“Aduh, Erin! Kamu masukin apa ke adonan ini?” Mela berkacak pinggang seraya menatap tidak percaya pada sebaskom adonan tepung untuk membuat rempeyek kacang yang sudah berubah warna menjadi sedikit kemerahan. Beruntung potongan-potongan kacang tanah belum tercampur di dalamnya.
Erin yang sedang mengaduk adonan itu gelagapan sembari menghentikan gerakan tangannya. Rupanya si gadis manis tengah melamun. Matanya nanar menatap sebaskom cairan kental di hadapannya.
“Loh, kok jadi agak pink?” lirihnya.
“Itu yang dari tadi Ibu tanyain. Kenapa adonan rempeyek kacang kamu bisa berubah warna begitu? Kamu masukin apa tadi?”
Erin mendongak, menatap Mela dengan wajah tanpa dosa. Tiba-tiba mata Mela membeliak lebar membuat Erin ketakutan.
“Ma—maaf, Bu. Aku nggak tau kenapa bisa merah begitu,” ucapnya terbata.
Mela menarik kursi di samping Erin dengan kasar. “Kamu diam di situ!” perintahnya sembari meraih dua lembar tisu. Kemudian menarik dagu Erin ke atas.
Erin yang terlanjur ketakutan, memejamkan mata. “Ampun, Bu.”
“Untuk apa minta ampun, Nak? Untuk darah yang keluar dari hidungmu?” Lembut Mela membersihkan cairan merah di ujung hidung Erin. “Kamu baik-baik aja, Sayang?”
“Darah?” Tiba-tiba kepala Erin terasa berat.
“Apa yang membebani pikiranmu?” tanya Mela usai memastikan tidak ada lagi bercak darah pada wajah gadis di depannya. “Kamu nggak sendirian sekarang. Kamu bisa berbagi semua hal sama Ibu.”
“Aku baik-baik aja, Bu.”
Mela maklum, rupanya Erin masih belum mau membuka hati. “Alhamdulillah kalau gitu. Sudah salat Subuh?” tanya wanita bercadar itu mengalihkan pembicaraan ketika dilihatnya Erin merasa tidak nyaman dengan obrolan mereka.
“Udah, Bu.”
Untuk beberapa saat lamanya, Mela menatap lekat wajah perempuan belia tersebut. Diusapnya perlahan rambut hitam gadis itu. Mela merasa hatinya berdegup kencang.
“Seandainya anak Ibu masih hidup, sekarang pasti udah sebesar kamu. Mungkin lebih tua tiga atau empat tahun darimu, tapi Ibu yakin kalian pasti akan menjadi teman baik.”
Erin melengkungkan bibir dengan sedikit paksaan. Rasanya sudah lama sejak terakhir kali ia tersenyum hingga gadis itu lupa bagaimana cara melakukan hal tersebut dengan tulus.
“Jadi Ibu punya anak? Laki-laki atau perempuan?”
Mela hanya menghela napas berat sebagai jawaban. Diusapnya ujung mata menggunakan jari jemari yang mulai keriput. Wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya sembari bersiap mengangkat adonan rempeyek kacang yang sudah tercampur noda.
“Mau dibawa ke mana, Bu? Sini biar aku aja.” Sigap Gadis tujuh belas tahun itu berdiri lalu mengangkat baskom adonan. “Dibuang aja ya, Bu. Udah kotor.”
Mela mengangguk. “Buang aja ke saluran air kamar mandi. Di situ pipanya lebih besar. Kalau ke wastafel khawatir mampet. Jangan lupa siram air yang banyak, ya.”
“Siap.” Erin menjawab sambil melangkah ke kamar mandi.
***
Jam besar yang menempel di dinding ruang tamu menunjuk angka tujuh tepat. Erin bersiap menenteng satu keranjang belanjaan besar di tangan kirinya berisi puluhan bungkus rempeyek kacang buatan Mela. Sedang tangan lainnya membawa satu plastik hitam dengan isi yang sama.
“Beneran nggak kerepotan, Rin? Kurangin aja, ya? Biar nanti sisanya Ibu bawa ke warung langganan di ujug jalan sana.” Mela menatap khawatir pada Erin. Tubuh mungil gadis itu seolah tenggelam oleh keranjang yang dibawanya.
