Danas tengah bediri di depan rumah Davina, membawa sebuah kotak makan untuk sahabatnya itu.Bel pintu pun dibunyikan oleh Danas.Tidak membutuhkan waktu lama, Tania, ibu Davina membukakan pintu. “Oh, Danas. Apa kabar, sudah lama tidak main ke rumah,” seru Tania dibalas senyuman oleh Danas.“Iya, Tan. Danas sibuk. Davina ada? Danas ingin bertemu Davina dan juga Danas membawa makanan kesukaan Davina,” ucap Danas mengatakan maksud kedatangannya.“Naik saja, dia ada di kamarnya kok.”Danas tidak melangkah, ia masih di tempat yang sama. “Tidak perlu Tan, Danas—”Melihat sikap Danas seperti itu Tania paham dengan apa yang terjadi di antara Davina dan Danas.“Vina … Keluar, ada Danas. Dia datang bawa makanan kesukaanmu, loh.”Davina yang ada di dalam kamar mendengar namanya dipanggil beranjak keluar tetapi saat mendengar nama Danas, ia mengurungkan niatnya membuka pintu kamar.“Davina tidak ingin ketemu Danas, Ma.” Davina memilih menjawab dengan berteriak membuat Danas mendengar jawaban dar
Tania hanya bisa menghela napas kasar melihat putrinya itu. Namun, ia mengkhawtirkan Danas karena awan tampak mendung, ia takut hujan akan turun dan Danas masih menunggu Davina.Benar saja, tidak menunggu waktu lama hujan pun turun. Hal itu membuat Tania semakin panik serta khawatir di saat yang bersamaan. Jagad yang baru saja pulang melihat sang mama tengah mondar mandir kebingungan.“Ma, ada apa?”“Itu, adikmu tidak mau keluar kamar. Padahal temannya sedang menunggunya,” ucap Tania lirih. “Mereka bertengkar sepertinya,” tambah Tania.“Terus kenapa Mama khawatir.”“Temannya bilang kalau dia akan menunggu Davina di taman tapi adikmu tidak mau pergi. Mama takut temannya masih ada di sana menunggunya, dan ini lagi hujan.”Jagad paham apa yang dikatakan oleh sang mama. “Jagad akan pergi melihat apa teman Davina masih di sana atau tidak,” ucap Jagad kemudian keluar.Tania kebingungan, bagaimana Jagad akan pergi melihat teman Davina sedangkan dia tidak memberitahu di mana tempatnya. “Apa
Langit mencengkram kerah baju Jagad. Tatapannya penuh ketidaksukaan. “Bisa kita membahasnya setelah aku mengantarkannya? Dia sedang demam.” Jagad berbicara dengan sangat santai tetapi tidak dengan Langit.Pikirannya sedang tidak karuan melihat Danas pulang dengan kondisi basah kuyup ditambah dalam gendongan Jagad, sahabatnya.“Lepaskan, Lang. Ini bukan waktunya untuk ribut denganku," ucap Jagad membuat Langit melepaskan cengkraman tangannya.Jagad melihat ke arah sisi lain rumah, terlihat Renata ada di sana. Tatapan wanita itu dipenuhi ketidaksukaan, bukan karena Jagad menggendong Danas tapi Langit yang mulai memperhatikan Danas. Sejak awal Jagad sudah bisa memprediksikan jika Langit masih tetap berhubungan dengan Renata."Biar aku saja," seru Langit berusaha mengambil Danas dari gendongan Jagad.Menyadari jika dirinya tidak memiliki hak, Jagad pun memberikan Danas yang tidak sadarkan diri pada Langit.Langit bisa merasakan tubuh Danas yang hangat, bahkan wajahnya pun terlihat memera
“Tuan, pakaian Nyonya sudah saya ganti,” ucap Bi Surti.Jagad yang baru saja masuk mendengar perkataan Bi Surti segera naik ke lantai atas. “Aku akan memberikan dia inpus, ini bisa membantu meredakan demamnya. Ah, jangan lupa untuk buatkan bubur untuk dia minum obat setelah sadar,” ucap Jagad kemudian masuk ke dalam kamar. Langit tidak mau ketinggalan, dia terus mengikuti Jagad yang memasang inpus pada Danas. “Apa dia baik-baik saja?”“Oh, dia baik-baik saja. Hanya demam, dia butuh banyak istirahat,” jelas Jagadd kemudian memasang infus di tangan kanan Danas.Wajah Danas begitu pucat, dan lelah. Dia tidak tahu, masalah apa membuat Davina dan Danas bertengkar tetapi dia harus membuat adiknya dan Danas bertemu.“Ehem.” Langit mendehem membuat Jagad segera beranjak.“Apa kau tinggal dengan dia juga di sini?” tanya Jagad sambil menunjuk ke arah Renata.Langit melirik ke arah Renata sesaat. “Tidak, dia hanya mampir setelah pulang kantor.”Tatapan mata Jagad tajam, melihat Renata. “Aku t
