Malam harinya usai menyelesaikan semua rangkaian kegiatan, Arga pun mengantarkan Kania, tunangannya pulang.
"Yang, aku pulang dulu ya. Habis ini, kamu langsung mandi terus istirahat. Jangan begadang, kita udah cukup capek hari ini. Besok pagi aku jemput kamu seperti biasa, begitu selesai bimbingan skripsi kita lanjutin lagi nyari souvenir dan undangan," pamit Arga pada Kania, kekasihnya.
"Iya, Sayang. Kamu juga sampai di rumah nanti langsung mandi, makan dan istirahat ya. Jangan lupa salat dulu." ujar Kania dengan tatapan mesra pada Arga.
"Siap, Jenderal! Kamu juga jangan lupa makan dan salat ya. Makasih udah selalu diingetin. I love you, Kania Andarini Prasetyo."
Arga mengangkat tangan kanannya, bersikap hormat pada Kania. Kania merasa gemas sekaligus malu karena melihat sikap calon suaminya yang selalu saja menggodanya di setiap kesempatan.
"Ish, apaan sih Arga. Udah kewajiban aku buat ngingetin calon imamku, biar semakin istiqomah nanti kalau udah beneran jadi suami." Sambil tersipu malu Kania mencubit lengan Arga manja.
"Ya udah, gih kamu masuk. Nanti ibu sama ayah nyariin kamu lo. Salamin ke mereka ya, tolong sampaikan maaf aku nggak mampir. Assalamualaikum, Calon bidadari surgaku."
"Iya, Yang. InsyaaAllah nanti aku sampaikan ke ayah dan ibu. Hati-hati ya, Yang nanti kalau udah sampai kabarin aku ya. Waalaikumsalam, Calon imam." Setelah melambaikan tangannya, Kania pun melangkah ke dalam rumah.
Setelah memastikan bahwa Kania benar-benar masuk rumah, Arga bergegas melajukan sepeda motor Harley kesayangan hadiah dari sang papi ketika berulang tahun ke 17 tahun menuju ke rumah, dia ingin segera mengguyur tubuhnya. Debu dan keringat sudah bercampur menjadi satu, sehingga membuat Arga risih dan bau. Arga pun sudah merindukan ranjangnya yang nyaman.
Sambil berkendara, tanpa sadar Arga tersenyum ketika mengingat kembali kejadian siang tadi di butik Fabs Couple milik Tante Irna, kakak tertua mami Arga. Kania terlihat sangat bahagia dan bersemangat saat mencoba hampir semua kebaya dan gaun pengantin koleksi terbaru butik itu.
"Sayang, coba deh kamu lihat semua koleksi kebaya dan gaun pengantin ini, semuanya bagus ya. Aku jadi bingung, mau pilih yang mana."
"Iya, Yang. Terserah kamu aja mau model seperti apa, warna apa. Apa pun yang kamu pakai pasti cocok sama kamu. Bener nggak, Tan?" kata Arga sambil memalingkan wajahnya ke arah Tante Irna.
"Bener banget kata Arga, Nak. Tante yakin apa pun pilihan kamu pasti bagus dan cocok dipakai oleh gadis secantik kamu," ucap Tante Irna sambil mengerlingkan matanya menggoda Kania.
Kerlingan dan senyuman menggoda Tante Irna tak pelak membuat Kania merasa malu sekaligus senang dan semakin bersemangat, apalagi di butik Tante Irna banyak koleksi baru dan menarik minatnya untuk mencoba satu per satu.
"Ah, Tante bikin Kania ge-er aja. Ya udah kalau gitu aku lihat-lihat dulu ya, Tan."
"Iya, Sayang. Kamu pilih-pilih dulu aja, nanti kalau ada yang kamu suka dan mau kamu coba kamu kasih Dina, asisten Tante yang nanti nemenin kamu fitting," jelas Tante Irna sambil mencari Dina, asistennya.