Namun, bukan Erin namanya kalau mengeluh. Dengan susah payah diacungkan kedua jempol tangannya seraya tertawa dan berseru, “Aman, Bu!”
Ada yang berbeda dengannya. Sejak pagi tadi Erin banyak tersenyum dan tertawa hingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan baru baginya.
Usai saling berbalas salam, Erin berjalan dengan langkah panjang meninggalkan pekarangan teduh itu. Rambut kuncir kudanya bergoyang seiring gerak tubuhnya. Ia tidak ingin kesiangan di hari pertama berjualan rempeyek kacang berlogo bunga melati kecil yang di-klip pada bagian atas pembungkusnya.
Gadis itu menaruh harapan harapan besar pada setiap bungkus rempeyek kacang itu. Sebab, terdapat haknya sebesar dua puluh persen di sana.
“Aduh!” Erin mengelus kepala dengan mimik muka kesal. Sebuah kaleng kosong bekas minuman bersoda jatuh di kakinya bersamaan dengan kepala yang terasa berdenyut.
Diambilnya kaleng warna hijau itu sembari memindai ke sekitar. Erin terkejut bukan main ketika tatapannya bersirobok dengan sepasang mata garang kemerahan milik Jay, centeng Sanjaya yang memburunya kemarin.
“Sial!” Erin bersiap mengambil langkah seribu tetapi sayang, lengannya lebih dulu ditarik si pemilik mata merah yang mendekatinya dengan cepat.
“Ha! Kena lu sekarang. Mau kabur ke mana lagi, hah?!”
Erin berusaha keras menarik lengannya. Namun, keranjang penuh rempeyek kacang itu mempersulit gerakannya.
“Ampun, Bang. Lepasin tanganku, aku janji nggak akan kabur.”
“Emangnya gua keledai?”
“Lah, siapa yang bilang Abang keledai?”
Jay menoyor kepala Erin keras. “Bukan keledai itu, Bocah!”
“Memang ada keledai lainnya, Bang?” sahut Erin melongo.
“Ah! Susah ngomong sama bocah yang kepalanya kosong. Udah jangan banyak cakap. Ikut!” Jay menyeret Erin yang terus meronta.
Alhasil keranjang dan plastik hitam berisi rempeyek kacang terjatuh dari genggaman. Semua isinya tumpah berserakan. Beberapa bungkus bahkan sempat terinjak kaki Erin.
“Bang, ayolah jangan begini. Kita bisa bicara baik-baik.” Erin menekan suaranya yang bergetar.
Tanpa menghiraukan racauan Erin, Jay terus menyeret gadis itu di sepanjang jalan menuju rumah Sanjaya. Orang-orang yang melihat tidak cukup bernyali untuk membantu. Mereka memilih diam seraya membutakan mata.
Beberapa meter di belakang mereka, Zafran membungkuk meraih sebungkus rempeyek kacang yang hancur. Diamatinya dengan lekat camilan yang sudah menjadi remahan itu.
Sejurus kemudian, seorang lelaki bertubuh tak kalah tegap menghampirinya dari belakang. “Bro?”
“Kejar mereka, Martin. Aku mau bicara sama gadis itu.”
Martin hanya mengangguk sebagai jawaban. Entah apa yang dilakukannya, hingga tidak lebih dari sepuluh menit ia telah kembali bersama Erin yang berjalan di sampingnya sembari memegangi siku yang berdarah.
Usai mengantar si gadis sampai ke hadapan Zafran, Martin mengangguk sekali lalu pergi menjauh.
Erin mendongak menatap jauh ke sepasang mata elang milik lelaki di depannya. Rasa penasarannya membuncah. Baru kali ini ada orang berani melawan anak buah Sanjaya. “Kamu siapa?”
“Kamu sendiri siapa?” Zafran balik bertanya sembari melirik darah di siku Erin. Ia sungguh tidak habis pikir, gadis bertubuh kerempeng seperti dia berani berurusan dengan anak buah kakeknya.
Erin mengamati lelaki itu dari atas sampai bawah. Penampilannya cukup sederhana. Kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku serta celana jeans belel yang robek di bagian lutut kanan. Wangi parfum lembut khas pria menyapa indra penciumannya. Sampai di sini, Erin masih belum bisa menebak siapa orang yang berdiri mematung tanpa ekspresi di depannya.
