Gea menceritakan pada ibunya, tentang awal mula dirinya bisa menjebak Zia, hingga akhirnya sang ayah memergoki Zia bersama Azka di ranjang yang sama di sebuah kamar hotel. Tentunya Gea tidak menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, dan Bobi semalam, karena itu pasti akan membuat sang ibu marah kepadanya.
"Tapi aku agak kesel, Mah, kenapa yang mau nikahin kak Zia, cowok ganteng itu. Harusnya tadi malam aku nyuruh temen aku buat nyari cowok yang jelek aja," kata Gea.Sebenarnya, dalam hati, Gea juga mengagumi ketampanan Azka saat pertama kali melihatnya. Tadi malam ia ingin protes, kenapa Bobi malah mencarikan tumbal laki-laki tampan, yang akan diletakkan di ranjang yang sama dengan Zia. Namun, karena sudah terlanjur, Gea pun terima saja."Halah, laki-laki yang ganteng seperti Azka itu banyak, Sayang. Temen-temen arisan mamah banyak yang punya anak laki-laki ganteng-ganteng. Lagian sepertinya Azka cuma menang gantengnya doang, tapi dompetnya kosong. Pasti setelah menikah, Zia akan hidup sengsara dengan suaminya kere-nya itu," balas Renata."Tapi, tadi pas masih di hotel, Azka bilang mau kasih kompensasi seratus juta ke kita kan, Mah, sebagai pengganti karena dia nggak mau nikahin kak Zia?" Gea ingat tentang tawaran Azka saat bernegosiasi di hotel tadi pagi."Paling cuma omong kosong. Dia sok-sokan berlaga seperti orang kaya, padahal aslinya miskin.""Waktu ke sini tadi, Azka juga pake mobil cukup bagus, Mah. Nggak mungkin kalau dia orang miskin. Mamah juga liat sendiri kan, pakaian yang dipakai Azka itu bermerk semua." Gea masih dengan keyakinannya bahwa Azka yang memang orang kaya."Paling itu cuma mobil bosnya, dan pakaiannya dibeliin bosnya. Kalau pun Azka memang orang kaya, mamah jamin, nantinya Zia nggak akan hidup bahagia sama Azka, karena Azka pasti akan sangat membenci Zia. Liat aja tadi, Azka berulang kali menolak untuk menikahi Zia kan?"Gea mengangguk setuju dengan ucapan ibunya. Meskipun tidak rela, laki-laki yang akan menjadi suami Zia berwajah tampan, tapi setidaknya kemungkinan besar Zia akan hidup menderita, dan itu cukup membuat Gea senang.Tanpa sepengetahuan Gea, dan ibunya, sedari tadi ada seorang wanita paruh baya bertubuh gempal yang menguping pembicaraan Gea, dan ibunya, di depan pintu kamar Gea. Ia adalah Sri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama puluhan tahun di rumah keluarga Zia."Astaghfirullah ... jahat sekali non Gea sama ibu Renata. Kasian non Zia difitnah seperti itu. Pasti sekarang non Zia sangat sedih," gumam Sri sambil mengelus-elus dadanya.Tak mau terpergok sedang menguping, Sri pun segera pergi, lalu bergegas menuju ke kamar Zia. Ia harus segera memberitahu Zia tentang kebenarannya, sebelum Zia pada akhirnya dikorbankan.Sebenarnya ingin sekali Sri memberitahu secara langsung kepada Zoni, tetapi Sri tidak punya bukti apa-apa yang bisa ditujukan pada majikannya itu. Zoni tidak akan percaya begitu saja pada ucapannya, jika tidak ada bukti yang menguatkan. Seandainya tadi Sri sedang membawa ponsel, mungkin Sri akan merekam pembicaraan antara Gea, dan ibunya."Non Zia, ini bibi, Non," ucap Sri seraya mengetuk pintu kamar Zia.Zia yang sedang menangis meratapi nasibnya, sontak menghapus air mata dengan tangannya."Masuk aja, Bi, nggak dikunci kok," kata Zia. Di rumah ini, hanya Sri saja yang bisa Zia percaya untuk keluar masuk ke kamarnya dengan bebas.Begitu membuka pintu, Sri melihat mata Zia yang bengkak karena menangis. Dalam hati, Sri merasa iba."Non Zia, bibi turut prihatin dengan apa yang menimpa Non Zia," ucap Sri seraya mengusap bahu Zia. "Tapi, ada yang harus Non Zia dengar dari bibi. Ini tentang kebenaran."Zia menatap Sri, menunggu apa yang akan diutarakan oleh wanita paruh baya yang telah lama