Napas Erin memburu. Dada gadis tujuh belas tahun itu kembang kempis menampung seluruh oksigen yang dihirup dengan rakus. Sepasang kaki kecilnya terus dipacu demi menghindari lima pria bertubuh kekar yang mengejarnya seakan tidak mengenal lelah.
Siang ini pasar tempat ia biasa memulung botol dan plastik bekas tampak ramai. Hanya satu dua kios saja yang tutup. Selebihnya buka dengan antrian yang tidak sepadat biasanya.
Gadis berambut kuncir ekor kuda itu terus berlari dengan lincah. Meliuk ke kanan dan kiri menghindari orang berlalu lalang di jalanan yang sama supaya tidak bertubrukan. Sesekali kepala si gadis manis bertubuh kerempeng itu menoleh ke belakang. Memastikan posisi para penguntit yang masih setia mengejarnya.
Kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah bagi pengunjung pasar. Tidak hanya Erin, puluhan orang lainnya pun pernah mengalami hal yang sama. Penyebabnya hanya satu; berhutang pada Rentenir Sanjaya tetapi tidak mampu melunasi.
Semua orang di wilayah tersebut paham betul reputasi si kakek 65 tahun itu; rentenir kaya raya yang bengis dan tidak mengenal ampun. Lebih baik mencari aman, ketimbang berurusan dengan para algojo pengabdi Kakek Sanjaya.
Beruntung, sebuah persimpangan di ujung jalan sedikit memberi kesempatan kepada Erin untuk mengulur waktu. Tanpa berpikir panjang, sepasang kakinya diarahkan ke sebuah warung makan yang ramai pengunjung.
Dengan hati bergemuruh, Erin menyembunyikan diri di balik tembok samping warung makan yang tertutup terpal biru tua. Tubuhnya yang mungil membuat ia mudah berdiri di celah sempit antara tembok dengan terpal.
Keringat dingin membanjir di sekujur tubuhnya membuat kaus yang ia pakai menjadi lepek dan berbau apak. Erin tidak peduli. Pikirannya terlalu fokus pada para pria kekar yang mengejarnya.
Sejurus kemudian, kelima pengejar itu berhenti tepat di persimpangan jalan. Meski sempat kesal karena kehilangan jejak Erin, mereka tidak habis akal. Tanpa membuang waktu Jay, pemimpin kelompok kecil itu, langsung memberi perintah.
“Kalian bertiga ke sana. Gua sama Roni ke kiri. Tangkap bocah itu hidup-hidup!” ucap Jay sembari memberi hand sign.
Tanpa menjawab, ketiganya gegas berlari menuju ke arah sesuai perintah. Begitu juga dengan Jay dan Roni yang sigap mempercepat langkah demi menyergap gadis buruan.
Erin membeku. Degup jantung seakan berlomba hendak mendobrak dada gadis itu kala Jay dan Roni berdiri tepat di samping terpal warung makan tempatnya bersembunyi. Mata gadis belia itu terpejam, pasrah.
“Hmp!” Mendadak napas Erin tercekat bersamaan dengan itu, sepasang mata bulatnya membeliak karena terkejut setengah mati. Sebuah telapak tangan yang dingin tetapi lembut membekap mulut gadis tersebut.
“Sstt! Jangan berteriak atau mereka akan tau kalau kamu sembunyi di sini.” Suara perempuan. Erin coba mengingat, bukankah penguntit tadi semuanya laki-laki?
Tidak ingin membuang waktu, gadis malang itu mengangguk cepat berharap bekapan yang membuat dirinya merasa tidak nyaman itu segera terlepas.
Takut-takut ia melirik ke belakang usai tangan dingin itu ditarik pemiliknya. Bukan wajah mengerikan yang didapati melainkan seorang wanita bercadar dan berpakaian serba hitam yang ia tebak sedang tersenyum padanya karena sepasang netra itu melengkung indah.
Erin mengerjap, menetralkan deru napas dan pikirannya yang kalut. Belum habis rasa terkejutnya, wanita bercadar hitam itu mencengkeram lengannya lalu menarik gadis itu pergi dari sana.
Mereka tidak berlari. Melainkan hanya berjalan dengan cepat agar tidak menarik perhatian orang di sekitarnya. Si wanita membawa Erin keluar dari pasar menyusuri jalanan rusak di pinggir sawah. Kanan kiri jalan itu dipenuhi sampah yang dikerumuni lalat hijau.