“Aku tanya kamu siapa? Jawab aja, jangan malah balik nanya!” gertak Erin pura-pura kesal untuk menyembunyikan debaran di hatinya. Ia tak bisa memungkiri kenyataan bahwa lelaki itu sangat tampan.
Zafran menggoyang tangan yang terangkat sambil memegang sebungkus rempeyek kacang. Belum sempat lelaki itu membuka mulut untuk bicara, Erin sudah memotongnya dengan cepat.
“Oh, kamu mau beli rempeyek kacang? Boleh. Mau berapa? Nanti aku ambilin yang baru di rumah. Itu yang kamu pegang udah nggak layak dimakan.”
Tanpa menjeda kalimatnya, gadis itu mulai berpromosi. “Nggak cuma rempeyek kacang tanah, di rumah ada rempeyek kacang ijo sama produk baru kami; keripik tempe. Semua dijamin enak-enak. Jadi mau beli yang mana? Nggak mahal kok cuma lima ribuan aja sebungkus.”
“Kamu cerewet banget!” ketus Zafran lirih. “Nggak bisa diam sebentar lalu dengerin aku bicara?”
Erin mengerjap terkejut. “Loh, salahnya aku di mana? ‘Kan kamu nunjukin rempeyek kacang yang udah hancur jadi aku tawarin yang baru. Kalau nggak mau beli, ngapain tunjukin itu? Aku juga tau kali, kalau rempeyek punyaku itu udah hancur.”
Zafran membuang napas kasar. “Siapa yang bikin rempeyek ini?”
Erin menatap penuh selidik. “Ngapain nanya itu? Kepo, ya?”
“Jangan main-main. Jawab aja pertanyaanku.”
“Kalau aku nggak mau?”
Zafran menatap tajam gadis yang tingginya ditaksir tidak lebih dari 155 sentimeter itu.
"Tubuhmu sangat kecil aku bisa melakukan apa aja sama kamu.” Pria itu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badan mereka, kemudian berbisik tepat di telinga Erin. “Aku juga bisa dengan mudah mengembalikan kamu pada lelaki yang menyeretmu tadi.”
***
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
“Selamat pagi.”Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.“Gio.”“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.“Tadi kamu
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Selamat pagi, Tuan Zafran.”Seorang ART mengangguk penuh hormat pada tuan muda yang tengah menuruni anak tangga dengan malas. Penampilan Zafran pagi ini terlihat tak seperti biasa; rambut acak-acakan dengan lingkar mata panda tipis menghiasi wajah tampan itu. Meski begitu, satu hal yang masih tetap sama; tubuhnya wangi maskulin.“Hem,” jawab Zafran singkat. Kepalanya masih terasa berat akibat hanya terlelap tidak lebih dari dua jam.Sepasang kaki pria itu melangkah santai menuju ruang makan di mana kakek dan abangnya sudah menunggu.“Morning, Zaf,” sapa Gio sinis, seperti biasa. “Kupikir udah nggak ingat rumah lagi,” sindirnya. “Rupanya wanita-wanita malam itu masih membiarkanmu pulang.”“Hus! Masih pagi, jangan ribut-ribut.” Sanjaya menegur cucu sulu ngnya dengan suara serak khas lelaki tua itu. "Kalau mau bikin keributan, di pasar aja sana!""Bikin keributan di pasar
“Tunggu!” Zafran menyantuh lembut lengan kanan Erin ketika dilihatnya gadis itu bersiap turun dari mobil. “Kamu yakin mau pulang sendiri?”Zafran menatap sekeliling tempat dirinya menghentikan mobil. Sebuah gapura kecil dengan jalan setapak—yang hanya cukup untuk berjalan kaki dua orang berjajar ke samping—terlihat di sana. Gelap, seiring malam yang kian larut. Pun tanpa penerangan cukup. Bangunan rumah semi permanen saling berdesakan di kiri kanan jalan setapak tersebut.Beberapa pemuda bermain gitar tidak jauh dari tempat Zafran dan Erin berada sekarang. Suara nanyian mereka yang terdengar sumbang ditingkahi gelak tawa mengisi malam.Zafran mematikan mesin mobil. “Aku antar aja.”“Nggak perlu, Zafran. Aku baik-baik aja.”“Tempat ini terlalu gelap.”“Ini rumahku. Percayalah aku nggak akan kenapa-kenapa.” Erin tersenyum mendapati semburat kekhawatiran di mata