Share

Bab 3 Pertemuan dengan Rumini

"Mba Sumi, jaga anak-anak," perintah Kayla pada pengasuh anaknya.

"Baik, Bu. Huum, ibu mau ke mana?" tanya Sumi yang tengah menuangkan susu ke dalam botol untuk si bungsu.  Kayla hampir tidak pernah bepergian tanpa anak-anaknya. 

"Keluar rumah, bentar."

"Kalau bapak tanya, saya jawab apa, Bu?"

"Bilang aja gak tau ke mana?" ujar Kayla. Walau Bryan sedang di luar, dia akan selalu menelepon ke rumah menanyakan segala macam hal. Tentang anak-anak dan terutama tentang Kayla. 

"Nanti bapak marah, Bu."

"Biar aja, paling marah sama ibu, kan?" Sumi terdiam, dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun dengan cepat Kayla berlalu. Kayla sudah tak sabar menghirup udara segar di luar pagar rumah ini.

Mata Kayla berembun. Ditatapnya marmer mengkilat di bawah kakinya. Rumah mewah dua lantai di perumahan elite dengan penjagaan maksimal yang sangat nyaman bagi  keempat buah hatinya, tampak sangat megah. Bahkan paling megah di antara rumah tetangga. Dari empat buah pilar tinggi menjulang saja, sudah bisa diperkirakan berapa harga rumahnya.

Berbanding terbalik dengan rumah orangtuanya yang masih semi permanen dengan ukuran tak seberapa. Cita-citanya untuk merenovasi rumah mereka tak pernah kesampaian hingga hari ini. 

Bila ia tahu akan sangat perhitungan Bryan dengan uangnya, tak akan pernah ia mau mengikuti keinginan Bryan agar  berhenti bekerja.

Semua terlambat, siapa manusia yang bisa menduga jalan hidup sendiri? Bila kini ia terjebak dengan skenario yang telah digariskan, bukan pula semata kesalahannya. Janji manis Bryan sungguh tak semanis kenyataan.

Kayla tak pernah menceritakan perihal luka hati pada kedua orangtuanya. 

Ia tak ingin membuat sedih orang yang telah membesarkannya dengan penuh kasih. Ia menikah dengan pilihannya sendiri dan menolak keinginan ibunya agar menerima pinangan Kemal, pemuda baik putra kepala desa, teman masa kecil yang telah lama menaruh hati pada Kayla.

"Maafkan Kayla, Ayah." Perlahan bening yang ditahan sejak tadi, kembali turun di pelupuk matanya. Sesal memang tak berguna, bila dulu ia mendengarkan nasihat sang ayah agar mempertimbangkan  lamaran Kemal sebelum menerima Bryan,  mungkin kisah hidupnya tak sepilu ini.

Setelah pertengkaran tadi pagi, Kayla bertekad akan mencari cara agar mendapat penghasilan sendiri, entah bagaimana caranya. 

"Mau ke mana kamu?" Tiba-tiba Leny telah berada di balik punggungnya. 

"Keluar sebentar, Ma," ketus Kayla.

"Udah ijin suamimu?"

"Untuk apa?" 

"Untuk apa? Istri mau ke mana-mana harus seijin suami. Kok tanya untuk apa?" Leny menjawab tak kalah ketusnya.

Kayla tak menggubris perkataan Leny, ia tahu urusan bisa panjang kalau meladeni mertuanya. Ia terus melangkahkan kaki jenjangnya. 

Di luar, air turun berjatuhan dari langit. Hujan deras menyambut seiring pintu utama terbuka lebar. Pintu berukir dari kayu jati asli yang dipesan langsung dari Jepara. Kayla membantingnya  dengan keras. Uang satu juta yang membuatnya harus menerima tamparan bahkan jauh lebih sedikit dibanding harga handle yang mencapai belasan juta. 

"Hati-hati, Bu. Hujan deras." Surti, assisten rumah tangga yang telah bekerja sejak ia hamil anak ke dua,  mengingatkan. Sedari tadi ia mengamati pertengkaran majikannya namun seperti biasa dia hanya bisa diam saja. 

"Ya, Bi. Bantu liatin Sumi sama anak-anak. Kalau ada apa-apa, telepon aja. Saya cuma mau cari angin."

Surti tak lagi berkata-kata, ia tahu perasaan Kayla, sang nyonya rumah yang tak bahagia di rumahnya sendiri. Demi Kayla juga ia bertahan bekerja di rumah ini, Kayla yang selalu menganggap para pekerja sebagai keluarga, sebaliknya Bryan memperlakukan semua orang seenaknya, apalagi pekerja. 

