Azka kini sudah duduk di sofa di kamar hotel tempatnya terbangun tadi, berhadapan dengan orang tua Zia. Sedangkan Zia berdiri di belakang orang tuanya berdampingan dengan Gea--adiknya.
Tak pernah sekalipun terbayangkan di benak Azka, bahwa dirinya akan berada di posisi seperti ini, disidang oleh orang tua seorang gadis yang bahkan tidak Azka kenal."Saya tidak tahu bagaimana bisa berakhir di kamar ini dengan putri Anda, Pak. Yang saya ingat, semalam saya menghadiri pesta pak Bram, dan meminum minuman yang diberikan oleh teman lama saya. Setelah itu, kepala saya menjadi pusing, dan mulai mengantuk. Entah setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin teman saya yang membawa saya ke sini." Azka menjelaskan apa yang diingatnya.Zoni--ayah Zia, tampak mengamati ekspresi Azka. Dari tutur katanya yang lancar, dan raut wajahnya yang tampak tenang, Zoni merasa sepertinya Azka memang tidak berbohong."Halah, alasan! Pemuda jaman sekarang mana ada yang mau ngaku kalau sudah hamilin anak gadis orang," cibir wanita paruh baya yang duduk di sebelah Zoni, yang diketahui sebagai ibu Zia.Azka sendiri menjadi heran dengan sikap wanita yang dipanggil 'mamah' oleh Zia itu. Biasanya seorang ibu akan menyangkal habis-habisan anaknya yang terpergok bersama laki-laki lain, tapi wanita yang satu ini tidak. Benarkah wanita paruh baya ini ibunya Zia?"Mah, tuan Azka nggak ngapa-ngapain aku kok semalem. Kita sama-sama mabuk, dan tidur nggak inget apa pun. Bangun-bangun kita juga kaget, kenapa bisa berdua." Zia menyela."Justru karena kalian sama-sama mabuk, makanya bisa jadi kalian berhubungan badan dengan keadaan tidak sadar," timpal ibunya Zia.Zia hanya menghela napas pasrah. Mau bagaimana pun menjelaskan, ibunya itu memang tidak pernah mempercayai ucapannya."Tapi kami terbangun dalam keadaan masih sama-sama mengenakan pakaian yang lengkap," tukas Azka."Nah, bener apa kata tuan Azka, Mah, Pah," kata Zia."Sudah, sudah, saya percaya denganmu, Azka. Akan tetapi, saya perlu bukti. Saya akan membawa Zia ke rumah sakit untuk visum," ujar Zoni, membuat Azka, dan Zia tampak lega.Bagi Zia, ayahnya ini memang selalu bijaksana. Zia pun tidak keberatan untuk melakukan visum, karena memang dirinya semalam merasa tidak melakukan apa-apa dengan Azka. Hanya kebetulan tidur di ranjang yang sama saja."Begitu lebih baik, Pak," balas Azka."Mamah nggak setuju, Pah. Hasil visum kan nggak bisa langsung kita dapatkan. Bagaimana nanti kalau laki-laki ini tiba-tiba menghilang, sebelum hasil visum itu keluar, dan dia tidak mau bertanggung jawab. Mau ditaruh di mana muka kita, Pah, kalau anak kita ada yang hamil di luar nikah," kata ibu Zia yang sekali lagi membuat Azka heran.Seorang ibu mana pun pasti tidak mau jika anaknya hamil di luar nikah, bahkan membayangkannya pun tidak sanggup, tapi ibu yang satu ini justru berbeda, dan malah memikirkan kemungkinan yang tidak-tidak."Mah, Mamah kok ngomong gitu sih? Aku nggak melakukan apa-apa sama tuan Azka ini, mana mungkin aku hamil," protes Zia."Ya bisa aja kan, Kak. Seperti yang mamah bilang tadi, bisa aja Kak Zia sama tuan Azka berhubungan intim dengan keadaan nggak sadar karena sama-sama mabuk. Temenku pernah punya pengalaman seperti Kak Zia, yang berhubungan badan, tapi bajunya masih dipake, dan dia akhirnya hamil," timpal Gea, yang sepertinya menambah kobaran api."Tapi, aku nggak seperti temen kamu, Gea!" elak Zia dengan geram.Zoni semakin pusing melihat perdebatan kedua anak perempuannya, pun dengan istrinya yang masih yakin, Zia tadi malam melakukan sesuatu di luar batas dengan Azka.Sementara itu, Azka merasa