mengabdi di rumah ayahnya ini.Sri kemudian menceritakan apa yang didengarnya dari percakapan antara Gea, dan Renata, tanpa dikurangi, atau ditambah. Zia yang memang sangat mempercayai Sri pun tentu percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Sri."Sudah aku duga, Bi, pasti ini jebakan. Tapi, aku nggak punya bukti apa-apa. Aku udah jelasin ke papah, tapi papah tetap nggak percaya, dan justru nyuruh aku nikah sama tuan Azka. Papah lebih dengerin omongannya mamah sama Gea," ujar Zia."Sabar, Non." Sri kembali mengusap bahu Zia. "Kalau bibi boleh kasih saran, mending non Zia kabur aja dari sini. Bibi nggak tega, non Zia selalu didzolimin sama bu Renata dan non Gea. Non Zia pasti bisa hidup dengan lebih baik di luar sana, daripada di rumah ini, tapi penuh tekanan."Zia mempertimbangkan saran Sri. Jika dipikir, dirinya bisa saja hidup dengan baik di luar istana ayahnya ini. Tabungannya sudah lebih dari cukup untuk menyewa rumah, dan biaya hidup. Zia pun berpikir, setelah ini akan resign saja dari perusahaan ayahnya, lalu mencari pekerjaan di perusahaan lain."Bi, tolong bantu aku kemasi berkas-berkas, dan surat-surat penting ya. Terus taruh di ransel kecil aku. Sekarang aku mau nemuin tuan Azka dulu," ucap Zia.Setelah meminta bantuan Sri, Zia pun bergegas keluar dari kamarnya, untuk menemui Azka yang saat ini tengah duduk sendirian di ruang tamu."Tuan Azka," panggil Zia.Azka yang sedari tadi menunduk pun sontak mengangkat kepalanya menatap Zia."Kapan acara akad nikahnya dimulai?" tanya Azka."Nanti, mungkin nunggu penghulunya datang. Tapi, pernikahan kita nggak akan terjadi, kalau kita kabur sekarang, Tuan," balas Zia."Kabur?" Azka mengernyitkan dahi. Gadis di hadapannya ini merencanakan hal konyol?Zia mengangguk. "Iya, Tuan. Kita itu nggak salah. Semalem kita beneran nggak ngapa-ngapain, cuma apes aja kita bangun di ranjang yang sama. Kita itu dijebak, Tuan.""Saya tahu. Apa yang terjadi pada kita, pasti ada orang dibalik layar yang sudah mengatur semuanya. Tapi kita tidak bisa apa-apa. Berulang kali kita sudah menjelaskan pada ayah kamu tadi, tapi ayah kamu juga tidak percaya kan?" ucap Azka."Makanya, sekarang kita kabur aja, Tuan. Tuan pasti nggak mau kan, mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak Tuan perbuat?"Memang Azka agak keberatan untuk menikahi Zia, tapi ia sudah terlanjur berada di rumah ini, dan setuju untuk menikahi Zia. Jika ia mengikuti usulan Zia untuk kabur, maka orang tua Zia pasti akan menganggapnya sebagai pecundang, dan orang yang tidak bertanggungjawab."Tidak. Saya tidak akan kabur. Kita lakukan saja akad nikahnya," tolak Azka."Tapi pernikahan itu bukan untuk main-main, Tuan.""Saya tahu, dan saya juga tidak akan mempermainkan pernikahan."Zia menghela napas. "Tapi pernikahan tidak akan bahagia jika tanpa cinta. Ayolah, Tuan, kita kabur saja."Cinta?Azka yang tadinya lupa tentang itu, seketika terdiam. Ingatannya kembali pada beberapa tahun yang lalu, saat dirinya menikah dengan perempuan yang dicintainya, dan pada akhirnya pernikahan itu kandas hanya dalam waktu beberapa bulan.Jika dulu dirinya menikah karena cinta pun, pernikahan itu bisa kandas, apalagi sekarang? Seketika Azka merasa dilema.Zia terus mencoba meyakinkan Azka agar mau kabur dari rumah ayahnya ini. Bagi Zia, ini semua tidak adil, jika ia, dan Azka harus menikah sebagai konsekuensi untuk sesuatu yang bahkan tidak mereka lakukan. Meski pada akhirnya Azka mau menikahinya, tapi Zia yakin, itu karena keterpaksaan, dan tekanan dari ayahnya. Zia tidak ingin hidup dalam pernikahan bersama suami yang tidak mencintainya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana menderitanya dirinya nanti, jika tidak ada cinta dalam pernikahan mereka, sedangkan sedari dulu Zia selalu memimpikan hidup bahagia dalam pernikahan bersama laki-laki yang dicintai, dan mencintainya. "Tuan, pokoknya kita harus pergi sekarang dari sini, sebelum ayahku keluar dari kamar, terus mencari kita," kata Zia, setengah mendesak pada Azka yang masih berpikir. "Kalau kita pergi dari sini, lalu kamu mau ke mana?" tanya Azka. "Kalau saya mungkin bisa pulang ke kota asal saya, sementara kamu? Ini rumah orang tua kamu bukan? Setelah kita kabur nanti, kamu akan kem