Bau sampah basah memenuhi rongga penciuman Erin. Karena sudah terbiasa, tidak ada keluh terlontar dari bibir tipisnya. Ia terus mengikuti ke mana si wanita membawanya. Sampai di depan sebuah gang kecil mendadak langkah Erin terhenti.
“Tunggu!” Erin menyentak lengan kurusnya hingga terlepas dari genggaman si wanita bercadar. “Kamu ini siapa? Aku memang lagi sembunyi dari algojonya Sanjaya, tapi bukan berarti kamu bisa bawa aku seenaknya!” Mata Erin nyalang memindai tempat asing itu. “Di mana ini?”
“Tempat yang aman buatmu, buat kita.” Lembut. Erin merasa nyaman mendengar suara wanita yang bahkan ia tidak tahu namanya itu.
“Kamu juga sedang lari dari kakek tua itu?”
“Sebaiknya kita lanjut jalan dulu, yuk. Ngobrolnya nanti setelah sampai rumah.”
“Rumah?”
Si wanita bercadar enggan menjawab. Kali ini ia tidak menarik paksa lengan Erin. Dibiarkannya gadis itu menentukan pilihannya sendiri. Mau tidak mau Erin mengikuti langkah wanita bercadar yang berjalan dengan cepat. Hingga mereka berhenti di depan bangunan rumah kecil berwarna hijau pastel. Sebuah pekarangan sempit tetapi terawat dengan baik menyambut keduanya.
“Ayo masuk,” ajak si wanita bercadar usai membuka pintu depan. “Rumahnya kecil tapi Ibu yakin kamu akan betah tinggal di sini," ucapnya ramah sembari menggenggam jemari Erin yang terpaku.
“Ibu?”
“Iya. Orang-orang memanggil saya Ibu Mela. Kamu cukup panggil Ibu aja.”
Sekali lagi Erin mengerjap. Bukan karena terkejut, melainkan kali ini ia berusaha keras menghalau bulir hangat yang mulai berarak di sudut mata. Ada yang berdenyut di dadanya. Dua tahun sudah ia menahan rindu pada sosok berjuluk ibu. Sangat menyakitkan ketika gejolak rasa itu mesti ditekannya dalam-dalam karena wanita yang dirindui telah berkalang tanah. Kembali ke pelukan Sang Pencipta.
“Duduklah, Nak. Ibu ambilkan air putih. Ibu juga haus abis lari-larian tadi,” gurau Mela seolah ingin mencairkan suasana.
Erin hanya terdiam sembari menunduk. Sejurus kemudian, Mela datang dari arah dapur membawa sebuah nampan berisi dua gelas air putih dan sepiring kue gemblong. Ia letakkan semua di atas meja di hadapan Erin.
“Ayo minum dulu. Sambil dimakan kuenya. Buat ganjal lapar.”
“Bu.”
“Iya.”
“Kita baru kenal tapi Ibu baik banget sama aku.”
Mela tersenyum di balik cadarnya. “Siapa bilang kita baru kenal?”
Pertanyaan Mela membuat Erin mengerutkan dahi.
Mela meraih jemari Erin lalu menggenggamnya hangat. “Kamu itu sudah lama jadi pembicaraan orang-orang di pasar. Sebenarnya mereka kasihan sama kamu tapi nggak berani melawan anak buah Sanjaya.”
Dahi Erin kian mengkerut hingga alis tebalnya nyaris bertaut. “Maksud Ibu?”
“Nama kamu Erin, ‘kan?” Mela menggeser duduknya mendekati Erin lalu meraih gadis itu ke dalam dekapan. “Orang tuamu dulu berdagang di pasar itu. Karena kekurangan modal jadi berhutang sama Sanjaya. Sayangnya, ketika rentenir jahat itu memintamu sebagai jaminan, ayahmu tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya."
Gerak tubuh Erin yang semula rikuh, kini mendekap erat Mela tanpa malu-malu. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Diluapkannya seluruh perasaan lewat tangis. Duka kehilangan kedua orang tua dua tahun lalu yang terus ditutup rapat akhirnya tumpah ruah. Begitu juga dengan rasa kecewa atas keputusan sang ayah yang begitu mudah menjaminkan dirinya ke Sanjaya.