"Din, sini bentar. Kamu temenin Kania ya buat milih-milih kebaya sama gaun pengantin sekalian fitting! Aku mau ngukur Arga dulu. Arga, ayo sini ikut Tante!" Tante Irna memerintahkan Arga mengikutinya menuju ke ruang sebelah.
Setelah hampir dua jam memilih-milih kebaya dan gaun pengantin, hingga melakukan fitting akhirnya Kania menjatuhkan pilihan kepada satu set kebaya putih berleher rendah yang hampir menampakkan belahan dada dan gaun pengantin model ball gown berwarna biru tosca. Kedua pilihan Kania itu sama-sama memiliki model sederhana tetapi elegan sehingga memberi kesan istimewa pada pemakainya.
"Arga, kamu lihat apa sih? Sampai lupa berkedip gitu?" tanya Kania kebingungan dengan ekspresi Arga.
"Ini ... ini kamu, Kan. Can ... tik banget. Kamu pasti bukan Kania, ya kan? Kamu ... kamu bidadari ya?" Begitu terpesonanya Arga melihat kecantikan Kania dalam balutan kebaya pilihannya hingga tidak sadar bahwa sedari tadi dia tidak berkedip sedikit pun.
"Ish, apaan sih Arga. Jangan bikin aku malu di depan Tante Irna dan Mbak Dina dong," sergah Kania malu.
"Hahaha. Nggak usah malu, Sayang. Memang benar apa yang dikatakan Arga, kamu cantik banget pakai kebaya itu. Kebaya itu benar-benar pas di badan kamu. Cocok banget." Tante Irna berdecak kagum melihat aura kecantikkan Kania begitu memancar keluar.
Arga teringat betapa cantik Kania dalam balutan kebaya dan gaun pengantin tadi. 'Ah, aku nggak sabar rasanya ingin cepat-cepat menjadikan Kania sebagai Nyonya Arga.' Arga membatin dalam hati.
Dering suara ponsel menghentikan lamunan Arga, sontak dia melirik ke layar ponselnya untuk melihat siapa yang meneleponnya,'Rasti,' gumam Arga sambil memasang bluetooth headset ke telinganya.
"Assalamualaikum, Rasti. Ada apa, nih?" tanya Arga.
"Waalaikumsalam, Ga. Kamu sibuk nggak? Aku mau minta tolong kamu, bisa nggak?" Rasti balik bertanya.
"Nggak sibuk sih. Mau minta tolong apa memangnya?"
Sambil berdiri meluruskan pinggang yang mulai terasa agak sakit, Arga mengambil mantel sepeda motor dan menutupi Harley miliknya sembari mendengarkan suara Rasti masih terdengar di bluetooth headsetnya.
"Temenin aku ke mall dong, aku mau beli kado ulang tahun buat papahku. Bisa nggak?" pinta Rasti.
"Waduh ... gimana ya? Kebetulan aku baru aja sampai rumah dan badanku capek banget rasanya. Maaf ya, Ras aku nggak bisa nemenin kamu," tolak Arga dengan hati-hati.
"Oh gitu. Ya udah nggak apa-apa, Ga. Nanti aku minta tolong sopir papahku aja buat nganterin aku. Maaf ya, Ga kalau ngerepotin kamu," jawab Rasti dengan nada kecewa.
"It's okay. Nggak apa-apa, Ras. Maaf ya aku beneran capek, jadi nggak bisa nemenin kamu. Ya udah kalau gitu, aku mau beres-beres dulu. Assalamualaikum." Arga mematikan ponselnya dan keluar dari garasi rumahnya.
"Iya, Ga. Waalaikumsalam," lirih Rasti menjawab salam Arga.
'Elu boleh nolak gue kali ini, Ga. Tapi lain kali, gue yakin elu yang bakalan bersujud menangis darah meminta perhatian dari gue!' batin Rasti dengan seringai jahat di bibirnya.
***
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**