Share

Bab 3

"Azka, sepertinya sekarang juga kamu harus menikahi anak saya."

Perkataan Zoni itu pun sontak membuat Azka melotot. Begitu pun dengan Zia yang tidak menyangka, sang ayah akan memutuskan suatu hal yang berkaitan dengannya, tanpa meminta pendapatnya lebih dulu.

Entah apa yang dibisikkan oleh ibu Zia kepada suaminya tadi, hingga tiba-tiba tercetus perintah kepada Azka untuk menikahi Zia. Azka semakin geram saja pada ibu Zia itu.

"Kenapa saya harus menikahi putri Anda, Pak? Saya sudah jelaskan berulang kali tadi, bahwa saya tidak melakukan apa-apa pada putri Anda, meskipun kami tidur di ranjang yang sama," ujar Azka.

"Iya, Pah, Papah kok tiba-tiba malah nyuruh tuan Azka buatin nikahin aku sih? Kita beneran nggak ngapa-ngapain, ya ampuuun ... kenapa sih, Papah sama Mamah dari tadi nggak percaya," timpal Zia

"Ini semua demi kebaikan kamu, Zia," ketus ibunya Zia, sambil melotot ke arah Zia, lalu beralih menatap Azka dengan tajam. "Dan kamu, Azka! Sekali pun kamu tidak macam-macam dengan Zia, tetap saja kamu sudah tidur satu ranjang dengannya. Kalau pun kamu mau memberitahu semua orang di dunia ini, bahwa kamu tidak macam-macam, pasti orang-orang tidak akan percaya. Logikanya, mana ada kucing yang menyia-nyiakan ikan asin yang disodorkan kepadanya."

Kedua tangan Azka sudah terkepal. Si*l sekali pagi ini baginya. Sudah bangun tidur karena teriakan wanita yang tidak dikenalinya, sekarang disidang, dan ditambah lagi disuruh untuk menikahi wanita itu.

"Pokoknya saya tidak mau tau, Azka, kamu harus segera menikah dengan anak saya hari ini juga. Saya tidak mau nama baik keluarga saya tercemar dengan skandal ini," tuntut Zoni.

"Pah, ini tuh bukan skandal, ini murni kesalahpahaman, Pah," sanggah Zia.

"Diam kamu, Zia! Kamu semalam mabuk, jadi kamu pasti nggak tau apa yang sudah dilakukan Azka pada kamu," tangkas ibunya Zia, yang membuat Zia mendesah frustasi.

Azka memijit keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Berada di kamar hotel dengan orang-orang asing yang terus memojokkannya ini sungguh membuatnya hampir gila.

"Saya tidak mau," ucap Azka. "Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa saya sudah meniduri Zia, dalam kata lain berhubungan intim. Jadi saya tidak akan menikahi Zia. Sebagai gantinya, saya akan memberikan kalian kompensasi sebesar seratus juta."

Azka berpikir, mungkin saja dua orang paruh baya di hadapannya ini sebenarnya ingin memerasnya, tapi seakan-akan mereka menuntutnya untuk menikahi Zia. Jadi, Azka memilih menawarkan kompensasi lebih dulu.

"Saya tidak butuh uang kamu," tolak Zoni. "Saya hanya ingin kamu Menikahi Zia."

"Dikiranya keluarga kami orang miskin, sampai mau menerima kompensasi dari kamu? Kalau pun ratusan triliun kamu berikan untuk kami, kami tidak akan menerimanya. Kami hanya ingin kamu menikahi Zia, titik!" ujar ibunya Zia. "Kalau kamu tetap tidak mau menikahi Zia, maka kami akan laporkan kamu pada polisi dengan tuduhan pemer*****n."

Azka sontak melotot. Baru kali ini ada orang yang berani mengancamnya, apalagi seorang perempuan paruh baya.

"Mah, jangan gitu dong, tuan Azka nggak bersalah." Zia merasa kasihan dengan Azka yang terus saja dipojokkan oleh kedua orang tuanya.

Ibunya Zia tak menghiraukan perkataan Zia. Sebaliknya, dia terus menatap tajam Azka, lalu menoleh ke arah suaminya. "Telfon polisi sekarang, Pah."

Zoni pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, sebelum ia menghubungi polisi, ia menatap Azka lebih dulu, kemudian berkata, "pilihan kamu hanya dua, Azka. Menikahi Zia, atau saya laporkan ke polisi? Kamu pun tidak akan dengan mudah bisa bebas, meski keluarga kamu nantinya memberi jaminan."