“Maaf, dulu Ibu nggak bisa berbuat banyak untuk bantu kalian.” Lirih Mela berbisik tepat di telinga Erin yang tergugu.
Luka yang dipendamnya sangat dalam itu kini kembali menganga. Kenangan ketika sang ayah dipukuli beramai-ramai oleh centeng Sanjaya menari-nari di kepala Erin.
***
“Ampun, Kang. Saya sudah nggak punya uang lagi. Sungguh,” rintih ayah Erin sembari memeluk erat kaki salah satu dari empat centeng Sanjaya yang sore itu datang ke rumah mereka untuk menagih hutang.
Alih-alih memberi ampunan, centeng bertato naga di pangkal lengan itu malah mengibaskan kakinya hingga pelukan ayah Erin terlepas. Kemudian dengan cepat ia menyarangkan sebuah tendangan keras ke pinggang lelaki yang sudah dipenuhi luka itu.
Tak ayal, tubuh ayah Erin seketika terpelanting menabrak tumpukan bata merah yang ada di dekatnya. Cairan merah kental berangsur mengalir dari kepala belakang serta hidung lelaki malang itu.
Sang ibu yang kedua tangannya dicengkeram erat oleh centeng lainnya hanya bisa menjerit histeris. Air mata serta keringat sudah tidak bisa dibedakan lagi. Wajah wanita itu merah padam menahan kepedihan juga amarah secara bersamaan.
Sedangkan Erin yang bersembunyi di balik tembok tetangga, mengintip takut-takut sembari membekap mulutnya sangat erat. Meski begitu, tak urung sebuah jeritan tertahan keluar dari bibir kecilnya. Membuat salah seorang centeng menoleh lalu memburunya yang lari kocar kacir menyelinap di antara rapatnya rumah tetangga, persis seperti yang diajarkan sang ayah beberapa waktu lalu.
***
Wajah Erin menegang hingga sebuah sentuhan pelan membuyarkan lamunannya. Gadis itu melepas dekapan dari tubuh Mela. Ia usap kasar jejak air mata di pipi menggunakan punggung tangan.
“Mandi dulu, gih. Setelah itu salat Magrib,” ucap Mela lirih.
Tidak ada yang bisa dilakukan Erin selain menggangguk menuruti perkataan lembut bernada memerintah itu. Ia memang butuh tempat untuk menumpahkan seluruh keluh kesah. Tempat untuk mengadu.
***
Sementara itu di luar, sekitar empat meter dari pekarangan, tampak seorang pria muda berdada bidang tengah berdiri mengamati rumah mungil itu sembari memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.
Wajah tampannya yang minus ekspresi semakin terlihat mengerikan ketika sebuah seringai tipis terulas di bibirnya.
***
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
“Selamat pagi.”Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.“Gio.”“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.“Tadi kamu
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Selamat pagi, Tuan Zafran.”Seorang ART mengangguk penuh hormat pada tuan muda yang tengah menuruni anak tangga dengan malas. Penampilan Zafran pagi ini terlihat tak seperti biasa; rambut acak-acakan dengan lingkar mata panda tipis menghiasi wajah tampan itu. Meski begitu, satu hal yang masih tetap sama; tubuhnya wangi maskulin.“Hem,” jawab Zafran singkat. Kepalanya masih terasa berat akibat hanya terlelap tidak lebih dari dua jam.Sepasang kaki pria itu melangkah santai menuju ruang makan di mana kakek dan abangnya sudah menunggu.“Morning, Zaf,” sapa Gio sinis, seperti biasa. “Kupikir udah nggak ingat rumah lagi,” sindirnya. “Rupanya wanita-wanita malam itu masih membiarkanmu pulang.”“Hus! Masih pagi, jangan ribut-ribut.” Sanjaya menegur cucu sulu ngnya dengan suara serak khas lelaki tua itu. "Kalau mau bikin keributan, di pasar aja sana!""Bikin keributan di pasar
“Tunggu!” Zafran menyantuh lembut lengan kanan Erin ketika dilihatnya gadis itu bersiap turun dari mobil. “Kamu yakin mau pulang sendiri?”Zafran menatap sekeliling tempat dirinya menghentikan mobil. Sebuah gapura kecil dengan jalan setapak—yang hanya cukup untuk berjalan kaki dua orang berjajar ke samping—terlihat di sana. Gelap, seiring malam yang kian larut. Pun tanpa penerangan cukup. Bangunan rumah semi permanen saling berdesakan di kiri kanan jalan setapak tersebut.Beberapa pemuda bermain gitar tidak jauh dari tempat Zafran dan Erin berada sekarang. Suara nanyian mereka yang terdengar sumbang ditingkahi gelak tawa mengisi malam.Zafran mematikan mesin mobil. “Aku antar aja.”“Nggak perlu, Zafran. Aku baik-baik aja.”“Tempat ini terlalu gelap.”“Ini rumahku. Percayalah aku nggak akan kenapa-kenapa.” Erin tersenyum mendapati semburat kekhawatiran di mata
“Aaargh!” Zafran mengerang di dalam mobil yang terparkir di bibir pantai kala Erin membuka balutan kaos putih yang dibebat seadanya di telapak tangan terluka milik lelaki itu.“Makanya kalau masih bisa ngerasain sakit jangan sok jagoan, deh,” cerocos Erin tanpa henti sejak mereka meninggalkan parkiran Rumah Bordil Yuan.Dengan telaten dan sangat hati-hati, gadis itu memeriksa kalau-kalau ada pecahan kaca yang masih menancap di telapak tangan Zafran seperti yang ia temukan sebelumnya. Kemudian membalurkan beberapa tetes obat luka berwarna merah yang disambut rintihan Zafran ketika cairan itu menyentuh kulitnya yang menganga. Erin mengabaikan rintihan itu. Ia memilih untuk terus melanjutkan pekerjaannya.“Lagian ngapain sih pecicilan main ke tempat begituan? Apa jangan-jangan kamu memang suka nongkrong di sana? Hayo ngaku!” Tanpa sadar gadis itu menarik perban terlalu kuat hingga membuat Zafran meringis.“Ah! Kamu i
“Bos, silakan pilih. Mereka stok terbaru di sini.” Yuan—wanita paruh baya bertubuh gembrot dibalut pakaian seksi nan ketat— bergelayut manja di lengan Zafran. Gerakan tersebut mau tidak mau membuat sepasang bukit kembarnya yang hanya tertutup separuh, menempel lekat di lengan kekar itu.“Ayolah, Bos. Duduk dulu sebentar, nikmati ‘hidangannya’,” bisik Yuan lagi dengan suara mendesah seraya mengedipkan sebelah matanya.Seorang pelayan wanita yang tidak kalah seksi, masuk ke ruang privat tersebut. Tanpa bersuara, si pelayan meletakkan sebotol red wine di dalam sebuah ember berisi pecahan es batu lengkap dengan dua sloki kosong ke atas meja bundar yang terbuat dari marmer itu. Ia langsung pergi setelah si nyonya mengusirnya keluar.Setengah memaksa, Yuan menarik lengan Zafran untuk mendekati meja. Dengan malas lelaki muda itu duduk di pinggir meja tersebut kemudian menenggak sesloki red wine yang diangsurkan Yuan ke ar
“Hei, Pemalas! Bangun udah siang.”Zafran masuk ke mobil sembari membawa dua botol air mineral dan dua bungkus roti sobek isi coklat. Sementara Erin mengerjap dengan wajah polosnya.Beruntung tangan Zafran sigap membekap mulut garis itu yang rupanya tengah bersiap untuk berteriak. Sepasang mata bulat Erin melotot sempurna, sedangkan kedua tangannya sibuk berusaha melepas cengkeraman tangan Zafran di mulutnya.Zafran tak kuasa melihat polah lucu Erin yang memaksanya untuk tertawa lebar, memamerkan deretan gigi putih yang tersusun rapi. Bukannya terus meronta, Erin malah melongo terpesona. Sungguh tampan makhluk yang tengah tertawa lepas di hadapannya itu.“Kamu mau aku lepasin?” tanya Zafran masih dengan sisa-sisa tawa.Erin mengangguk.“Tapi janji jangan teriak?”Lagi-lagi Erin hanya menjawab dengan anggukan.Perlahan Zafran melepas bekapan tangannya sembari memastikan bahwa gadis cerewet itu