"Ke mana para pembantu? Masa nggak ada yang keliatan satu pun? Niat kerja nggak sih mereka?" gerutu Gea. "Tadi mereka disuruh papah ke pasar, buat beli bahan makanan untuk acara walimahan nanti," sahut Renata. "Cih, pernikahan dadakan aja pake walimahan segala. Mana pengantin laki-lakinya orang nggak jelas dari kota antah berantah, lagi!" cibir Gea. "Yaa, bagaimana pun juga, Zia kan anak kesayangan papah kamu, Sayang, meskipun kita udah coba jebak dia. Anggap saja acara yang dibuat papah kamu hari ini, adalah acara yang terakhir kali sebagai bentuk perpisahan karena Zia akan ikut suaminya. Setelah itu, perhatian papah cuma buat kamu doang." Ibu, dan anak itu pun lantas tertawa, yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Zia. Sadar dengan Zia yang tersakiti dengan ucapan dua wanita yang tak mempunyai hati itu, Azka pun lantas menggenggam tangan Zia, dan mengelusnya. Mencoba memberikan kekuatan, dan kesabaran. Dugaan Azka benar, bahwa ibu Zia itu memang tidak menyukai Zia, dan ju
"Itu sepertinya suara salah satu anak buah papah aku, Tuan," kata Zia. "Ya sudah, kalau begitu, ayo segera pergi." Jika tadi Zia yang menarik tangan Azka, kini giliran Azka yang menarik tangan Zia, mengajaknya untuk berlari. "Hey! Mau ke mana?!" Seorang laki-laki berpakaian serba hitam berteriak setelah menyadari yang berada di pintu gerbang adalah Zia, dan Azka. "Ayo cepet lari, Tuan," ucap Zia dengan nada khawatir, lalu ia dan Azka benar-benar keluar dari halaman belakang rumah melalui pintu gerbang kecil itu. Sontak anak buah ayah Zia pun mengejar keduanya, seraya menghubungi yang lainnya melalui walkie talkie. Azka, dan Zia terus berlari hingga akhirnya melewati jalan beraspal. Beberapa anak buah ayah Zia pun mengejar di belakang keduanya. Tak mau tertangkap, Zia terus berlari mengikuti Azka, meski sebenarnya ia sudah merasa lelah. "Non Zia! Berhenti!" teriak salah seorang anak buah ayah Zia. "Jangan hiraukan mereka, Zia. Jika kamu benar-benar ingin bebas dari keluarga kam
"Kamu masih bisa bersikap santai, dan tenang di saat Zia melarikan diri dengan laki-laki itu?!" cecar Zoni, sambil menatap tajam Renata. Istri Zoni itu pun memutar bola matanya. "Lalu mamah harus bagaimana, Pah? Mencari keberadaan Zia? Bukannya orang-orang Papah udah lagi pada nyariin?" Zoni mendengkus. Tidak habis pikir dengan istrinya itu. Memang Renata bukanlah ibu kandung Zia, tapi apakah tidak ada sedikit rasa khawatir pun di benak Renata untuk Zia? "Setidaknya kamu coba hubungi teman-teman Zia, mungkin saja dia kabur ke rumah salah satu temannya," kata Zoni. "Tidak ada teman-teman Zia yang mamah kenal, Pah," balas Renata. Dalam hati, Renata pun sebenarnya tidak sudi untuk berkenalan dengan teman-teman dari anak tirinya itu. "Ibu macam apa kamu, Renata!" hardik Zoni. "Kamu memang bukan ibu kandung Zia, tapi seharusnya kamu bisa memperlakukan Zia seperti anak kandung kamu sendiri, memberikannya perhatian, mencari tahu siapa saja teman-teman Zia." "Selama ini kan mamah selalu
