Duduk di depan komputer berjam-jam membuat Anjeli jenuh, ia sedikit meregangkan tubuhnya dan melihat sekelilingnya. Setelah Pak Hans datang membawakan sarapan, terjadi kehebohan kecil di ruangan ini karena sikap perhatian pak direktur yang tidak disangka-sangka, dalam sekejap mereka kembali dengan urusan masing-masing. Rasa jenuh membuat Anjeli mengantuk, ia memilih untuk beranjak dari kursinya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi itu, Anjeli mulai merenung. "Pagi ini pak Ghatan tidak menyapaku, bahkan dia tidak menatapku sama sekali." Anjeli terus berpikir, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi pada pria itu. "Apa terjadi sesuatu saat bertemu dengan pimpinan? Atau aku melakukan kesalahan?" Anjeli menarik napas, menyesap kopi itu lantas meneguknya perlahan. "Aku tidak merasa melakukan kesalahan, tunggu..." Anjeli teringat pada kontak Leon yang mendadak terhapus. "Jangan-jangan yang menghapus kontak Leon dan yang memindahkan ku ke kamar adalah..." Anj
Di ruangan direktur pria itu tampak lelah berkutat dengan pekerjaan, disamping itu banyak hal yang terus mengganggu pikirannya. Ghatan meraih gelas yang tersimpan tepat di sampingnya, lalu menghela napas panjang begitu melihat tidak ada kopi di dalamnya. Tiba-tiba wajah seseorang terlintas di benaknya, mata yang terpejam dengan embusan napas teratur, sebentar lagi Ghatan akan gila karena terus memikirkannya. "Anjeli," sebutnya seraya memikirkan bagaimana jika seandainya wanita itu datang kemari dan membuatkannya segelas kopi. "Akan aneh jika aku mendadak memanggilnya kemari," ucapnya lantas menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman." Ghatan menyalakan ponselnya, ia akan menghubungi manajernya untuk membelikan kopi di luar. Namun pergerakan tangannya mendadak berhenti begitu sesuatu terlintas di kepalanya. "Sepertinya membeli kopi sendiri bukan ide yang buruk." Ghatan memilih untuk pergi membeli kopi sendiri, hitung-hitung kembali menyegarkan otaknya yang teras
"Bagaimana ini? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka." Anjeli masih berusaha membuka pintu itu dengan ekspresi panik bukan main. Ruangan yang gelap tanpa adanya fentilasi membuat dada Anjeli berdegup dengan cepat, tetapi hal yang membuat Anjeli semakin merasa sesak adalah mengingat dirinya hanya berdua bersama Ghatan. Hanya berdua di tempat yang gelap, bernapas di satu ruangan tanpa adanya pertukaran udara. Ghatan dapat mendengar jelas bagaimana Anjeli bernapas dan suara panik yang terus wanita itu keluarkan. "Tolong!" teriak Anjeli dan mulai memukul pintu berharap seseorang dapat mengeluarkannya dari sini. "Apa di luar ada sese—mph!" Ghatan membekap mulut Anjeli, menghentikan suaranya sebelum seseorang mendengar dan membuka pintu itu. Ghatan tidak akan membiarkan siapa pun melihatnya bersama Anjeli di ruangan ini. Anjeli tak berontak, justru ia diam seperti patung seraya menahan napasnya. "Sstt!" bisik Ghatan tepat di telinganya, ia dapat merasakan helaan napas itu. Rasanya d
Saat tangan berjari lentik itu akan membelai wajahnya, Ghatan segera menepisnya dan berjalan melewati Anindya tanpa menatap wanita itu. "Pergilah, aku tidak ada waktu untuk mu." Ghatan memfokuskan diri pada layar komputer di depannya, membuka beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani. "Lain kali jika tak ada hal penting jangan langsung datang ke kantor ku, lalu..." "Lalu?" tanya Anindya dengan alis terangkat, menunggu Ghatan melanjutkan kata-katanya. Ghatan menatap Anindya tajam. "Jangan seenaknya datang ke sini tanpa janji temu, aku sibuk." "Sibuk berduaan dengan wanita itu?" Brak! Ghatan mengebrak meja, kesabarannya sudah habis akibat sikap lancang Anindya. Tanpa banyak kata, Ghatan segera menghubungi sekretarisnya di depan untuk membantu Anindya keluar dari ruangannya. "Sekretaris Kim, apa kau bisa tolong bantu nona Anindya keluar?" ucap Ghatan dengan suara dingin. "Pertemuan kita sudah selesai, sepertinya dia lupa jalan pulang." Anindya tertawa hambar, menatap Gh
