Share

Satu Gadis Tiga Lelaki
Satu Gadis Tiga Lelaki
Penulis: Yesi Tri Andriani Sudibyo

Diburu Algojo Rentenir

Napas Erin memburu. Dada gadis tujuh belas tahun itu kembang kempis menampung seluruh oksigen yang dihirup dengan rakus. Sepasang kaki kecilnya terus dipacu demi menghindari lima pria bertubuh kekar yang mengejarnya seakan tidak mengenal lelah.

Siang ini pasar tempat ia biasa memulung botol dan plastik bekas tampak ramai. Hanya satu dua kios saja yang tutup. Selebihnya buka dengan antrian yang tidak sepadat biasanya.

Gadis berambut kuncir ekor kuda itu terus berlari dengan lincah. Meliuk ke kanan dan kiri menghindari orang berlalu lalang di jalanan yang sama supaya tidak bertubrukan. Sesekali kepala si gadis manis bertubuh kerempeng itu menoleh ke belakang. Memastikan posisi para penguntit yang masih setia mengejarnya.

Kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah bagi pengunjung pasar. Tidak hanya Erin, puluhan orang lainnya pun pernah mengalami hal yang sama. Penyebabnya hanya satu; berhutang pada Rentenir Sanjaya tetapi tidak mampu melunasi.

Semua orang di wilayah tersebut paham betul reputasi si kakek 65 tahun itu; rentenir kaya raya yang bengis dan tidak mengenal ampun. Lebih baik mencari aman, ketimbang berurusan dengan para algojo pengabdi Kakek Sanjaya.

Beruntung, sebuah persimpangan di ujung jalan sedikit memberi kesempatan kepada Erin untuk mengulur waktu. Tanpa berpikir panjang, sepasang kakinya diarahkan ke sebuah warung makan yang ramai pengunjung.

Dengan hati bergemuruh, Erin menyembunyikan diri di balik tembok samping warung makan yang tertutup terpal biru tua. Tubuhnya yang mungil membuat ia mudah berdiri di celah sempit antara tembok dengan terpal.

Keringat dingin membanjir di sekujur tubuhnya membuat kaus yang ia pakai menjadi lepek dan berbau apak. Erin tidak peduli. Pikirannya terlalu fokus pada para pria kekar yang mengejarnya.

Sejurus kemudian, kelima pengejar itu berhenti tepat di persimpangan jalan. Meski sempat kesal karena kehilangan jejak Erin, mereka tidak habis akal. Tanpa membuang waktu Jay, pemimpin kelompok kecil itu, langsung memberi perintah.

“Kalian bertiga ke sana. Gua sama Roni ke kiri. Tangkap bocah itu hidup-hidup!” ucap Jay sembari memberi hand sign.

Tanpa menjawab, ketiganya gegas berlari menuju ke arah sesuai perintah. Begitu juga dengan Jay dan Roni yang sigap mempercepat langkah demi menyergap gadis buruan.

Erin membeku. Degup jantung seakan berlomba hendak mendobrak dada gadis itu kala Jay dan Roni berdiri tepat di samping terpal warung makan tempatnya bersembunyi. Mata gadis belia itu terpejam, pasrah.

“Hmp!” Mendadak napas Erin tercekat bersamaan dengan itu, sepasang mata bulatnya membeliak karena terkejut setengah mati. Sebuah telapak tangan yang dingin tetapi lembut membekap mulut gadis tersebut.

“Sstt! Jangan berteriak atau mereka akan tau kalau kamu sembunyi di sini.” Suara perempuan. Erin coba mengingat, bukankah penguntit tadi semuanya laki-laki?

Tidak ingin membuang waktu, gadis malang itu mengangguk cepat berharap bekapan yang membuat dirinya merasa tidak nyaman itu segera terlepas.

Takut-takut ia melirik ke belakang usai tangan dingin itu ditarik pemiliknya. Bukan wajah mengerikan yang didapati melainkan seorang wanita bercadar dan berpakaian serba hitam yang ia tebak sedang tersenyum padanya karena sepasang netra itu melengkung indah.

Erin mengerjap, menetralkan deru napas dan pikirannya yang kalut. Belum habis rasa terkejutnya, wanita bercadar hitam itu mencengkeram lengannya lalu menarik gadis itu pergi dari sana.

Mereka tidak berlari. Melainkan hanya berjalan dengan cepat agar tidak menarik perhatian orang di sekitarnya. Si wanita membawa Erin keluar dari pasar menyusuri jalanan rusak di pinggir sawah. Kanan kiri jalan itu dipenuhi sampah yang dikerumuni lalat hijau.

Bau sampah basah memenuhi rongga penciuman Erin. Karena sudah terbiasa, tidak ada keluh terlontar dari bibir tipisnya. Ia terus mengikuti ke mana si wanita membawanya. Sampai di depan sebuah gang kecil mendadak langkah Erin terhenti.

“Tunggu!” Erin menyentak lengan kurusnya hingga terlepas dari genggaman si wanita bercadar. “Kamu ini siapa? Aku memang lagi sembunyi dari algojonya Sanjaya, tapi bukan berarti kamu bisa bawa aku seenaknya!” Mata Erin nyalang memindai tempat asing itu. “Di mana ini?”

“Tempat yang aman buatmu, buat kita.” Lembut. Erin merasa nyaman mendengar suara wanita yang bahkan ia tidak tahu namanya itu.

“Kamu juga sedang lari dari kakek tua itu?”

“Sebaiknya kita lanjut jalan dulu, yuk. Ngobrolnya nanti setelah sampai rumah.”

“Rumah?”

