Home / Romansa / Satu Malam Bersama Dosen Tampan / Bab 5 Bayang yang Kembali Datang

Share

Bab 5 Bayang yang Kembali Datang

Author: Merah
last update Huling Na-update: 2025-10-24 18:33:38

Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.

Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.

Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.

Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan aroma kertas baru. Suara ketikan laptop berpadu dengan percakapan pelan antar dosen yang tengah berdiskusi ringan.

Namun, semua itu terasa jauh bagi Aira. Pandangannya langsung tertuju ke satu sudut ruangan. Di sana, Adrian Wiratama duduk tegap di balik meja kayu besar.

Kemeja putihnya tampak kontras dengan warna kayu tua di belakangnya, lengannya tergulung rapi hingga siku, menampakkan pergelangan tangan dengan urat halus yang tegas.

Cahaya matahari yang menembus kaca jendela menyorot sebagian wajahnya—menajamkan garis rahang dan menegaskan kesan berwibawa yang alami.

Sorot matanya tajam, tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah kedalaman yang sulit dijelaskan, seolah ada bagian dari dirinya yang selalu berpikir, menimbang, dan tidak pernah benar-benar berhenti.

Aira melangkahkan kakinya ke arah meja Adrian. Begitu sampai di sana, Aira berusaha menata napasnya yang berat, barulah ia memberanikan diri untuk membuka suara.

“Permisi, Pak… saya Aira Prameswari. Penanggung jawab mata kuliah Bapak.”

Adrian menoleh perlahan, jari-jarinya tertaut di atas meja. Tatapannya menusuk, tapi tak menunjukkan emosi apa pun. Beberapa detik berlalu dalam diam sebelum ia berkata datar,

“Duduklah.”

Aira menurut. Kursi di depannya terasa dingin. Ia duduk dengan punggung tegak, menyembunyikan tangan di pangkuan agar tidak terlihat bergetar. Degup jantungnya seolah menggema di telinganya sendiri.

“Saya ingin memastikan kamu paham tanggung jawabmu,” ucap Adrian, nadanya tenang tapi tetap terdapat ketegasan di balik suaranya “Setiap minggu, saya akan memberikan tugas atau pengumuman untuk kelas. Kamu yang akan menyampaikannya ke teman-temanmu. Selain itu, kamu juga bertanggung jawab mencatat kehadiran dan mengumpulkan tugas tepat waktu.”

Kata-katanya sederhana, tapi bagi Aira terdengar seperti beban yang terlalu berat. Ia hanya mengangguk pelan, tanpa suara.

“Mulai minggu depan, setiap Senin pagi sebelum kelas dimulai, kamu datang ke ruang dosen untuk mengambil daftar hadir. Bisa?”

Aira kembali mengangguk. Bibirnya terasa kaku, seolah menolak bergerak. Keheningan turun lagi, lebih tebal dari sebelumnya.

Adrian menatap wajah gadis itu sekilas—bukan dengan maksud pribadi, tapi dengan naluri profesional yang terbentuk dari kebiasaannya mengamati mahasiswa. Meski begitu, ada sesuatu yang mengganjal.

Gerak gugup gadis itu, tatapan yang menghindar, bahkan cara napasnya yang tidak stabil—semuanya terasa aneh. Ia mencoba tidak terlalu memikirkannya, tapi rasa ingin tahu itu menggantung di udara.

Entah mengapa, Adrian merasa seperti ada sesuatu tentang gadis itu yang sulit ia pahami. Sebuah keheningan yang menyelimuti dirinya, seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak rahasia.

Tak ingin terus disibukkan dengan berbagai pikiran yang melintas dalam dirinya mengenai Aira, Adrian memilih menegakkan tubuhnya, lalu mengetik sesuatu di laptopnya.

Ia membuka daftar mahasiswa dan menelusuri nama yang baru saja ia ketahui menjadi penanggung jawab mata kuliah yang ia ampu di kelas gadis itu. Jarinya berhenti pada satu baris data: Aira Prameswari. Sekadar kebiasaan profesional—apakah mahasiswa ini benar-benar bisa diandalkan.

Setelah menunggu beberapa detik, layar laptop Adrian akhirnya menampilkan riwayat nilai, absensi, dan catatan akademik milik Aira. Semua sempurna. Nilai rata-rata A, indeks prestasi tinggi, catatan disiplin tanpa cela.

Adrian akhirnya bersandar, menyilangkan tangan di dada sambil kembali menaruh tatapan ke arah Aira.

“Kamu mahasiswa yang cukup berprestasi secara akademik,” katanya tenang, namun mengandung nada yang nyaris terdengar seperti pujian. “Nilaimu bagus, catatan tugasmu rapi. Saya yakin kamu dapat menjalankan tanggung jawab ini dengan baik.”

“Terima kasih, Pak,” lirih Aira, menangguk pelan setelah berhasil melawan suaranya yang sempat tercekat di tenggorokan.

Adrian memperhatikan sejenak, lalu kembali menatap layar. Tapi pikirannya justru melayang ke tempat lain—ke malam yang seharusnya sudah terkubur di kepalanya.

Bayangan samar, lampu berkelip, dentuman musik, dan wajah seorang gadis dalam kabut alkohol.

Namun yang paling mengganggunya adalah kenyataan bahwa wajah itu tidak pernah jelas di ingatannya. Setiap kali ia mencoba mengingat, gambarnya selalu kabur—seolah diselimuti kabut tebal. Tidak ada bentuk pasti, tidak ada nama yang bisa dihubungkan. Meski wajah gadis malam itu tak pernah benar-benar jelas dalam ingatannya, tapi cukup terasa hidup untuk membuatnya resah.

Ia menghela napas perlahan. Adrian tak mengerti sebenarnya apa yang salah dengan pikirannya, bisa-bisanya setelah menelusuri wajah Aira, ia justru kembali terngiang-ngiang pada bayang gadis di malam itu.

Tidak, itu tidak mungkin. Gadis yang duduk di depannya sekarang terlalu sopan, terlalu baik-baik untuk dihubungkan dengan sosok gadis misterius dari malam itu.

Terlebih dari penampilan hingga catatan akademik Aira semuanya tampak terlalu bersih, terlalu baik. Seolah tidak ada sedikit pun tanda dan cela yang bisa ia yakini bahwa gadis di hadapannya ini pernah menginjakkan kaki di tempat yang dipenuhi alkohol dan musik bising.

Adrian menyilangkan tangan di dada, bersandar ke kursi, mencoba mengurai segala hal yang berserakan di kepalanya. Akhirnya, Adrian mencoba menepis bayangan itu dengan logika.

Dirinya baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ia tidak mengenal banyak orang, apalagi mahasiswa di kampus ini. Hampir mustahil ada kaitan antara dirinya dan gadis itu, selain urusan akademik.

Semua yang terlintas di benaknya pasti hanya efek kelelahan dengan banyaknya urusan dokumen dan admintrasi sebagai dosen baru di kampus ini, atau mungkin juga karena rasa bersalah yang belum tuntas dari malam yang tidak pernah benar-benar ingin ia kenang.

Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, semakin rasa penasaran itu justru tumbuh pelan. Seolah sesuatu di dalam dirinya menolak berhenti bertanya. Ia mencoba menelan napas, menunduk, lalu menatap Aira sekali lagi—kali ini lebih lama, tanpa sadar.

Adrian menarik napas dalam. “Aira…” suaranya pelan, nyaris ragu, “Saya merasa pernah melihatmu sebelumnya. Tapi saya tidak ingat di mana. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Aira menelan ludah susah payah, bibirnya benar-benar tak bergerak. Tak ada kata yang keluar, hanya kepalanya yang ia paksakan menggeleng kaku, kontras dengan jantungnya yang berdetak semakin cepat.

Tak lama, akhirnya ia memilih menunduk, menyembunyikan gugup yang melanda. Ia tidak berani mengangkat kepala, takut jika suara napasnya sendiri bisa membongkar rahasia yang selama ini ia sembunyikan.

Adrian menatap gadis itu beberapa detik lebih lama sebelum pada akhirnya menghela napas pendek, menepis pikirannya sendiri. Lagi pula, ia sempat memperhatikan gerakan kepala Aira atas pertanyaannya tadi. Bukankah gerakan kepala Aira yang menggeleng, sudah cukup untuk menjawab bahwa ia dan gadis itu belum pernah bertemu sebelumnya.

“Sudahlah, mungkin hanya perasaan saya saja,” katanya datar, lalu kembali menatap layar laptop. “Kalau tidak ada yang mau kamu tanyakan, kamu boleh pergi.”

Aira berdiri cepat, hampir menjatuhkan kursinya. Ia menunduk sopan, lalu berjalan keluar ruangan dengan langkah tergesa. Begitu menjejak koridor, napas panjang langsung lolos dari bibirnya. Meski merasa lega, tapi tangannya tetap saja gemetar hebat. Seolah tubuhnya baru saja melewati badai salju yang dahsyat.

“Saya merasa pernah melihatmu sebelumnya…”

Kata-kata itu terus bergaung di kepalanya, seperti mantra yang memanggil kembali semua ingatan malam itu yang berusaha keras ia lupakan, membuat darahnya seakan terasa berhenti mengalir dan jantungnya seperti ingin meloncat dari dada.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 5 Bayang yang Kembali Datang

    Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 4 Takdir yang tak berpihak padanya

    Jam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 3 Pagi yang Mengejutkan

    Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Nam

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 2 Malam yang Tak Terencana

    Setelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.Pintu sebuah kamar terb

  • Satu Malam Bersama Dosen Tampan    Bab 1 Penghianatan yang Menghancurkan

    Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status