Davina sangat malas untuk turun ke lantai bawah tetapi karena suara Jagad melengking dan terus memanggilnya akhirnya dirinya turun. Ia bisa melihat jika kakaknya terlihat marah. “Kakak seharusnya tidak ikut campur urusanku.”“Davina, tidak ada yang mengajarimu seperti itu.” Tania ikut berkomentar.“Ma. Dia menemui Davina, itu pilihannya. Dan, pilihan Davina tidak menemuinya.” Davina menegaskan mengenai pilihannya itu. Jagad menatap tajam sang adik. “Kau benar-benar keterlaluan. Dia sampai tidak sadarkan diri karena menunggumu dan kau mengatakan hal seperti itu. Di mana rasa kemanusiaanmu, Dav,” ucap Jagad membuat sang adik terkejut.Danas pingsan?“Aku capek bicara dengan kakak,” gerutu Davina kemudian kembali ke kamarnya.“Kau harus ikut denganku besok pagi untuk melihatnya. Jangan membantah dan kabur,” tegas Jagad membuat langkah kaki Davina sesaat terhenti kemudian kembali melanjutkan langkahnya.Hatinya tidak dapat memungkiri jika dia khawatir mengenai Danas yang tidak sadarkan
“Aku paham kenapa kamu menjauh darinya, tetapi-.” Jagad menghentikan ucapannya. Dia tidak yakin apakah adiknya mau menerima keterangannya. Anak itu lebih baik dikasih bukti daripada hanya sekedar omongan saja. “Aku tak mau berurusan lagi dengan dia. Aku tak mau terlibat dalam masalahnya.” Tampaknya Davina memang sudah begitu yakin dengan langkah yang diambilnya. Namun, tidak bagi Jagad. Dia tahu Davina bisa kembali menjadi baik jika sudah melihat sendiri apa yang terjadi. “Aku tidak memaksamu tapi aku tak ingin kamu menyesal dengan sikap keras kepalamu itu.” Jagad berkata sambil menyiapkan rencananya. Davina diam saja saat kakaknya mengatakan hal itu. Mereka berdua memang selalu seringkali berbeda pendapat. Davina tahu kakaknya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuknya. Jagad mulai menjalankan rencananya. Dia tetap menyetir dengan mulai mengambil jalan yang berlawanan arah dari kampus Davina. Davina mengerutkan keningnya saat tahu Jagad mengambil jalan yang berbeda. “Kak
Entah kapan terakhir kali Davina menginjakkan kaki ke rumah besar ini. Mungkin, di hari Amaira meninggal dunia. Setelah itu, ia jadi kehilangan alasan untuk mengunjungi mansion ini.Pandangannya diedarkan ke sekitar. Tidak banyak hal yang berubah di rumah besar ini. Tampilan rumah yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di ingatan Davina membangkitkan kenangan-kenangan yang telah lalu.Dulu, saat itu persahabatan empat orang, dirinya, Amaira, Danas, dan Renata. Masa remaja yang indah ia lalui dengan bahagia. Sampai suatu ketika, tragedi itu terjadi, dan Amaira pun pergi untuk selamanya. Dan Davina beserta Danas sudah tidak bisa merajut hubungan seperti dahulu. Kini, terulang lagi dengan dirinya dan Danas.Tanpa sadar sepasang mata Davina jadi berkaca-kaca. Segera ia menguasai diri sebelum bulir-bulirnya jatuh membasahi pipi.“Kamu kenapa?” Suara Jagad memecah lamunan Davina.“Kak, mau apa kita ke sini?” tanya Davina penasaran. Mengabaikan pertanyaan sang kakak barusan.“Lihat saja nan
Jagad melirik ke arah Langit, memberi isyarat agar pria itu meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Jika tidak, Jagad tidak tahu apa yang bisa adiknya perbuat. Langit pun mengerti maksud Jagad dan memilih untuk turun ke bawah. Ia merasa lebih baik meninggalkan ruangan itu ketimbang harus menerima semburan Davina yang marahnya sedang meledak-ledak.“Bohong! Tidak. Ini tidak mungkin. Kakak pasti bercanda. Kenapa Danas menikah dengan Kak Langit,” gumam Davina masih berusaha mencerna dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya.“Kenapa aku harus bercanda, kamu sendiri bisa melihatnya, kan?” ujar Jagad. Pria itu mengerti alasan adiknya yang tampak diam melongo seperti itu. Jika seandainya dia yang berada di posisi adiknya, dia pasti akan bereaksi sama.Davina diam mematung. Seolah, dia baru saja tersambar petir ketika mengetahui kenyataan kalau Danas telah menikah dengan Langit, orang yang telah menghancurkan keluarga sahabatnya itu sendiri. “Kenapa? Kenapa Kak Langit menikahi Danas? Dan k