Share

Sebagai Patung Hidup

Saat Salwa melihat mobil tersebut, ternyata itu mobil Zidan dan tidak tahu dia mau pergi ke mana. “Baru satu hari aku di sini, rasanya sudah satu tahun. Ini bukan pernikahan, ini hanya sebuah ikatan yang terlihat indah di luar namun, memberikan luka di dalam,” tutur Salwa sambil menghapus air matanya. 

Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore. 

“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu. 

“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau kita tidak bisa melanjutkan rumah tangga ini. Aku bisa mati berdiri kalau harus terus di siksa dengan sifat kamu itu. Raga ini mungkin tidak terluka, tetapi hati ini punya banyak luka bahkan dalam waktu yang singkat.”

“Aku sudah bilang kalau aku tidak akan mau berpisah sama kamu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau bukan karena istriku mati, aku tidak akan pernah menikah lagi sampai kapan pun.”

Mendengar hal itu, Salwa hanya menatap suaminya sambil menangis. Setelah itu dia langsung masuk kamar dan mengunci dirinya sendiri. Saat menjelang malam, Salwa keluar dan kini Salwa tidak menangis lagi. Dia seolah sudah membatu hatinya hingga kini dia tidak peduli lagi dengan Zidan dan sifatnya. 

“Besok kamu ikut aku untuk bertemu dengan orang tuaku. Kita belum ke rumah mereka, kan,” ajak Zidan sambil menatap Salwa yang sedang mengambil minum dari kulkas. 

“Baiklah,” jawab Salwa dengan sangat singkat dan langsung masuk kamarnya kembali. 

Malam itu berlalu tanpa ada komunikasi lagi di antara mereka berdua. Raut wajah Salwa juga kini seolah dingin dan tidak mau banyak bicara dengan suaminya itu dan begitu juga sebaliknya. Keesokan harinya saat jam delapan pagi, Salwa dan Zidan telah siap untuk pergi menuju rumah orang tuanya Zidan.

“Nanti saat di rumah orang tua aku, kamu harus bersikap selayaknya istriku yang baik dan jangan bilang apa pun tentang masalah rumah tangga kita,” ucap Zidan sambil melirik Salwa yang telah duduk di sampingnya di dalam mobil. 

“Baik,” sahut Salwa dengan datar. 

Saat sampai di depan rumah orang Zidan, mereka langsung turun dan tiba-tiba Zidan menggenggam tangan Salwa. “Tidak perlu kamu pegang tangan aku ini. Kita mau masuk rumah bukan mau menyeberang,” ucap Salwa sambil menepis tangan suaminya itu. 

“Aku sudah peringatkan kamu untuk tidak bertingkah saat di depan orang lain. Kalau mau marah atau mau meluapkan rasa kesal kamu dan aku, nanti saja di rumah.” 

Mendengar hal itu, Salwa hanya memalingkan wajahnya dan langsung menghampiri mertuanya. Dari situ pembicaraan mulai mereka lakukan dan beberapa pertanyaan serta jawaban saling mereka berikan hingga terasa tidak ada yang curiga dengan keadaan rumah tangga mereka. 

“Kalian mau bukan madu kapan?” tanya ibunya Zidan di tengah-tengah pembicaraan. 

“Bulan madu, Umi? Kami tidak bulan madu karena di rumah saja kami berdua, kan. Lalu untuk apa pergi ke luar kota ataupun luar negeri,” jawab Salwa sambil tersenyum.

“Beda, Nak. Kalau kalian bulan madu kan kalian bisa jauh lebih romantis dan lebih dekat lagi.”

“Sepertinya nanti saja, Umi. Lagian Salwa ini masih capek karena kemarin baru sampai dari Jakarta.”

“Kamu sampai jam berapa, Nak?” tanya ayahnya Zidan sambil menatapnya. 

“Kemarin kira-kira aku sampai jam satu atau dua dini hari. Makannya tubuh Salwa terasa remuk mungkin karena angin malam,” tutur Salwa sambil tersenyum.

“Kamu sudah minum obat atau Umi saja yang belikan obat buat kamu ya,” ujar mertua perempuannya itu sambil memegang tangan Salwa. 

“Tidak perlu, Umi. Ini hanya masuk angin biasa sepertinya. Salwa hanya perlu istirahat saja.” 

“Kamu kenapa tidak jemput istri kamu?” tanya pak Ilyas sambil menatap anaknya itu. 

“Aku kemarin mau jemput dia kok, Abi, tetapi Salwa yang melarang aku. Katanya jangan menjemputnya karena dia mau datang sendiri.” 