Azka memejamkan mata, lalu menghela napas. Ini sungguh pilihan yang sulit. Menikahi wanita yang tidak dicintainya tentu berat baginya. Di pernikahan pertamanya dulu saja ia tidak bahagia, dan berakhir dengan perceraian, meski ia, dan mantan istrinya dulu saling mencintai. Namun, jika Azka tidak mau menikahi Zia, dan dilaporkan ke polisi, apalagi sampai berakhir di penjara, tentu reputasinya akan hancur, terlebih sekarang Azka adalah pemimpin sebuah perusahaan besar di Yogyakarta.

Zia yang melihat Azka yang seperti tertekan pun bertambah kasihan kepadanya.

"Kalian nggak bisa laporin tuan Azka ke polisi, Pah, Mah, karena kalian nggak punya bukti. Satu-satunya bukti adalah aku yang harus divisum. Dan aku yakin, hasil visum itu tidak akan menunjukkan bahwa aku habis diapa-apain sama tuan Azka," kata Zia.

Gea yang berdiri di samping Zia pun tidak menyangka jika kakaknya itu masih berani mendebat keputusan orang tua mereka.

Sedangkan ibunya Zia tersenyum miring. "Polisi rekan Papah kamu itu banyak, Zia. Tanpa bukti pun, Papah kamu tetap bisa menjebloskan Azka ke penjara."

Zia terdiam.

Sementara Azka, dirinya pun sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bagaimana pun dia mencoba membela diri, tetap saja tidak akan dipercaya.

"Bagaimana, Azka? Nikahi anak saya, Zia, atau saya laporkan ke polisi?" Zoni kembali bertanya.

Menghela napas berat, Azka lantas memandang Zoni. "Baiklah, saya akan menikahi Zia."

Zia membelalakkan mata, tidak percaya dengan keputusan Azka. Memang Zia mengagumi ketampanan Azka, tapi bukan berarti dirinya mau menikah dengan laki-laki ini.

Lain halnya dengan Zia, ibunya Zia, dan Gea justru tersenyum penuh kemenangan.

=====

Zoni segera membawa Azka ke rumahnya yang berada di pinggiran kota, tak jauh dari lokasi hotel tadi.

Sebelum pulang, Zoni sempat memerintahkan para pekerja di rumahnya untuk mencari penghulu yang bisa menikahkan secara siri, serta lima orang tetangga yang bisa dijadikan sebagai saksi.

Biarlah Azka menikahi Zia secara siri terlebih dulu, daripada Zia sama sekali tidak dinikahi, begitu pikir Zoni.

Azka terperangah saat melihat rumah besar di depannya ini. Ternyata keluarga Zia adalah orang kaya. Pantas saja tidak mau menerima kompensasi darinya.

Rumah keluarga Azka di Yogyakarta memang besar, tapi tidak semewah rumah keluarga Zia ini. Namun, yang membuat Azka heran, jika keluarga Zia memang sekaya ini, kenapa ayah, dan ibu Zia memaksanya untuk menikahi Zia, padahal mereka tidak tahu latar belakang Azka. Biasanya orang kaya pasti menginginkan menantu yang jelas latar belakangnya, dan yang sederajat dengan mereka. Tidak asal pilih menantu, hanya gara-gara terpergok berada di kamar hotel yang sama.

Setelah turun dari mobil, Azka tidak lantas mengikuti Zoni yang kini tengah berjalan memasuki rumah. Azka masih berdiri di dekat mobil, hingga seorang laki-laki berpakaian serba hitam menghampirinya.

"Anda yang akan dinikahkan dengan nona Zia bukan?" tanya orang itu pada Azka, dan Azka hanya mengangguk. "Baiklah, mari ikut saya."

Tak mau banyak bertanya, Azka pun mengikuti orang itu yang mengantarnya memasuki rumah besar orang tua Zia. Azka menebak, laki-laki berpakaian serba hitam itu adalah anak buah Zoni.

Sementara itu, di kamar Gea, ia dan ibunya tengah tertawa penuh kemenangan.

"Mah, rencana kita berhasil," kata Gea dengan antusias.

"Iya, Sayang. Sebentar lagi Zia akan ikut suaminya, pergi dari rumah ini. Dan kamu satu-satunya yang akan jadi pewaris kekayaan papah kamu."

Ibu, dan anak itu pun kembali tertawa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
semoga jadi jodoh terakhir buat pak Azka n zia bs selamat dri bahaya gea n mama nya yg super jahat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status