Share

Bab 6

Zia terus mencoba meyakinkan Azka agar mau kabur dari rumah ayahnya ini. Bagi Zia, ini semua tidak adil, jika ia, dan Azka harus menikah sebagai konsekuensi untuk sesuatu yang bahkan tidak mereka lakukan.

Meski pada akhirnya Azka mau menikahinya, tapi Zia yakin, itu karena keterpaksaan, dan tekanan dari ayahnya. Zia tidak ingin hidup dalam pernikahan bersama suami yang tidak mencintainya.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana menderitanya dirinya nanti, jika tidak ada cinta dalam pernikahan mereka, sedangkan sedari dulu Zia selalu memimpikan hidup bahagia dalam pernikahan bersama laki-laki yang dicintai, dan mencintainya.

"Tuan, pokoknya kita harus pergi sekarang dari sini, sebelum ayahku keluar dari kamar, terus mencari kita," kata Zia, setengah mendesak pada Azka yang masih berpikir.

"Kalau kita pergi dari sini, lalu kamu mau ke mana?" tanya Azka. "Kalau saya mungkin bisa pulang ke kota asal saya, sementara kamu? Ini rumah orang tua kamu bukan? Setelah kita kabur nanti, kamu akan kembali ke sini, dan setelah itu kamu pasti akan dimarahi habis-habisan oleh orang tua kamu."

Jika hanya memikirkan diri sendiri, Azka sudah pasti akan ikut saja usulan Zia untuk kabur sekarang juga. Namun, Azka juga memikirkan nasib Zia ke depannya. Melihat bagaimana perlakuan wanita paruh baya yang dipanggil 'mamah' oleh Zia, Azka jadi merasa kasihan. Azka menyangka, ibu Zia pilih kasih kepada Zia.

"Aku bisa hidup mandiri setelah ini, Tuan," ucap Zia, dan Azka dapat melihat ada raut sendu di wajah Zia.

"Kamu yakin?" Azka memastikan.

Dalam pikiran Azka, rasanya tidak mungkin jika Zia bisa hidup mandiri di luar rumah ayahnya ini, mengingat selama ini Zia hidup tanpa kekurangan suatu apa. Apalagi biasanya, gadis-gadis anak orang kaya seperti Zia ini cenderung manja.

Zia pun mengangguk. "Aku yakin, Tuan. Umurku sudah dua puluh lima tahun, sudah saatnya untukku belajar hidup mandiri."

Azka melihat wajah Zia yang kini tampak yakin dengan keputusan itu. Pada akhirnya, Azka pun menghela napas, lantas berkata, "Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Mari kita pergi dari sini."

Seketika Zia pun tersenyum. Ia senang karena Azka setuju dengan usulannya. "Tunggu sebentar, Tuan. Aku akan ke kamar dulu untuk mengambil tas. Setelah itu, aku akan kembali ke sini, lalu kita pergi dari rumah ini."

Azka hanya mengangguk, dan Zia yang langsung berlari menuju ke kamarnya.

***

"Ini, Non, sudah bibi kemaskan semua yang Non Zia minta tadi," ucap Sri seraya menyodorkan ransel, saat Zia menghampirinya. "Tapi, apa cuma ini saja yang dibawa, Non? Baju-baju Non Zia bagaimana?"

Diterimanya ransel itu, lalu Zia tersenyum pada Sri. "Tenang aja, Bi, aku bawa uang kok. Masalah baju, bisa beli nanti. Kalau sekarang bawa baju-baju juga, yang ada ribet bawanya, kan ini mau kabur."

"Yo wes, Non, hati-hati yo. Jangan lupa kabari Bibi, kalau Non Zia sudah dapat tempat tinggal baru," kata Sri dengan mata berkaca-kaca.

"Aduuh, Bi, jangan nangis dong." Zia sontak memeluk wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya itu. "Nanti aku pasti kabari Bibi."

Setelah saling mengucapkan selamat tinggal, Zia pun keluar dari kamarnya dengan ransel di punggungnya. Ransel itu berisi berkas-berkas, dan surat-surat penting yang bisa digunakan Zia untuk bekal hidup ke depannya nanti.

Azka melihat Zia yang sedang berjalan ke arahnya. Ia yang tadinya duduk pun sontak berdiri.

"Ayo, Tuan, kita pergi lewat pintu belakang," ucap Zia setengah berbisik, setelah memastikan keadaan cukup aman.

"Apa kamu yakin, kita bisa kabur dari rumah ini?" Seketika rasa ragu kembali menyergap di pikiran Azka.

"Tentu. Aku tahu betul seluk beluk rumah ini, jadi kita bisa kabur dengan aman," kata Zia mantap.

Dengan perkataan Zia yang cukup meyakinkan itu, akhirnya Azka mengikuti langkah Zia yang kini menuju ke arah dapur.

Kepala Zia terus menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya bersama Azka. Beruntung, asisten rumah tangga yang sedang di rumah hanya Sri saja, sedangkan dua lainnya tengah pergi ke pasar.

"Pokoknya kita harus party setelah ini, Mah." Terdengar suara Gea yang sontak membuat Zia, dan Azka terkejut.

Dengan cepat Zia menarik tangan Azka, dan membawanya untuk bersembunyi di balik lemari pendingin yang cukup besar yang berada di dapur.

"Kita sembunyi dulu, Tuan," bisik Zia pada Azka yang kini berdiri sangat dekat di sampingnya.

Udara di sekitar Azka serasa semakin menipis seiring dengan denyut jantungnya yang begitu kencang, takut jika pada akhirnya akan ketahuan. Selain itu, aroma wangi dari tubuh Zia pun cukup mengganggu pikirannya.

"Tentu saja kita harus party, untuk merayakan kemenangan kita," kata Renata, menimpali ucapan Gea.

Suara langkah kaki Gea, dan Renata terdengar mendekat ke arah dapur. Hal itu tentu saja membuat Zia, dan Azka semakin ketar-ketir.

Saat yakin bahwa Gea, dan ibunya sudah berada di dapur, Zia pun memberi isyarat pada Azka untuk diam, meski sedari tadi Azka memang diam saja.

Akankah Zia, dan Azka pada akhirnya gagal kabur karena terpergok oleh Gea, dan Renata?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
nikah aja lah gak usah pke kabur segala...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status