Mendengar jawaban dari suaminya itu membuat Salwa kaget hingga melirik Zidan yang duduk di sampingnya. ‘Kamu berbohong, Mas. Kamu bahkan berani membohongi orang tua kamu sendiri. Aku tidak sangka kalau kamu punya sifat seperti ini,' tutur Salwa dalam hatinya. 

Saat menjelang sore, mereka pamit pulang karena Zidan ada ceramah saat malam nanti. Sesampainya mereka di rumah, Salwa langsung masuk kamar karena tubuhnya yang terasa mengigil, tetapi saat dia memegang tubuhnya itu panas. “Sepertinya aku masuk angin deh. Tubuh aku terasa sakit semua dan suhu badan aku juga rasanya meningkat,” tutur Salwa sambil membuka kerudungnya. 

Saat dia mau berbaring, terdengar Zidan memanggil namanya dan seketika Salwa langsung keluar kamar dan lupa untuk memakai kerudungnya. “Kamu itu apa-apaan? Kenapa tidak pakai kerudung kamu?” tanya Zidan yang langsung balik badan saat melihat Salwa yang tidak pakai kerudung. 

“Aku lupa. Sudahlah, lagian kamu itu suami aku. Kamu mau bicara apa?” ujar Salwa sambil menahan rasa sakit tubuhnya. 

“Ambil dan pakai dulu kerudung kamu. Aku tunggu di ruang tamu,” pinta Zidan yang langsung pergi. Setelah itu Salwa memakai kerudungnya dan langsung menemui Zidan.

“Malam nanti ada pengajian di pesantren dan aku minta kamu bersiap dan ikut bersama aku. Aku mau kamu datang memperkenalkan diri sebagai istriku,” ujar Zidan sambil menatap Salwa yang telah duduk di hadapannya. 

“Aku tidak bisa ikut, Mas. Aku kurang enak badan dan aku merasa sakit kepala dan agak pusing. Lain kali saja, ya.”

“Tadi kamu kan baik-baik saja. Kenapa sekarang mengeluh kalau kamu sedang sakit? Kamu berbohong? Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu harus ikut nanti malam. Nanti itu akan banyak orang penting dan aku mau memperkenalkan kamu.”

“Aku benaran sakit, Mas. Aku tidak bisa ikut.”

“Kamu tidak boleh menolak ajakan aku. Nanti malam jam delapan kita berangkat bersama dan kamu harus siap.”

Usai mengatakan itu, Zidan langsung pergi, sedangkan Salwa masih duduk dengan kondisinya yang sedang sakit. “Aku harus beli obat dulu kalau begini. Aku tidak mungkin tidak ikut nanti malam. Aku bicara salah sedikit saja dia marahnya luar biasa bahkan sampai tega mengunci aku di luar rumah padahal masih malam. Lalu apa yang akan terjadi jika aku tidak ikut nanti malam? Aku pasti akan dapat hukuman yang jauh lebih buruk lagi. Sebenarnya yang aku nikahi ini laki-laki seperti apa? Kenapa didata dan sikapnya seperti malaikat ketika di depan orang, tetapi seperti penjahat kejam ketika bersamaku,” tutur Salwa sambil beranjak keliar untuk membeli obat. 

Sesudah Salwa minum obat, dia langsung istirahat dan berharap supaya sembuh saat dia bangun nanti. Tidak terasa terdengar suara azan Magrib. Salwa langsung bangun dan bukannya sembuh, tetapi sakitnya makin menjadi-jadi. “Kenapa malah sesak napas? Apa penyakit asma aku kambuh, ya? Aku harus cari obat sesak napas dan aku harap obat itu tidak tertinggal,” ujar Salwa yang ternyata menderita penyakit asma akut. 

Setelah mencarinya, ternyata obat itu tidak ada. “Mas!” teriak Salwa ingin minta bantuan. 

“Mas, tolong aku. Mas!” Panggilan itu beberapa kali terucap dari Salwa yang mulai kehabisan napas. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Zidan sama sekali. Dengan jalan yang sempoyongan, Salwa keluar kamar dan ternyata Zidan malah asyik baca buku. 

“Mas, bisa ... Mas, bisa tolong ... a ... ku?” tanya Salwa terpotong-potong. 

Sekali lagi Zidan tidak menghiraukannya. Dia masih tetap membaca bukunya dengan sangan santai tanpa menoleh sama sekali. Seketika Salwa mengambil pas bunga dan membantingkannya ke lantai bersamaan dengan dirinya yang jatuh. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status