Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Nam
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon m
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas.Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Brak! Pintu ruangan Presdir GP Property dibuka dengan keras membuat sang pemilik ruangan spontan mengangkat kepala, kening yang berkerut menandakan ia marah dan tak terima dengan sikap lancang karyawannya. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada dingin, memandang tajam sang karyawan seakan siap memecatnya sekarang juga. Seolah tidak peduli dengan tatapan itu, karyawan yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan Presdir meskipun sudah ditahan berakhir berdiri tepat di depan meja kebesaran bosnya. "Pak, apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya menyimpan secarik kertas di atas meja. "Apa bapak ingin mempermainkan saya di sini, dengan memotong setengah gaji saya untuk membayar utang orang tua saya?" Pak Presdir—Gama langsung mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Hm, tanyakan langsung pada pimpinan, saya tidak tahu apa-apa." "Pak!" Anjeli sudah menahan rasa kesalnya sejak tadi. "Bagaimana bisa saya percaya pada ucapan bapak? Sementara ini pimpinan sedang terbaring di rumah s
"Ayo kita menikah." Lagi-lagi kata 'menikah' keluar dari mulut Ghatan setelah ia dengan halus mengusir Sena dan menyuruhnya pergi tanpa membawa map rincian utang keluarga Anjeli. Sekarang hanya ada Ghatan dan Anjeli di sini, di sebuah kafe tak jauh dari kantor. "Apa maksudnya?" tanya Anjeli tak mengerti, memandang wajah tenang Ghatan yang terdengar santai mengajaknya mengikat janji suci. "Anda bilang apa tadi?" Tidak banyak yang Anjeli ketahui tentang cucu pimpinan Prajanata yang nantinya akan mewarisi perusahaan GP Property. Yang Anjeli tahu pasti, 32 tahunnya dihabiskan untuk menjadi pemilik GP Property. Sebagai putra tunggal, beban yang ditanggungnya memanglah sangat berat. Hanya dia satu-satunya penerus GP Property. Karena itulah, mau tidak mau dia dididik dengan keras. Tak heran ia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Ada alasan kenapa Anjeli berpikir seperti itu, karena sudah keempat kalinya ia membatalkan perjod
"Tu-tuan muda! Ini tidak seperti yang anda lihat." Ibu—Eva segera mengatupkan kedua tangannya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghatan. "Ayah, cepat minta maaf kepada tuan muda!" seru Eva panik kepada suaminya, ia memaksa sang suami untuk ikut mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan kami tuan muda, kami tidak bermaksud seperti ini. Karena dia kami harus kehilangan rumah. Tolong kami tuan muda." Eva terus memohon kepada Ghatan yang hanya diam saja. Melihat kedua orang tuanya memohon seperti itu kepada Ghatan, hati Anjeli hancur. Gejolak panas muncul di dadanya kala Eva dan Yuan mulai menunduk di hadapan Ghatan. "Ibu! Ayah! Jangan melakukan itu!" Anjeli berusaha untuk menarik mereka agar berdiri. "Ibu dan Ayah boleh memukuliku, asal kalian berdua bangun! Huhuhu, aku mohon...." Eva menepis tangan Anjeli kasar, bahkan dengan tega ia mendorong anaknya. Sebelum hal buruk kembali terjadi pada Anjeli, Ghatan memerintah pengawalnya untuk menahan Eva yang hendak mendekati Anjeli
Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu. Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak