjana terasa sia-sia kala Bryan tak mengijinkannya terus bekerja setelah menikah. Andai ia tahu, sikap Bryan akan seperti ini, mungkin ia akan mengambil langkah berbeda. Tapi siapa yang bisa menduga akan jadi seperti apa jalan hidup ke depan? 

"Kenapa, buat ulah lagi istrimu?" Suara Leny—sang ibu mertua—terdengar sayup. Wanita itu selalu ada di setiap pertengkaran mereka, bukan hanya ada tapi dia adalah kompor yang mumpuni membakar persoalan kecil jadi besar, yang besar jadi luar biasa.

"Biasa, Ma. Kirim uang buat bapaknya." Bryan menjawab kesal. Di dalam kamar, Kayla merintih menahan luka. Bila ibu mertuanya muncul, persoalan akan tambah runyam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status