“Selamat pagi.”
Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.
“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”
Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.
Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.
“Gio.”
“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.
“Tadi kamu
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
Napas Erin memburu. Dada gadis tujuh belas tahun itu kembang kempis menampung seluruh oksigen yang dihirup dengan rakus. Sepasang kaki kecilnya terus dipacu demi menghindari lima pria bertubuh kekar yang mengejarnya seakan tidak mengenal lelah.Siang ini pasar tempat ia biasa memulung botol dan plastik bekas tampak ramai. Hanya satu dua kios saja yang tutup. Selebihnya buka dengan antrian yang tidak sepadat biasanya.Gadis berambut kuncir ekor kuda itu terus berlari dengan lincah. Meliuk ke kanan dan kiri menghindari orang berlalu lalang di jalanan yang sama supaya tidak bertubrukan. Sesekali kepala si gadis manis bertubuh kerempeng itu menoleh ke belakang. Memastikan posisi para penguntit yang masih setia mengejarnya.Kejadian seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah bagi pengunjung pasar. Tidak hanya Erin, puluhan orang lainnya pun pernah mengalami hal yang sama. Penyebabnya hanya satu; berhutang pada Rentenir Sanjaya tetapi tidak mampu melunasi.Se
“Aduh, Erin! Kamu masukin apa ke adonan ini?” Mela berkacak pinggang seraya menatap tidak percaya pada sebaskom adonan tepung untuk membuat rempeyek kacang yang sudah berubah warna menjadi sedikit kemerahan. Beruntung potongan-potongan kacang tanah belum tercampur di dalamnya.Erin yang sedang mengaduk adonan itu gelagapan sembari menghentikan gerakan tangannya. Rupanya si gadis manis tengah melamun. Matanya nanar menatap sebaskom cairan kental di hadapannya.“Loh, kok jadi agak pink?” lirihnya.“Itu yang dari tadi Ibu tanyain. Kenapa adonan rempeyek kacang kamu bisa berubah warna begitu? Kamu masukin apa tadi?”Erin mendongak, menatap Mela dengan wajah tanpa dosa. Tiba-tiba mata Mela membeliak lebar membuat Erin ketakutan.“Ma—maaf, Bu. Aku nggak tau kenapa bisa merah begitu,” ucapnya terbata.Mela menarik kursi di samping Erin dengan kasar. “Kamu diam di situ!” perintahnya s
“Beraninya cuma ngancem cewek. Mana badannya lebih kecil pula!”Erin menggulung lengan kausnya sebatas pundak, bersiap nenantang pria tampan di depannya untuk berkelahi. Kaki kanan ditarik ke belakang sementara kaki yang lain menekan tanah dengan kuat selayaknya membuat kuda-kuda.Si pria menggeleng pelan seraya menyeringai tipis. Sesekali diusapnya kasar ujung hidung bangirnya sekadar menahan tawa. Tidak tahan dengan tingkah Erin, akhirnya ia mengibaskan tangan kanan kemudian berbalik lalu beranjak pergi.“Hei! Mau ke mana kamu? Main kabur aja. Tadi ngancem-ngancem, sekarang takut. Dasar ayam sayur!”Zafran abai. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan teriakan si gadis berambut ekor kuda. Diembusnya napas berat setelah duduk dengan nyaman di balik kemudi mobil hitam metalik miliknya. Isi kepala lelaki itu dipenuhi gambar bunga melati yang tercetak hitam putih di bungkus rempeyek kacang Erin.Nyeri kembali menyeruak, memenuhi