"Aku sudah tidak tahan lagi..." Bas menatap Anjeli iba tetapi di sisi lain ia tidak bisa menolong adiknya begitu saja. Bahkan Bas tak sanggup jika harus ikut campur dalam urusan rumah tangga Anjeli dengan suaminya. "Aku tahu kau sedang kesulitan," kata Bas sembari memegang kedua bahu Anjeli menenangkan. "Tapi aku tidak bisa membawamu kembali ke rumah, apa lagi statusmu sekarang adalah istri Ghatan." Bas melepas kedua tangannya dari bahu Anjeli, kembali menatap Anjeli penuh simpatik. Mata Anjeli berkaca-kaca, ia kembali menangis menatap Bas tidak percaya. "Kau jahat..." ujarnya pelan. "Bukankah kau keluargaku? Kenapa kau setega ini padaku, huhuhu." Bas bingung. Bas sudah tahu jika Anjeli menikah dengan Ghatan. Dan faktanya Ghatan ini adalah teman Bas saat SMA dulu, mereka berteman baik bahkan sangat baik. Saking baiknya hubungan Bas dengan Ghatan sebagai teman, Bas sudah tahu bagaimana sifat baik buruk pria itu. Bahkan Bas sempat menjadi tempat cerita, tempat mengeluh, hingg
Anjeli tidak bisa dipermainkan seperti ini. Melihat Ghatan hanya diam seribu bahasa tanpa mengatakan apa pun, membuat dada Anjeli semakin sesak. Bahkan pria itu tak menyangkal sama sekali, tak berusaha memberi alasan kepada Anjeli meski hanya sekedar untuk menenangkannya. Ghatan hanya diam menatap Anjeli datar. "Ayo sudahi saja," kata Anjeli setelah berusaha mengeluarkan suara. Setelah mengatakan hal itu ia keluar dari mobil, meninggalkan Ghatan yang masih diam tak berkutik di tempatnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. "Jadi seperti ini rasanya disakiti..." Anjeli terisak. Berjalan tanpa tujuan setelah keluar dari mobil Ghatan dan pria itu tak mengejar atau menahannya seakan tak peduli. Entah apa yang sedang Ghatan pikirkan hingga tak bersuara di hadapan Anjeli. Atau mungkin pria itu memang tak bisa mengelak lagi karena semua kejadian yang Anjeli lihat memang benar apa adanya. "Dia benar-benar pria bajingan," gumam Anjeli ditelusuri oleh rasa sesak yang semakin menyayat.
Ghatan menarik napas panjang, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana karena udara semakin terasa dingin ditambah gerimis yang mulai membesar. "Hujan mulai turun, An." Ghatan berusaha untuk tidak meluapkan emosinya. Melihat Anjeli masih duduk dan tak berdiri, Ghatan memilih untuk membalikan tubuh dan berjalan membiarkan Anjeli melakukan apa pun yang dia inginkan. "Pria jahat," ketus Anjeli dengan suara bergetar. Hidungnya memerah, Anjeli tidak ingin mati kedinginan di sini. Setelah Ghatan berjalan jauh, Anjeli baru bangkit dan mengikuti pria itu dari belakang. Tidak ada tempat untuk pulang selain apartemen milik Ghatan, mau tidak mau Anjeli kembali ke apartemen ini dengan perasaan yang masih belum baik-baik saja. Malam yang melelahkan, Anjeli memilih untuk masuk ke dalam kamarnya daripada membahas hal yang tak juga Ghatan katakan kebenarannya. "An," panggil Ghatan begitu melihat Anjeli. "Aku ingin menjelaskan—" Brak! Pintu tertutup. "Baiklah, kau pasti lelah."
8 tahun yang lalu. Malam itu hujan turun begitu deras, dua pria turun dari mobil sambil melindungi kepalanya dari hujan dengan tas. Tampak salah satu darinya berhenti di depan pintu, membuat sang teman sedikit mengernyitkan keningnya. "Ada apa?" tanya pria yang memakai kaos polos dan sedikit basah karena hujan. "Kenapa berhenti dan tidak masuk?" "Aku tidak enak pada bibi dan paman," jawabnya dengan suara dingin beserta wajah tanpa ekspresi. "Sudah tiga hari aku menginap di rumah ini, apa sebaiknya aku pulang saja?" "Ey~" Pria itu—Baskara langsung merangkul Ghatan dengan wajah mencibir. "Kau pikir aku ini siapa? Orang tuaku pasti selalu menyambut mu setiap kali datang ke sini." Baskara sedikit menyeret Ghatan masuk ke dalam. "Jangan sungkan, anggap saja ini rumahmu..." Bas melepaskan rangkulannya dan menatap Ghatan memicing. "Tapi ini kan memang rumah orang tuamu, hahaha." "Kalian sudah datang." Seorang wanita datang dengan wajah sedikit panik begitu mendengar suara pintu terbuka