Zia terus mencoba meyakinkan Azka agar mau kabur dari rumah ayahnya ini. Bagi Zia, ini semua tidak adil, jika ia, dan Azka harus menikah sebagai konsekuensi untuk sesuatu yang bahkan tidak mereka lakukan.
Meski pada akhirnya Azka mau menikahinya, tapi Zia yakin, itu karena keterpaksaan, dan tekanan dari ayahnya. Zia tidak ingin hidup dalam pernikahan bersama suami yang tidak mencintainya.Tidak bisa dibayangkan bagaimana menderitanya dirinya nanti, jika tidak ada cinta dalam pernikahan mereka, sedangkan sedari dulu Zia selalu memimpikan hidup bahagia dalam pernikahan bersama laki-laki yang dicintai, dan mencintainya."Tuan, pokoknya kita harus pergi sekarang dari sini, sebelum ayahku keluar dari kamar, terus mencari kita," kata Zia, setengah mendesak pada Azka yang masih berpikir."Kalau kita pergi dari sini, lalu kamu mau ke mana?" tanya Azka. "Kalau saya mungkin bisa pulang ke kota asal saya, sementara kamu? Ini rumah orang tua kamu bukan? Setelah kita kabur nanti, kamu akan kembali ke sini, dan setelah itu kamu pasti akan dimarahi habis-habisan oleh orang tua kamu."Jika hanya memikirkan diri sendiri, Azka sudah pasti akan ikut saja usulan Zia untuk kabur sekarang juga. Namun, Azka juga memikirkan nasib Zia ke depannya. Melihat bagaimana perlakuan wanita paruh baya yang dipanggil 'mamah' oleh Zia, Azka jadi merasa kasihan. Azka menyangka, ibu Zia pilih kasih kepada Zia."Aku bisa hidup mandiri setelah ini, Tuan," ucap Zia, dan Azka dapat melihat ada raut sendu di wajah Zia."Kamu yakin?" Azka memastikan.Dalam pikiran Azka, rasanya tidak mungkin jika Zia bisa hidup mandiri di luar rumah ayahnya ini, mengingat selama ini Zia hidup tanpa kekurangan suatu apa. Apalagi biasanya, gadis-gadis anak orang kaya seperti Zia ini cenderung manja.Zia pun mengangguk. "Aku yakin, Tuan. Umurku sudah dua puluh lima tahun, sudah saatnya untukku belajar hidup mandiri."Azka melihat wajah Zia yang kini tampak yakin dengan keputusan itu. Pada akhirnya, Azka pun menghela napas, lantas berkata, "Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Mari kita pergi dari sini."Seketika Zia pun tersenyum. Ia senang karena Azka setuju dengan usulannya. "Tunggu sebentar, Tuan. Aku akan ke kamar dulu untuk mengambil tas. Setelah itu, aku akan kembali ke sini, lalu kita pergi dari rumah ini."Azka hanya mengangguk, dan Zia yang langsung berlari menuju ke kamarnya.***"Ini, Non, sudah bibi kemaskan semua yang Non Zia minta tadi," ucap Sri seraya menyodorkan ransel, saat Zia menghampirinya. "Tapi, apa cuma ini saja yang dibawa, Non? Baju-baju Non Zia bagaimana?"Diterimanya ransel itu, lalu Zia tersenyum pada Sri. "Tenang aja, Bi, aku bawa uang kok. Masalah baju, bisa beli nanti. Kalau sekarang bawa baju-baju juga, yang ada ribet bawanya, kan ini mau kabur.""Yo wes, Non, hati-hati yo. Jangan lupa kabari Bibi, kalau Non Zia sudah dapat tempat tinggal baru," kata Sri dengan mata berkaca-kaca."Aduuh, Bi, jangan nangis dong." Zia sontak memeluk wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya itu. "Nanti aku pasti kabari Bibi."Setelah saling mengucapkan selamat tinggal, Zia pun keluar dari kamarnya dengan ransel di punggungnya. Ransel itu berisi berkas-berkas, dan surat-surat penting yang bisa digunakan Zia untuk bekal hidup ke depannya nanti.Azka melihat Zia yang sedang berjalan ke arahnya. Ia yang tadinya duduk pun sontak berdiri."Ayo, Tuan, kita pergi lewat pintu belakang," ucap Zia setengah berbisik, setelah memastikan keadaan cukup aman."Apa kamu yakin, kita bisa kabur dari rumah ini?" Seketika rasa ragu kembali menyergap di pikiran Azka."Tentu. Aku tahu betul seluk beluk rumah ini, jadi kita bisa kabur dengan aman," kata Zia mantap.Dengan perkataan Zia yang cukup meyakinkan itu, akhirnya Azka mengikuti langkah Zia yang kini menuju ke arah dapur.Kepala Zia terus menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang yang melihatnya bersama Azka. Beruntung, asisten rumah tangga yang sedang di rumah hanya Sri saja, sedangkan dua lainnya tengah pergi ke pasar."Pokoknya kita harus party setelah ini, Mah." Terdengar suara Gea yang sontak membuat Zia, dan Azka terkejut.Dengan cepat Zia menarik tangan Azka, dan membawanya untuk bersembunyi di balik lemari pendingin yang cukup besar yang berada di dapur."Kita sembunyi dulu, Tuan," bisik Zia pada Azka yang kini berdiri sangat dekat di sampingnya.Udara di sekitar Azka serasa semakin menipis seiring dengan denyut jantungnya yang begitu kencang, takut jika pada akhirnya akan ketahuan. Selain itu, aroma wangi dari tubuh Zia pun cukup mengganggu pikirannya."Tentu saja kita harus party, untuk merayakan kemenangan kita," kata Renata, menimpali ucapan Gea.Suara langkah kaki Gea, dan Renata terdengar mendekat ke arah dapur. Hal itu tentu saja membuat Zia, dan Azka semakin ketar-ketir.Saat yakin bahwa Gea, dan ibunya sudah berada di dapur, Zia pun memberi isyarat pada Azka untuk diam, meski sedari tadi Azka memang diam saja.Akankah Zia, dan Azka pada akhirnya gagal kabur karena terpergok oleh Gea, dan Renata?Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se
"Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy
Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den
"Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga
"Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua
Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka