Mag-log inJam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.
Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.
Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.
“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”
Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor dari laptopnya dan tanpa sadar menghela napas ringan.
Rasa lega sempat menyapu dada Aira ketika akhirnya lamunan panjangnya terhenti dengan suara Adrian yang sepertinya akan segera mengakhir kelas. Aira buru-buru menutup bukunya, meraih tas, dan tubuhnya bangkit sendiri. Ia hanya ingin keluar dari ruangan itu secepat mungkin—melarikan diri dan menjauh dari pria yang telah membuatnya kehilangan kesuciannya.
Namun langkahnya terhenti ketika suara berat itu kembali terdengar.
“Kamu,” ucap Adrian, pandangannya terarah pada barisan tengah. “Yang di kursi ketiga.”
Aira membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Seluruh tubuhnya menegang. Ia menoleh perlahan—dan benar, tatapan Adrian tertuju padanya.
Tatapan yang sama seperti malam itu: dalam, intens, dan tajam. Tapi kali ini tanpa kabut alkohol dan desah samar yang membungkusnya.“Jangan terburu-buru,” ujar Adrian dengan nada datar tapi tegas. “Saya belum selesai bicara.”
Seluruh kelas sontak menoleh ke arahnya. Bisik-bisik pelan terdengar. Wajah Aira memanas, dadanya sesak. Ia menunduk dalam, menahan napas yang terasa semakin berat sambil berusaha menenangkan diri.
“Maaf, Pak…” suaranya pelan, nyaris hilang di antara deru napasnya sendiri.
Adrian mengalihkan pandangan, melanjutkan penjelasan seolah tegurannya hanyalah angin lalu. Tapi bagi Aira cukup untuk membuat darahnya hampir berhenti mengalir.
“Baik.” Suara Adrian terdengar lagi—tenang, berat, dan terukur. “Sebelum kita akhiri pertemuan hari ini, saya membutuhkan satu orang penanggung jawab mata kuliah ini. Tugasnya sederhana—mengumpulkan tugas, mencatat kehadiran, dan menjadi penghubung jika ada informasi tambahan dari saya.”
Ia berhenti sejenak. Tatapannya berkeliling perlahan, menelusuri wajah-wajah mahasiswa di depannya.
“Silakan tentukan siapa yang akan menjadi penanggung jawab mata kuliah saya,” lanjutnya. “Setelah itu, saya harap mahasiswa yang menjadi penanggung jawab mata kuliah saya, dapat langsung menemui saya di ruang dosen.”
Nada suaranya tetap datar, tapi entah kenapa setiap kata yang keluar terasa berat di telinga Aira. Ia menunduk lagi, tidak berani menatap.
Ketika Adrian menutup laptopnya dan meninggalkan ruangan dengan langkah tenang, suasana hening beberapa detik sebelumnya, akhirnya pecah oleh suara riuh mahasiswa di kelas Aira. Rasanya Aira bukan lagi berada di kampus, melainkan sedang menyaksikan pertunjukan sirkus di pasar malam.
“Gila, gue mau jadi penanggung jawabnya! kalau bisa ketemu Pak Adrian tiap minggu, siapa juga yang nolak?”
“Ya ampun, please aku aja. Tolong izinin aku biar bisa sering ketemu Pak Adrian, dong!”
“Enggak bisa, pokoknya harus aku!”
“Woy, gantian napa, lo pada kan udah ada yang jadi PJ dosen lain. Kali ini gue juga mau!”
Suasana kelas benar-benar meledak tak terkendali dan berubah menjadi arena rebutan penuh tawa dan canda. Aira hanya bisa menatap pemandangan itu dengan kosong dan lelah. Dunia mereka penuh semangat dan rasa ingin dekat dengan dosen muda itu, sementara dunia Aira terasa seperti pusaran ketakutan yang semakin dalam, sehingga membuatnya sama sekali tak mau berurusan lagi dengan dosen muda idaman mereka.
Ia menunduk, pura-pura sibuk memasukkan buku ke dalam tas, meski jantungnya masih berdetak terlalu cepat. Sungguh ia tidak mau ikut dalam hiruk pikuk itu. Ia hanya ingin keluar, bernapas, melupakan.