semakin sebal dengan ibu Zia serta adiknya. Bukannya percaya pada anak, dan kakak mereka, tapi mereka justru terus menyudutkan, seakan-akan mereka tahu tentang kejadian yang sebenarnya."Satu kemungkinannya adalah, saya, dan Zia dijebak, Pak," ucap Azka pada Zoni, yang sontak membuat ibu, dan adik Zia membelalakkan mata."Dijebak?""Iya, Pak. Soalnya, ini sangat janggal. Saya tidak mungkin berada di kamar ini, jika bukan teman saya yang membawa saya ke mari. Lalu, jika teman saya itu memesankan kamar ini untuk saya, kenapa bisa adiknya Zia memesankan kamar ini juga untuk Zia? Tidak mungkin petugas hotel menyewakan kamar yang sudah lebih dulu disewa bukan? Terkecuali jika ini jebakan yang sudah direncanakan oleh adiknya Zia, dan teman saya," tutur Azka.Gea yang seperti dituduh pun sontak kembali membelalakkan mata, dan ibu Zia yang tampaknya menatap aneh pada Gea. Begitu pula Zoni yang menatap Gea seperti meminta penjelasan."Itu nggak mungkin!" sangkal Gea. "Mana mungkin aku jebak kakak aku sendiri. Lagian pas aku nganterin kak Zia, laki-laki itu belum ada di kamar ini, Pah, Mah.""Nah, nggak mungkin Gea kayak gitu. Mungkin tadi malam Gea langsung pergi setelah mengantarkan Zia ke kamar ini, terus karena Zia yang lagi dalam keadaan mabuk, jadinya Zia lupa mengunci pintu, dan jadilah laki-laki ini masuk, lalu berbuat sesuatu pada Zia," timpal ibunya Zia."Saya tidak sebre***ek itu, Bu!" elak Azka. "Saya tidak mungkin meniduri wanita dengan sembarangan. Sudah saya jelaskan tadi, saya tadi malam pingsan setelah meminum minuman dari teman saya. Mana mungkin saya berbuat sesuatu pada Zia, di saat saya tidak sadarkan diri."Zoni semakin bingung sekarang, dan entah mau mempercayai siapa."Udahlah, Pah, Mah, kita nggak usah memperpanjang lagi, dan jangan menyalahkan tuan Azka. Kalau Mamah sama Papah perlu bukti, ayo kita ke rumah sakit sekarang, dan aku akan melakukan visum," ujar Zia."Kalau perlu, cek cctv di lorong hotel semalam, Pak," tambah Azka.Ibunya Zia memegang tangan suaminya. "Pah, meskipun nanti kita melakukan visum pada Zia, sebaiknya kita ambil langkah lain lebih dulu. Suruh laki-laki ini untuk menikahi Zia, Pah, sebelum orang-orang pada tahu kabar tidak mengenakkan ini.""Bener kata mamah, Pah. Suruh tuan Azka buat nikahi kak Zia, karena bagaimanapun juga, ini merugikan kak Zia," timpal Gea.Zia memejamkan matanya. Tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membela diri, sedangkan Azka semakin geram dengan ibunya Zia, dan Gea."Tidak ada pernikahan karena tidak ada yang saya lakukan pada Zia tadi malam, Bu!" tegas Azka, lalu beralih menatap Gea dengan tajam. "Kamu juga, jangan terus-terusan ikut memprovokasi!""Ibaratnya, mana ada maling yang mau ngaku sih?" sindir ibunya Zia. "Udahlah, Pah, nikahkan saja mereka, daripada keluarga kita menanggung malu akibat perbuatan Zia, dan laki-laki ini.""Mah, aku sama tuan Azka nggak ngapa-ngapain, Mah!" teriak Zia. Kesabarannya sudah mulai habis karena ibunya tak kunjung mempercayai.Ibunya Zia hanya mencebik, lalu seperti membisikkan sesuatu kepada suaminya.Zoni menatap Azka, lalu menghela napas, sebelum akhirnya berbicara. "Azka, sepertinya sekarang juga kamu harus menikahi anak saya."Perkataan Zoni itu pun sontak membuat Azka melotot.Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se
"Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy
Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den
"Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga
"Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua
Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka