Share

Bab 5

Author: Aufa
last update Last Updated: 2022-12-20 10:59:10

Gea menceritakan pada ibunya, tentang awal mula dirinya bisa menjebak Zia, hingga akhirnya sang ayah memergoki Zia bersama Azka di ranjang yang sama di sebuah kamar hotel. Tentunya Gea tidak menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, dan Bobi semalam, karena itu pasti akan membuat sang ibu marah kepadanya.

"Tapi aku agak kesel, Mah, kenapa yang mau nikahin kak Zia, cowok ganteng itu. Harusnya tadi malam aku nyuruh temen aku buat nyari cowok yang jelek aja," kata Gea.

Sebenarnya, dalam hati, Gea juga mengagumi ketampanan Azka saat pertama kali melihatnya. Tadi malam ia ingin protes, kenapa Bobi malah mencarikan tumbal laki-laki tampan, yang akan diletakkan di ranjang yang sama dengan Zia. Namun, karena sudah terlanjur, Gea pun terima saja.

"Halah, laki-laki yang ganteng seperti Azka itu banyak, Sayang. Temen-temen arisan mamah banyak yang punya anak laki-laki ganteng-ganteng. Lagian sepertinya Azka cuma menang gantengnya doang, tapi dompetnya kosong. Pasti setelah menikah, Zia akan hidup sengsara dengan suaminya kere-nya itu," balas Renata.

"Tapi, tadi pas masih di hotel, Azka bilang mau kasih kompensasi seratus juta ke kita kan, Mah, sebagai pengganti karena dia nggak mau nikahin kak Zia?" Gea ingat tentang tawaran Azka saat bernegosiasi di hotel tadi pagi.

"Paling cuma omong kosong. Dia sok-sokan berlaga seperti orang kaya, padahal aslinya miskin."

"Waktu ke sini tadi, Azka juga pake mobil cukup bagus, Mah. Nggak mungkin kalau dia orang miskin. Mamah juga liat sendiri kan, pakaian yang dipakai Azka itu bermerk semua." Gea masih dengan keyakinannya bahwa Azka yang memang orang kaya.

"Paling itu cuma mobil bosnya, dan pakaiannya dibeliin bosnya. Kalau pun Azka memang orang kaya, mamah jamin, nantinya Zia nggak akan hidup bahagia sama Azka, karena Azka pasti akan sangat membenci Zia. Liat aja tadi, Azka berulang kali menolak untuk menikahi Zia kan?"

Gea mengangguk setuju dengan ucapan ibunya. Meskipun tidak rela, laki-laki yang akan menjadi suami Zia berwajah tampan, tapi setidaknya kemungkinan besar Zia akan hidup menderita, dan itu cukup membuat Gea senang.

Tanpa sepengetahuan Gea, dan ibunya, sedari tadi ada seorang wanita paruh baya bertubuh gempal yang menguping pembicaraan Gea, dan ibunya, di depan pintu kamar Gea. Ia adalah Sri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama puluhan tahun di rumah keluarga Zia.

"Astaghfirullah ... jahat sekali non Gea sama ibu Renata. Kasian non Zia difitnah seperti itu. Pasti sekarang non Zia sangat sedih," gumam Sri sambil mengelus-elus dadanya.

Tak mau terpergok sedang menguping, Sri pun segera pergi, lalu bergegas menuju ke kamar Zia. Ia harus segera memberitahu Zia tentang kebenarannya, sebelum Zia pada akhirnya dikorbankan.

Sebenarnya ingin sekali Sri memberitahu secara langsung kepada Zoni, tetapi Sri tidak punya bukti apa-apa yang bisa ditujukan pada majikannya itu. Zoni tidak akan percaya begitu saja pada ucapannya, jika tidak ada bukti yang menguatkan. Seandainya tadi Sri sedang membawa ponsel, mungkin Sri akan merekam pembicaraan antara Gea, dan ibunya.

"Non Zia, ini bibi, Non," ucap Sri seraya mengetuk pintu kamar Zia.

Zia yang sedang menangis meratapi nasibnya, sontak menghapus air mata dengan tangannya.

"Masuk aja, Bi, nggak dikunci kok," kata Zia. Di rumah ini, hanya Sri saja yang bisa Zia percaya untuk keluar masuk ke kamarnya dengan bebas.

Begitu membuka pintu, Sri melihat mata Zia yang bengkak karena menangis. Dalam hati, Sri merasa iba.

"Non Zia, bibi turut prihatin dengan apa yang menimpa Non Zia," ucap Sri seraya mengusap bahu Zia. "Tapi, ada yang harus Non Zia dengar dari bibi. Ini tentang kebenaran."

