Share

Bab 5

Gea menceritakan pada ibunya, tentang awal mula dirinya bisa menjebak Zia, hingga akhirnya sang ayah memergoki Zia bersama Azka di ranjang yang sama di sebuah kamar hotel. Tentunya Gea tidak menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, dan Bobi semalam, karena itu pasti akan membuat sang ibu marah kepadanya.

"Tapi aku agak kesel, Mah, kenapa yang mau nikahin kak Zia, cowok ganteng itu. Harusnya tadi malam aku nyuruh temen aku buat nyari cowok yang jelek aja," kata Gea.

Sebenarnya, dalam hati, Gea juga mengagumi ketampanan Azka saat pertama kali melihatnya. Tadi malam ia ingin protes, kenapa Bobi malah mencarikan tumbal laki-laki tampan, yang akan diletakkan di ranjang yang sama dengan Zia. Namun, karena sudah terlanjur, Gea pun terima saja.

"Halah, laki-laki yang ganteng seperti Azka itu banyak, Sayang. Temen-temen arisan mamah banyak yang punya anak laki-laki ganteng-ganteng. Lagian sepertinya Azka cuma menang gantengnya doang, tapi dompetnya kosong. Pasti setelah menikah, Zia akan hidup sengsara dengan suaminya kere-nya itu," balas Renata.

"Tapi, tadi pas masih di hotel, Azka bilang mau kasih kompensasi seratus juta ke kita kan, Mah, sebagai pengganti karena dia nggak mau nikahin kak Zia?" Gea ingat tentang tawaran Azka saat bernegosiasi di hotel tadi pagi.

"Paling cuma omong kosong. Dia sok-sokan berlaga seperti orang kaya, padahal aslinya miskin."

"Waktu ke sini tadi, Azka juga pake mobil cukup bagus, Mah. Nggak mungkin kalau dia orang miskin. Mamah juga liat sendiri kan, pakaian yang dipakai Azka itu bermerk semua." Gea masih dengan keyakinannya bahwa Azka yang memang orang kaya.

"Paling itu cuma mobil bosnya, dan pakaiannya dibeliin bosnya. Kalau pun Azka memang orang kaya, mamah jamin, nantinya Zia nggak akan hidup bahagia sama Azka, karena Azka pasti akan sangat membenci Zia. Liat aja tadi, Azka berulang kali menolak untuk menikahi Zia kan?"

Gea mengangguk setuju dengan ucapan ibunya. Meskipun tidak rela, laki-laki yang akan menjadi suami Zia berwajah tampan, tapi setidaknya kemungkinan besar Zia akan hidup menderita, dan itu cukup membuat Gea senang.

Tanpa sepengetahuan Gea, dan ibunya, sedari tadi ada seorang wanita paruh baya bertubuh gempal yang menguping pembicaraan Gea, dan ibunya, di depan pintu kamar Gea. Ia adalah Sri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama puluhan tahun di rumah keluarga Zia.

"Astaghfirullah ... jahat sekali non Gea sama ibu Renata. Kasian non Zia difitnah seperti itu. Pasti sekarang non Zia sangat sedih," gumam Sri sambil mengelus-elus dadanya.

Tak mau terpergok sedang menguping, Sri pun segera pergi, lalu bergegas menuju ke kamar Zia. Ia harus segera memberitahu Zia tentang kebenarannya, sebelum Zia pada akhirnya dikorbankan.

Sebenarnya ingin sekali Sri memberitahu secara langsung kepada Zoni, tetapi Sri tidak punya bukti apa-apa yang bisa ditujukan pada majikannya itu. Zoni tidak akan percaya begitu saja pada ucapannya, jika tidak ada bukti yang menguatkan. Seandainya tadi Sri sedang membawa ponsel, mungkin Sri akan merekam pembicaraan antara Gea, dan ibunya.

"Non Zia, ini bibi, Non," ucap Sri seraya mengetuk pintu kamar Zia.

Zia yang sedang menangis meratapi nasibnya, sontak menghapus air mata dengan tangannya.

"Masuk aja, Bi, nggak dikunci kok," kata Zia. Di rumah ini, hanya Sri saja yang bisa Zia percaya untuk keluar masuk ke kamarnya dengan bebas.

Begitu membuka pintu, Sri melihat mata Zia yang bengkak karena menangis. Dalam hati, Sri merasa iba.