Si wanita bercadar enggan menjawab. Kali ini ia tidak menarik paksa lengan Erin. Dibiarkannya gadis itu menentukan pilihannya sendiri. Mau tidak mau Erin mengikuti langkah wanita bercadar yang berjalan dengan cepat. Hingga mereka berhenti di depan bangunan rumah kecil berwarna hijau pastel. Sebuah pekarangan sempit tetapi terawat dengan baik menyambut keduanya.

“Ayo masuk,” ajak si wanita bercadar usai membuka pintu depan. “Rumahnya kecil tapi Ibu yakin kamu akan betah tinggal di sini," ucapnya ramah sembari menggenggam jemari Erin yang terpaku.

“Ibu?”

“Iya. Orang-orang memanggil saya Ibu Mela. Kamu cukup panggil Ibu aja.”

Sekali lagi Erin mengerjap. Bukan karena terkejut, melainkan kali ini ia berusaha keras menghalau bulir hangat yang mulai berarak di sudut mata. Ada yang berdenyut di dadanya. Dua tahun sudah ia menahan rindu pada sosok berjuluk ibu. Sangat menyakitkan ketika gejolak rasa itu mesti ditekannya dalam-dalam karena wanita yang dirindui telah berkalang tanah. Kembali ke pelukan Sang Pencipta.

“Duduklah, Nak. Ibu ambilkan air putih. Ibu juga haus abis lari-larian tadi,” gurau Mela seolah ingin mencairkan suasana.

Erin hanya terdiam sembari menunduk. Sejurus kemudian, Mela datang dari arah dapur membawa sebuah nampan berisi dua gelas air putih dan sepiring kue gemblong. Ia letakkan semua di atas meja di hadapan Erin.

“Ayo minum dulu. Sambil dimakan kuenya. Buat ganjal lapar.”

“Bu.”

“Iya.”

“Kita baru kenal tapi Ibu baik banget sama aku.”

Mela tersenyum di balik cadarnya. “Siapa bilang kita baru kenal?”

Pertanyaan Mela membuat Erin mengerutkan dahi.

Mela meraih jemari Erin lalu menggenggamnya hangat. “Kamu itu sudah lama jadi pembicaraan orang-orang di pasar. Sebenarnya mereka kasihan sama kamu tapi nggak berani melawan anak buah Sanjaya.”

Dahi Erin kian mengkerut hingga alis tebalnya nyaris bertaut. “Maksud Ibu?”

“Nama kamu Erin, ‘kan?” Mela menggeser duduknya mendekati Erin lalu meraih gadis itu ke dalam dekapan. “Orang tuamu dulu berdagang di pasar itu. Karena kekurangan modal jadi berhutang sama Sanjaya. Sayangnya, ketika rentenir jahat itu memintamu sebagai jaminan, ayahmu tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya."

Gerak tubuh Erin yang semula rikuh, kini mendekap erat Mela tanpa malu-malu. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Diluapkannya seluruh perasaan lewat tangis. Duka kehilangan kedua orang tua dua tahun lalu yang terus ditutup rapat akhirnya tumpah ruah. Begitu juga dengan rasa kecewa atas keputusan sang ayah yang begitu mudah menjaminkan dirinya ke Sanjaya.

“Maaf, dulu Ibu nggak bisa berbuat banyak untuk bantu kalian.” Lirih Mela berbisik tepat di telinga Erin yang tergugu.

Luka yang dipendamnya sangat dalam itu kini kembali menganga. Kenangan ketika sang ayah dipukuli beramai-ramai oleh centeng Sanjaya menari-nari di kepala Erin.

***

“Ampun, Kang. Saya sudah nggak punya uang lagi. Sungguh,” rintih ayah Erin sembari memeluk erat kaki salah satu dari empat centeng Sanjaya yang sore itu datang ke rumah mereka untuk menagih hutang.

Alih-alih memberi ampunan, centeng bertato naga di pangkal lengan itu malah mengibaskan kakinya hingga pelukan ayah Erin terlepas. Kemudian dengan cepat ia menyarangkan sebuah tendangan keras ke pinggang lelaki yang sudah dipenuhi luka itu.

Tak ayal, tubuh ayah Erin seketika terpelanting menabrak tumpukan bata merah yang ada di dekatnya. Cairan merah kental berangsur mengalir dari kepala belakang serta hidung lelaki malang itu.

Sang ibu yang kedua tangannya dicengkeram erat oleh centeng lainnya hanya bisa menjerit histeris. Air mata serta keringat sudah tidak bisa dibedakan lagi. Wajah wanita itu merah padam menahan kepedihan juga amarah secara bersamaan.

Sedangkan Erin yang bersembunyi di balik tembok tetangga, mengintip takut-takut sembari membekap mulutnya sangat erat. Meski begitu, tak urung sebuah jeritan tertahan keluar dari bibir kecilnya. Membuat salah seorang centeng menoleh lalu memburunya yang lari kocar kacir menyelinap di antara rapatnya rumah tetangga, persis seperti yang diajarkan sang ayah beberapa waktu lalu.

***

Wajah Erin menegang hingga sebuah sentuhan pelan membuyarkan lamunannya. Gadis itu melepas dekapan dari tubuh Mela. Ia usap kasar jejak air mata di pipi menggunakan punggung tangan.

“Mandi dulu, gih. Setelah itu salat Magrib,” ucap Mela lirih.

Tidak ada yang bisa dilakukan Erin selain menggangguk menuruti perkataan lembut bernada memerintah itu. Ia memang butuh tempat untuk menumpahkan seluruh keluh kesah. Tempat untuk mengadu.

***

Sementara itu di luar, sekitar empat meter dari pekarangan, tampak seorang pria muda berdada bidang tengah berdiri mengamati rumah mungil itu sembari memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.

Wajah tampannya yang minus ekspresi semakin terlihat mengerikan ketika sebuah seringai tipis terulas di bibirnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status