Share

Part 2

Sementara itu di dalam kamar sebuah rumah di kawasan Cempaka Putih, tampak Kania masih terus menusuk boneka Rasti dengan senyum jahatnya.

'Kamu harus mati, Rasti! Kamu harus merasakan pembalasanku! Aku akan terus mengejarmu, ke neraka sekalipun.' desis Kania. 

Di kejauhan suara lolongan anjing semakin keras terdengar bersahut-sahutan dengan suara burung gagak, udara di kamarnya terasa dingin dan sangat pengap terasa seakan menusuk tulang, tirai-tirai di kamarnya berkibar-kibar. Bisikan tak kasat mata itu kembali terdengar di telinganya.

'Bagus. Bagus sekali Kania, saudaraku. Minta apa pun kepadaku. Minta apa saja yang kau inginkan. Aku pasti akan mengabulkannya,' bisikan itu terdengar sangat lirih dan parau.

Seringaian Kania semakin nyata terlihat di bibirnya. Keinginan untuk membalas dendam itu semakin kuat tertanam di dadanya. Kebencian itu semakin kuat mengakar.

'Aku ingin perempuan dalam foto ini mati dengan perlahan-lahan, agar dia tahu bagaimana rasa sakit itu. Buat dia menderita, dan anak ... anak yang ada di dalam perut perempuan itu kuberikan dia padamu, sebagai persembahanku,' bisik Kania tak kalah lirih.

Suara gonggongan dan lolongan anjing  kembali bersahutan dari berbagai arah di kejauhan usai persembahan Kania seolah mengamini keinginannya.

Angin dingin meniup api lilin, membuat nyalanya meliuk-liuk seakan hendak padam. Perlahan tetapi pasti, bau amis mulai menerpa indera penciuman.

'Kania,' Terdengar bisikan seorang wanita tepat di telinganya.

Kania melihat pantulan dirinya dalam cermin, tampak sesosok wanita dengan rambut terurai menutupi sebagian wajahnya berdiri di belakangnya, tangan putih pucat berkuku hitam, panjang dan runcing tampak terulur memegang bahu Kania. Dingin! Tangan itu terasa sangat dingin dan amis, sehingga membuatnya sedikit tersedak.

"Kuterima persembahanmu. Akan kukabulkan permintaanmu ... sekarang!" bisik perempuan itu, lalu menghilang.

Seiring dengan kepergian sosok itu hilang pula suara lolongan anjing dan burung gagak yang tadi terdengar riuh bersahutan tiada henti.

'Sebentar lagi ... semua akan tercapai. Sabar, Kania ... kamu harus sabar,' batin Kania diikuti senyuman yang lebih mirip seringaian di wajahnya.

Ingatan Kania kembali ke delapan tahun lalu. Ingatan yang mampu membuatnya merasa bahagia, sesak, marah sekaligus mendendam dalam satu waktu yang bersamaan kepada Rasti dan Arga, dua orang yang pernah sangat dekat dengannya dahulu.

***

Delapan Tahun Lalu

Kania tampak sangat bahagia karena sebentar lagi dia akan menikah dengan lelaki yang sangat menyayangi dan memujanya, lelaki yang diidolakan semua gadis di kampusnya.

Hari itu dia dan tunangannya itu berencana akan pergi ke KUA untuk melengkapi semua dokumen yang diperlukan untuk pernikahannya, kemudian mereka akan ke butik milik Tante Irna, kakak tertua mami Arga untuk mencoba kebaya dan gaun pengantin yang akan dipakainya untuk acara akad nikah dan resepsinya nanti.

Kania sedang duduk mengobrol sambil menikmati segelas es jeruk  dengan sahabatnya di kantin ketika dilihatnya seorang pemuda tampan datang sambil tersenyum mesra ke arahnya.

"Assalamualaikum, Sayang. Apa kabar kamu pagi ini? Kangen rasanya nggak ketemu kamu beberapa jam aja," goda pemuda itu sambil meraih tangan Kania.