"Non Zia, bibi turut prihatin dengan apa yang menimpa Non Zia," ucap Sri seraya mengusap bahu Zia. "Tapi, ada yang harus Non Zia dengar dari bibi. Ini tentang kebenaran."

Zia menatap Sri, menunggu apa yang akan diutarakan oleh wanita paruh baya yang telah lama mengabdi di rumah ayahnya ini.

Sri kemudian menceritakan apa yang didengarnya dari percakapan antara Gea, dan Renata, tanpa dikurangi, atau ditambah. Zia yang memang sangat mempercayai Sri pun tentu percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Sri.

"Sudah aku duga, Bi, pasti ini jebakan. Tapi, aku nggak punya bukti apa-apa. Aku udah jelasin ke papah, tapi papah tetap nggak percaya, dan justru nyuruh aku nikah sama tuan Azka. Papah lebih dengerin omongannya mamah sama Gea," ujar Zia.

"Sabar, Non." Sri kembali mengusap bahu Zia. "Kalau bibi boleh kasih saran, mending non Zia kabur aja dari sini. Bibi nggak tega, non Zia selalu didzolimin sama bu Renata dan non Gea. Non Zia pasti bisa hidup dengan lebih baik di luar sana, daripada di rumah ini, tapi penuh tekanan."

Zia mempertimbangkan saran Sri. Jika dipikir, dirinya bisa saja hidup dengan baik di luar istana ayahnya ini. Tabungannya sudah lebih dari cukup untuk menyewa rumah, dan biaya hidup. Zia pun berpikir, setelah ini akan resign saja dari perusahaan ayahnya, lalu mencari pekerjaan di perusahaan lain.

"Bi, tolong bantu aku kemasi berkas-berkas, dan surat-surat penting ya. Terus taruh di ransel kecil aku. Sekarang aku mau nemuin tuan Azka dulu," ucap Zia.

Setelah meminta bantuan Sri, Zia pun bergegas keluar dari kamarnya, untuk menemui Azka yang saat ini tengah duduk sendirian di ruang tamu.

"Tuan Azka," panggil Zia.

Azka yang sedari tadi menunduk pun sontak mengangkat kepalanya menatap Zia.

"Kapan acara akad nikahnya dimulai?" tanya Azka.

"Nanti, mungkin nunggu penghulunya datang. Tapi, pernikahan kita nggak akan terjadi, kalau kita kabur sekarang, Tuan," balas Zia.

"Kabur?" Azka mengernyitkan dahi. Gadis di hadapannya ini merencanakan hal konyol?

Zia mengangguk. "Iya, Tuan. Kita itu nggak salah. Semalem kita beneran nggak ngapa-ngapain, cuma apes aja kita bangun di ranjang yang sama. Kita itu dijebak, Tuan."

"Saya tahu. Apa yang terjadi pada kita, pasti ada orang dibalik layar yang sudah mengatur semuanya. Tapi kita tidak bisa apa-apa. Berulang kali kita sudah menjelaskan pada ayah kamu tadi, tapi ayah kamu juga tidak percaya kan?" ucap Azka.

"Makanya, sekarang kita kabur aja, Tuan. Tuan pasti nggak mau kan, mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak Tuan perbuat?"

Memang Azka agak keberatan untuk menikahi Zia, tapi ia sudah terlanjur berada di rumah ini, dan setuju untuk menikahi Zia. Jika ia mengikuti usulan Zia untuk kabur, maka orang tua Zia pasti akan menganggapnya sebagai pecundang, dan orang yang tidak bertanggungjawab.

"Tidak. Saya tidak akan kabur. Kita lakukan saja akad nikahnya," tolak Azka.

"Tapi pernikahan itu bukan untuk main-main, Tuan."

"Saya tahu, dan saya juga tidak akan mempermainkan pernikahan."

Zia menghela napas. "Tapi pernikahan tidak akan bahagia jika tanpa cinta. Ayolah, Tuan, kita kabur saja."

Cinta?

Azka yang tadinya lupa tentang itu, seketika terdiam. Ingatannya kembali pada beberapa tahun yang lalu, saat dirinya menikah dengan perempuan yang dicintainya, dan pada akhirnya pernikahan itu kandas hanya dalam waktu beberapa bulan.

Jika dulu dirinya menikah karena cinta pun, pernikahan itu bisa kandas, apalagi sekarang? Seketika Azka merasa dilema.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Wety SriRejeki
Bgus cerita nya
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
semoga aja Zia bs jadi istri yang Soleha buat pak Azka ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status