Share

Bab 7

"Ke mana para pembantu? Masa nggak ada yang keliatan satu pun? Niat kerja nggak sih mereka?" gerutu Gea.

"Tadi mereka disuruh papah ke pasar, buat beli bahan makanan untuk acara walimahan nanti," sahut Renata.

"Cih, pernikahan dadakan aja pake walimahan segala. Mana pengantin laki-lakinya orang nggak jelas dari kota antah berantah, lagi!" cibir Gea.

"Yaa, bagaimana pun juga, Zia kan anak kesayangan papah kamu, Sayang, meskipun kita udah coba jebak dia. Anggap saja acara yang dibuat papah kamu hari ini, adalah acara yang terakhir kali sebagai bentuk perpisahan karena Zia akan ikut suaminya. Setelah itu, perhatian papah cuma buat kamu doang." Ibu, dan anak itu pun lantas tertawa, yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Zia.

Sadar dengan Zia yang tersakiti dengan ucapan dua wanita yang tak mempunyai hati itu, Azka pun lantas menggenggam tangan Zia, dan mengelusnya. Mencoba memberikan kekuatan, dan kesabaran.

Dugaan Azka benar, bahwa ibu Zia itu memang tidak menyukai Zia, dan justru ingin menyingkirkannya. Sungguh, saat ini Azka jadi semakin yakin untuk kabur bersama Zia dari rumah ini.

"Duh haus," rengek Gea, lantas melangkah menuju ke arah lemari pendingin.

Zia yang sangat paham bahwa adiknya itu akan mengambil minuman di lemari pendingin pun semakin merasa ketar-ketir. Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya nanti akan ketahuan.

Menahan napas, Zia memejamkan mata sembari meremas tangan Azka yang menggenggamnya. Jika memang dirinya, dan Azka ketahuan, maka Gea, dan Renata pasti akan membuat fitnah lain.

"Non Gea mau saya buatkan jus?" tanya Sri, membuat Gea lantas menghentikan langkah, dan berbalik badan.

Melipat tangannya ke dada, Gea memasang wajah garang pada Sri. "Ke mana aja sih, Bi? Aku haus tau! Bikinin jus jeruk sekarang juga!"

"Baik, Non."

"Buatkan untuk saya juga, Bi!" timpal Renata.

"Baik, Bu. Akan saya buatkan secepatnya untuk Ibu sama non Gea," kata Sri. "Lebih baik Ibu sama Non Gea tunggu di ruang tengah saja, nanti akan saya antarkan ke sana."

"Yuk, Mah, kita pergi aja. Di sini bau bawang." Gea mengajak ibunya meninggalkan dapur.

Baik Azka, maupun Zia, kini keduanya bisa bernapas lega. Sri pun ikut lega, karena usahanya membuat Gea, dan Renata pergi dari dapur akhirnya berhasil. Tadi Sri memang sempat melihat Zia, dan Azka di dapur sebelum kemunculan Gea, dan Renata.

Dengan cepat Sri menghampiri Zia, dan Azka, lalu berbisik, "Ayo cepet, Non, pergi sekarang."

"Iya, Bi, makasih ya," ucap Zia, sebelum akhirnya membawa Azka untuk mengikutinya keluar melalui pintu dapur yang menembus ke halaman belakang rumah.

Sampai di halaman belakang, Zia menengok ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang-orang ayahnya yang sedang berjaga. Azka pun mengikuti apa yang dilakukan oleh Zia.

Ini pertama kali bagi Azka melakukan hal seperti ini. Kabur dari rumah, ternyata sensasinya lebih menegangkan daripada main petak umpet.

"Tuan Azka, tolong Tuan lihat ke arah sana ya, kira-kira ada orang pake baju hitam nggak di sana." Zia memerintah sembari menunjuk ke arah kiri. "Aku mau memeriksa ke arah sini."

Azka mengangguk tanpa menjawab, lalu melakukan arahan Zia tadi. 'Aman,' batinnya setelah memeriksa keadaan.

"Di sana aman, Zia," kata Azka seraya mendekati Zia yang kini tampak cemas.

"Benarkah? Kalau gitu, kita lewat sana saja, Tuan." Tanpa menunggu persetujuan Azka, Zia menarik tangan Azka, untuk mengikuti langkahnya. Hal itu sontak membuat Azka lagi-lagi harus menetralkan detak jantungnya.

Sambil berlari mengikuti Zia, Azka melihat tangannya yang ditarik oleh Zia. Rasanya baru kali ini ada perempuan yang berani bersentuhan dengannya selain mantan istrinya dulu.

Setelah berlari sebentar, akhirnya Zia menemukan sebuah pintu gerbang kecil di halaman belakang rumah. Kebetulan pintu gerbang itu hanya dikunci seadanya, membuat Zia tersenyum senang.

"Saya buka pintunya dulu, Tuan," kata Zia, dan Azka hanya mengangguk.

Pada percobaan pertama, Zia gagal membuka pintu gerbang itu. Tak mau terlihat lemah, Zia mencoba sekali lagi dengan mengerahkan seluruh tenaga, dan kemampuannya. Namun, lagi-lagi itu percuma, karena kunci pintu gerbang belum dapat dibukanya.

"Biar saya saja." Azka menawarkan diri setelah merasa iba dengan usaha Zia yang gagal.

Zia pun menyingkir, memberi ruang kepada Azka untuk membuka pintu gerbang itu.

Sama seperti Zia, Azka gagal pada percobaan pertama. Padahal jika dilihat sekilas, kunci pintu gerbang sangat mudah dibuka, tapi ternyata sebaliknya.

Mengambil napas, dan menghembusnya perlahan, Azka mengumpulkan kekuatan untuk kemudian dikerahkan pada percobaan kedua.

Dipegangnya kunci pintu gerbang itu, lalu sekuat tenaga Azka membukanya.

Terdengar suara gesekan besi yang cukup keras, saat kunci pintu gerbang itu berhasil dibuka oleh Azka.

Zia lantas tersenyum senang, apalagi saat melihat Azka membuka pintu gerbangnya. Namun senyuman itu kembali memudar saat ada sebuah suara seseorang terdengar.

"Siapa di sana?"

Sontak Azka, dan Zia saling berpandangan, dengan perasaan ketar-ketir yang menyelimuti mereka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
.........ikut deg-degan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status