Mendengar godaan kekasihnya, Kania hanya bisa menunduk malu dengan pipi mulai bersemu merah, "Iih, apaan sih. Baru juga berapa jam nggak ketemu, nggak usah gombal deh. Malu tau!" Kania mencubit gemas tangan pemuda itu.

"Hahaha ... biarin aja napa sih, Yang. Ngegombal sama calon istri ini," goda pemuda itu semakin menjadi.

Mendengar rayuan pemuda itu pipi Kania menjadi semakih merah, wajahnya pun semakin menunduk malu apalagi ketika disadarinya sahabatnya masih duduk di depannya sambil tertawa menggodanya.

"Wah, yang bentar lagi mau nikah,  makin mesra aja!" goda Rasti pada Kania, sahabatnya. "Sampai nggak nyadar masih ada gue di sini! Udah dong, jangan sampai gue ngiri liat kemesraan elu berdua!" imbuh Rasti membuat Kania tersipu malu.

"Nganan aja, Ras. Kalau ngiri nanti salah jalan. Jangan sampai keliru kasih lampu sein, Lu. Hahaha!" Sambil tertawa Arga menggoda Rasti yang spontan memajukan bibirnya.

"Udah deh mending elu berdua cepetan cabut sana gih, daripada di sini terus! Apa perlu gue rebut Arga dari elu, biar lu nggak bisa manas-manasin gue terus?" usir Rasti masih dengan wajah cemberut.

"Ih! Kok lu ngomong gitu sih, Ras! Emangnya lu tega nyakitin gue?" tanya Kania dengan perasaan bingung mendengar perkataan sahabatnya yang terasa teramat sangat janggal di telinganya itu.

"Ah! Udah sana buruan cabut! Gue nggak perlu jawab pertanyaan elu!" Rasti mendorong Kania dan Arga untuk segera pergi dari hadapannya.

Sambil melangkah pergi, Arga dan Kania melambaikan tangannya ke arah Rasti yang langsung membalas lambaian tangan mereka.

Sepeninggal Kania dan Arga, Rasti segera mengeluarkan telepon genggam dari dalam tasnya dan langsung melakukan panggilan suara kepada seorang lelaki yang sudah cukup dikenalnya.

"Halo, Zen gimana udah dapet belum yang gue minta sama elu kemaren?" tanya Rasti pada seseorang.

"Dapet, dong. Buat Zen, nyari barang kaya gitu aja sih, kecil!" balas seorang pemuda dengan nada bangga.

"Elu tinggal kasih gue sesuai yang kita sepakati kemarin. Kalau elu udah siap, gue anter sekarang," ucap Zen

"Oke, kalau gitu sekarang kita ketemuan di Meet Up Cafe. Setengah jam lagi gue sampai sana!" ucap Rasti mengakhiri percakapan dengan lawan bicaranya.

Setengah jam kemudian, di Meet Up Cafe di sebuah tempat yang cukup terlindung dari keramaian,  tanpak Rasti sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki. Setelah merasa aman, laki-laki tersebut tampak mengeluarkan sebuah bungkusan plastik kecil berisi dua butir pil.

"Elu yakin pil ini bakalan bekerja seperti yang gue mau, Zen?" tanya Rasti.

Pemuda yang dipanggil Zen itu hanya mengangguk sambil mengacungkan kedua jempol tangannya. Melihat reaksi Zen, Rasti segera mengeluarkan amplop coklat yang sudah dipersiapkannya dari tadi pagi sebelum berangkat kuliah.

Setelah menghitung uang dalam amplop coklat itu, tanpa mengatakan sepatah kata pun Zen segera pergi meninggalkan Rasti yang tengah tersenyum jahat.

"Nggak lama lagi gue bakal rebut Arga dari elu, Kania! Gue harus jadi istri Arga bagaimana pun caranya!" desis Rasti dengan seringaian samar di wajahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status