Kayla mengeluarkan mobil dengan kasar dari garasi dan mengemudikannya perlahan di tengah hujan lebat, menuju entah ke mana. 

Benaknya penuh dengan berbagai rencana. Apa yang akan terjadi setelah hari ini, terjadilah. Ia akan memperjuangkan bahagianya sendiri, entah bagaimana caranya. Tapi yang pertama ia akan pergi, sehari saja, sejauhnya membawa tubuh ini dari rumah yang lebih tepat disebut sebagai sangkar terbuat dari emas.

Sepanjang jalan Kayla mencoba mengusir gundah dengan memutar radio yang sedang menyiarkan acara tembang kenangan. Walau hasilnya jauh dari kata berhasil, pikirannya malah tambah kusut, apalagi ketika lagu-lagu cinta mulai terdengar. Apa itu cinta? Hanya orang beruntung yang tau rasanya dicintai.

Saat melaju melewati sebuah supermarket, Kayla melihat seorang ibu tua dengan kantong belanja di tangannya. Ia tampak kebingungan menatap ke kiri dan kanan jalan. 

Tubuhnya basah kuyup. Tega sekali orang yang membiarkan seorang ibu kehujanan dengan banyak barang di tangan seperti itu. Kayla tak pernah menyangka, pertemuannya dengan sang ibu akan menjadi awal kisah baru dalam hidupnya.

Segera Kayla menepikan mobil. Ia turun dan menawarkan tumpangan.

"Kenapa hujan-hujan, Bu?" tanya Kayla seraya memayungi sang ibu. Usianya sekitar 70-an tahun mungkin lebih. Ia tampak menggigil. 

"Saya lupa mau pulang ke mana," jawab wanita itu dengan bibir gemetar.

Setelah mendapat persetujuan, Kayla segera membantu Rumini, nama sang ibu itu agar naik ke mobil. Ia akan mengantarkan Rumini ke mana saja dia mau, walau perlu waktu seharian. 

Entah berapa lama Kayla hanya berputar-putar mengelilingi beberapa komplek perumahan mengikuti arahan Rumini. Ia tak peduli. Kembali ke rumah dengan amarah masih di ubun-ubun juga bukan pilihan menyenangkan. 

"Stop!" Kayla menginjak pedal rem mendadak, ketika Rumini memintanya berhenti di depan sebuah rumah sangat megah. Luasnya tiga kali lipat rumah Kayla.

"Ya, di sini," ujar Rumini seraya menunjuk rumah berwarna cream itu. Senyum terlihat menghiasi bibir keriputnya. Di pintu gerbang tampak berjaga dua orang security. Mereka bergegas menghampiri mobil Kayla dengan sikap menyelidik.

"Di sini rumahnya, Bu?" tanya Kayla penuh tanda tanya. Dari pakaian yang dikenakan Rumini, dia cocok sebagai penghuni rumah itu. Tapi bagaimana mungkin ia dibiarkan terlantar kehujanan tanpa supir atau anak cucu menemani?

Kayla segera turun dan membuka pintu bagi Rumini. Hujan telah berhenti sejak tadi. 

"Nyonya?!" teriak salah seorang security. Dia segera mengambil belanjaan di tangan Rumini dan seorang lagi berlari ke dalam rumah dengan pintu bergapura penuh ukiran.

Kayla menatap keriuhan di depan mata dengan benak bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Tidak berapa lama, seorang pria lebih muda dari Kayla tergopoh menghampiri dirinya yang berdiri mematung di depan gerbang rumah. Lelaki itu mengenakan kaos oblong warna hitam dipadu celana sport pendek. Dia menatap Kayla dengan mata berbinar penuh ucapan terima kasih. 

"Terima kasih, Bu. Aah, kalau tidak ada ibu entah bagaimana nasib oma saya."

"Oma?" tanya Kayla heran.

"Ya, dia oma saya. Ah panjang ceritanya. Begini saja, besok Oma ulang tahun. Saya mengundang ibu …." 

"Kayla, nama saya Kayla."

"Bu Kayla besok datang, ya. Ulang tahun Oma yang ke-75. Dia pasti sangat senang. Besok akan saya ceritakan banyak hal tentang oma saya." Senyum lelaki itu begitu teduh di mata bagai air menyiram kalbu. Senyum itu mengingatkan Kayla akan berapa rumit hidup yang jalaninya kini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status