"Heh! Jangan kurang ajar kamu!" bentak anak buah Zoni yang sedang menyetir, yang sangat merasa terganggu dengan perbuatan Azka. Bagaimana tidak, karena ulah Azka yang menendang lengannya itu, membuatnya menjadi tidak konsentrasi menyetir, hingga mobil yang dikendarainya ini melaju tak beraturan, dan bisa membahayakan para penumpang. "Makanya, berhentikan mobil ini!" balas Azka. Merasa berbahaya jika mobil terus melaju, supir itu memilih berhenti, lalu menyuruh temannya yang duduk di samping kemudi untuk mengikat kaki Azka. Alhasil, sekarang kedua kaki Azka sudah tidak bebas lagi. Zia pun sudah berhenti menangis, tapi rasa sedih masih menggelayuti hatinya, meskipun ada sedikit rasa lega karena nyawanya selamat. Zia juga merasa kasihan dengan Azka.Mobil yang membawa Azka, dan Zia kini telah sampai di halaman rumah besar milik Zoni. Karena sudah diberitahu lebih dulu bahwa Azka, dan Zia berhasil ditemukan, dan sedang dalam perjalanan pulang, Zoni kini tengah berdiri di depan rumah,
Semua orang yang berada di sana serentak menoleh ke arah sumber suara. Ada seorang laki-laki yang cukup tampan, yang tengah berdiri dengan kedua tangan terkepal, dan tatapan matanya yang tajam. Zia cukup kaget dengan kedatangan laki-laki itu, pun dengan Gea. Berbeda dengan lainnya yang cukup bingung, siapa sebenarnya laki-laki itu. Merasa kedatangan laki-laki itu sangat mengganggu, Zoni pun angkat bicara. "Siapa kamu? Beraninya-beraninya menghentikan pernikahan ini?" tanya Zoni. "Penjaga?! Kenapa kalian bisa meloloskan orang tidak dikenal ini?" "Saya Riko, Om. Saya pacarnya Zia. Saya datang ke mari karena saya tidak mau Zia menikah dengan laki-laki lain," jawab Riko dengan tegas, lalu beralih menatap Zia. Mendengar pengakuan dari laki-laki yang bernama Riko itu, Zoni pun lantas berdiri dari duduknya, lalu berjalan mendekat ke arah Riko. Sementara itu, Renata, dan Gea sudah ketar-ketir jika Zoni ternyata justru menikahkan Zia dengan Riko, bukan dengan Azka. Zia sendiri tak tahu h
Semua orang di ruangan itu pun memperhatikan Zia, menunggu jawaban darinya. Riko sangat berharap, Zia akan memilihnya. Ia sangat yakin, Zia masih mencintainya, dan mau memaafkan tentang kesalahannya yang tidak disengaja itu. Untuk Azka sendiri, ia akan terima apa pun keputusan Zia. Jika pada akhirnya Zia memilihnya, maka Azka pun akan menikahi Zia, meski belum ada cinta di hatinya untuk gadis itu. Semata-mata Azka lakukan, karena tidak mau dicap lagi sebagai laki-laki kurang ajar oleh Zoni. Dan jika Zia justru memilih Riko, Azka pun akan sangat mendukungnya. "Ayo, Zia, katakan saja siapa yang mau kamu pilih. Jangan ragu, Sayang," ucap tantenya Zia, seraya menggenggam tangan Zia. Zia lantas memandang Riko sejenak. Di mata laki-laki itu, Zia dapat melihat kesungguhan Riko yang mau memperjuangkannya. "Aduh, Zia sayang, kalau mamah jadi kamu, pasti mamah lebih memilih Azka daripada Riko, secara Azka adalah orang kaya. Sedangkan kamu tahu sendiri kan, Riko itu hanya orang biasa, yan
"Mbak, mereka kan baru menikah, masa langsung pindah. Setidaknya Zia, dan Azka tetap di sini untuk beberapa hari ke depan," ucap tantenya Zia membalas perkataan Renata. Kemudian tantenya Zia itu beralih kepada Zoni. "Iya kan, Mas?" "Itu terserah mereka saja, senyamannya mereka. Kalau mau menginap di hotel pun boleh, nanti saya akan pesankan kamar hotel paling mewah, dan terbaik di kota ini," jawab Zoni, membuat Renata, dan Gea mencibir dalam hati. Sri datang untuk memberitahu semua orang bahwa hidangan walimah sudah siap. Zoni pun mempersilakan sang penghulu, ketua RT, dan ketua RW untuk menikmati suguhan tersebut. "Zia sayang, kamu ambilkan suamimu makanan ya. Status kamu sekarang sudah jadi istri, sudah sepantasnya kamu melayani suami kamu," ujar tantenya Zia. "I-iya, Tante." Tantenya Zia lantas meninggalkan tempat itu untuk bergabung dengan yang lainnya di meja makan. Tinggallah sekarang hanya Zia, dan Azka di ruangan itu. "T-tuan Azka, mari kita bergabung ke ruang makan," aj