Zia menatap Sri, menunggu apa yang akan diutarakan oleh wanita paruh baya yang telah lama mengabdi di rumah ayahnya ini.

Sri kemudian menceritakan apa yang didengarnya dari percakapan antara Gea, dan Renata, tanpa dikurangi, atau ditambah. Zia yang memang sangat mempercayai Sri pun tentu percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Sri.

"Sudah aku duga, Bi, pasti ini jebakan. Tapi, aku nggak punya bukti apa-apa. Aku udah jelasin ke papah, tapi papah tetap nggak percaya, dan justru nyuruh aku nikah sama tuan Azka. Papah lebih dengerin omongannya mamah sama Gea," ujar Zia.

"Sabar, Non." Sri kembali mengusap bahu Zia. "Kalau bibi boleh kasih saran, mending non Zia kabur aja dari sini. Bibi nggak tega, non Zia selalu didzolimin sama bu Renata dan non Gea. Non Zia pasti bisa hidup dengan lebih baik di luar sana, daripada di rumah ini, tapi penuh tekanan."

Zia mempertimbangkan saran Sri. Jika dipikir, dirinya bisa saja hidup dengan baik di luar istana ayahnya ini. Tabungannya sudah lebih dari cukup untuk menyewa rumah, dan biaya hidup. Zia pun berpikir, setelah ini akan resign saja dari perusahaan ayahnya, lalu mencari pekerjaan di perusahaan lain.

"Bi, tolong bantu aku kemasi berkas-berkas, dan surat-surat penting ya. Terus taruh di ransel kecil aku. Sekarang aku mau nemuin tuan Azka dulu," ucap Zia.

Setelah meminta bantuan Sri, Zia pun bergegas keluar dari kamarnya, untuk menemui Azka yang saat ini tengah duduk sendirian di ruang tamu.

"Tuan Azka," panggil Zia.

Azka yang sedari tadi menunduk pun sontak mengangkat kepalanya menatap Zia.

"Kapan acara akad nikahnya dimulai?" tanya Azka.

"Nanti, mungkin nunggu penghulunya datang. Tapi, pernikahan kita nggak akan terjadi, kalau kita kabur sekarang, Tuan," balas Zia.

"Kabur?" Azka mengernyitkan dahi. Gadis di hadapannya ini merencanakan hal konyol?

Zia mengangguk. "Iya, Tuan. Kita itu nggak salah. Semalem kita beneran nggak ngapa-ngapain, cuma apes aja kita bangun di ranjang yang sama. Kita itu dijebak, Tuan."

"Saya tahu. Apa yang terjadi pada kita, pasti ada orang dibalik layar yang sudah mengatur semuanya. Tapi kita tidak bisa apa-apa. Berulang kali kita sudah menjelaskan pada ayah kamu tadi, tapi ayah kamu juga tidak percaya kan?" ucap Azka.

"Makanya, sekarang kita kabur aja, Tuan. Tuan pasti nggak mau kan, mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak Tuan perbuat?"

Memang Azka agak keberatan untuk menikahi Zia, tapi ia sudah terlanjur berada di rumah ini, dan setuju untuk menikahi Zia. Jika ia mengikuti usulan Zia untuk kabur, maka orang tua Zia pasti akan menganggapnya sebagai pecundang, dan orang yang tidak bertanggungjawab.

"Tidak. Saya tidak akan kabur. Kita lakukan saja akad nikahnya," tolak Azka.

"Tapi pernikahan itu bukan untuk main-main, Tuan."

"Saya tahu, dan saya juga tidak akan mempermainkan pernikahan."

Zia menghela napas. "Tapi pernikahan tidak akan bahagia jika tanpa cinta. Ayolah, Tuan, kita kabur saja."

Cinta?

Azka yang tadinya lupa tentang itu, seketika terdiam. Ingatannya kembali pada beberapa tahun yang lalu, saat dirinya menikah dengan perempuan yang dicintainya, dan pada akhirnya pernikahan itu kandas hanya dalam waktu beberapa bulan.

Jika dulu dirinya menikah karena cinta pun, pernikahan itu bisa kandas, apalagi sekarang? Seketika Azka merasa dilema.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wety SriRejeki
Bgus cerita nya
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
semoga aja Zia bs jadi istri yang Soleha buat pak Azka ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 41

    Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 40

    "Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 39

    Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 38

    "Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 37

    "Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua

  • Satu Malam Bersama Ceo Duda   Bab 36

    Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status