“Mbak.”Tiba-tiba saja Zafran sudah berdiri di belakang Mbak Puji sambil mengucek matanya menggunakan sebelah tangan. Meski lirih dan serak, suara bocah lima tahun itu mampu membuat Mbak Puji yang tengah mengintip Sanjaya dari balik pintu besar, sport jantung. Untuk sesaat wajah wanita itu memucat.“Astagfirullah, Aden! Bikin Mbak kaget aja.” Mbak Puji mengurut dada, menetralkan debar jantung yang tidak beraturan. “Aden ngapain di sini?”Zafran tak menjawab. Sepasang mata kecilnya tidak berkedip menatap lurus ke depan di mana sebuah jasad manusia teronggok di bawah kaki sang kakek yang dengan santai menyulut sebatang cerutu lalu mengembuskan asapnya dengan rasa puas.Buru-buru Mbak Puji memasang badan untuk menutupi pemandangan yang dilihat Zafran. Wanita itu membungkuk, lalu berbisik. “Ayo kita kembali ke kamar.”“Untuk apa ke kamar? Bukankah di sini udaranya jauh lebih segar ketimbang di dalam
Sepasang mata lebam, darah mengalir di sudut bibir yang pecah, kaki yang sudah tidak bisa lagi menopang tubuh kurus itu. Zafran memindai keadaan Karyo yang terduduk lemas di sudut ruang tengah. Isi kepala bocah lima tahun tersebut sulit ditebak karena ekspresinya sangat datar. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut kecilnya.Untuk sesaat, Karyo bisa bernapas lega karena tiga tukang jagal itu berhenti memukulinya ketika Zafran dan Sanjaya masuk ruangan tersebut.“Bos.” Ketiganya bersamaan menyapa sang juragan.Sanjaya menoleh ke arah Zafran yang mematung di sampingnya. “Mau latihan mukulin orang?”Anak lelaki itu tidak menjawab. Sepasang matanya lekat menatap mata sayu Karyo yang seolah memohon ampunan.Lama menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari mulut cucunya, si kakek melambaikan tangan kirinya sebagai perintah agar ketiga tukang pukul itu melanjutkan aksi mereka.“Ayo kita duduk di sofa sa
Tubuh Zafran menggigil hebat. Matanya masih terpejam ketika keringat dingin mengucur deras dari pelipis. Bibir bocah lima tahun itu memutih.“Ibu,” rintihnya. “Aku mau pulang.”Seorang wanita asisten rumah tangga yang bertugas menjaga Zafran di kamarnya, tergopoh mendekat. Ia panik. Berjalan ke sana kemari tanpa tahu apa yang harus dilakukan.“Ibu.” Untuk kesekian kalinya rintihan lolos dari mulut Zafran kecil.Rindu, benci dan amarah bercampur dalam dadanya yang berdebar kencang menunggu untuk segera diledakkan. Membuatnya terlihat sangat kesakitan.Tiba-tiba saja, Zafran terbangun dari tidurnya. Tubuh kurus itu menegang sejenak lalu memuntahkan seluruh isi perutnya di sisi kanan ranjang.“Den Zafran!” Si ART berteriak ketakutan melihat majikan kecilnya muntah tanpa henti. Terakhir, bukan makanan yang keluar, melainkan darah segar melalui mulut dan hidungnya.Bukannya mengurusi Zafran,
Jantung Zafran berdenyut jauh lebih kencang. Di balik kemudi, pria 25 tahun itu mengerang kesakitan. Seluruh kenangan pahit yang menari di kepala membuatnya kembali terluka.“Aaargh!”Di luar, Erin mengetuk-ngetuk kaca pintu di sebelah Zafran seraya berusaha melongok ke dalam. Pandangannya terhalang kaca mobil yang gelap.Zafran yang memang membutuhkan bantuan, melirik ke Erin. Jemarinya berusaha menekan tombol pembuka pintu otomatis. Namun, yang diterkan malah tombol menurunkan kaca pintu.“Kamu ….” Erin mengerjap mendapati Zafran tengah kesakitan. “Kenap—pa?”Kalimat Erin terbata akibat Zafran menarik bagian leher kausnya hingga wajah gadis itu nyaris menempel pada Zafran.“Eh, apa ini?”“T—tolong.”Erin menarik tubuhnya dengan kasar. “Jangan kurang ajar kamu! Urusan kita yang tadi aja belum selesai, udah mau cari gara-gara lagi!”