“Eh, udah, daripada ribut mending kita undi aja,” saran salah satu mahasiswa. “Biar adil!”
“Setuju! Undi aja! Biar enggak ribut!” Sorakan setuju langsung terdengar.
Dalam hitungan menit, kertas kecil disobek, nama-nama ditulis, dan semuanya dimasukkan ke dalam wadah plastik bekas minuman yang sudah kering.
“Yang keluar, dia yang jadi penanggung jawab, ya!” seru teman sekelasnya, Risa, sambil mengocok wadah itu.
Semua mahasiswi tertawa, bersorak, menunggu hasilnya dengan wajah berbinar-binar penuh pengharapan.
Sementara Aira hanya menunduk, menggenggam ujung roknya erat-erat. Dalam hati ia berdoa—berdoa agar bukan namanya yang keluar dari sana. Ia tidak sanggup lagi kalau harus sering berhadapan dengan lelaki itu, bahkan hanya untuk sekadar bertukar kata.
Namun takdir, seperti biasa, selalu saja seperti senang sekali mempermainkannya.
“Dan penanggung jawab mata kuliah Pak Adrian adalah…”
Risa membuka lipatan kecil itu perlahan, dengan senyum jahil di wajahnya, membuat seluruh mahasiswi yang sudah menanti-nanti menahan napas. “Aira Prameswari!”Suara tawa dan tepuk tangan langsung memenuhi ruangan.
“Wah, selamat, Ra!”
“Cieee, hoki banget!”
“Lo bakalan sering ketemu Pak Adrian, tuh!”
“Sumpah, Kalau gue jadi lo, udah pasti bakal seneng mampus!”
“Jangan lupa foto bareng, ya!”
Aira terpaku di tempat. Tak ada keinginan ikut tertawa dalam dirinya. Yang ia rasa malah bibirnya begitu kelu. Dunia terasa berputar pelan. Kertas kecil itu seperti vonis yang jatuh tanpa bisa digugat.
Kata-kata mereka bukan terasa sesuatu yang menyenangkan untuknya, tetapi malam terasa menghantam dadanya seperti palu godam.
Ia hanya bisa mengangguk kecil tanpa suara, sementara teman-temannya masih berceloteh penuh tawa. Aira tersenyum kaku, menyembunyikan kekacauan yang berputar di dadanya.
Mereka tidak tahu—ini bukan keberuntungan, tapi mimpi buruk yang kembali hidup.
“Ini beneran aku yang jadi PJnya? Enggak bisa diganti aja sama yang lain?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Risa terkekeh. “Aturan undian enggak bisa diganggu gugat, Ra. Rezeki lo tuh. Lagian kan kita semua udah sepakat di awal. Kalau diganti terus yang ada anak-anak kelas pada ribut lagi.”
Aira hanya bisa menanggapinya dengan menarik bibirnya membentuk senyum kecil yang dipaksakan.
Dalam hati, ia tahu, ini bukan rezeki, tapi jebakan takdir yang hobi sekali mengerjainya seperti anak kecil.
Ketika satu per satu mahasiswa meninggalkan kelas, Aira masih duduk di kursinya. Tangannya gemetar di atas meja.
Ia tahu, sebentar lagi ia harus melangkah ke ruang dosen. Dan di sana, di balik pintu itu, ada seseorang yang semestinya tidak pernah ia temui lagi.
Benaknya pun terus mengalunkan tanya.
Apa yang akan terjadi nanti?
Apakah Adrian akan mengenalinya?
Atau hanya akan memperlakukannya seperti biasa sebagai mahasiswa yang menjadi penanggung jawab mata kuliah yang diampu oleh lelaki itu?
Ia tidak tahu. Tapi yang pasti, rahasia yang berusaha ia kubur semalam, kini terasa seperti mulai menggeliat di permukaan.
Dan seperti mimpi buruk yang menolak padam, bayangan malam itu—sentuhan, bisikan, dan tatapan mata asing itu—lagi-lagi kembali menjerat pikirannya tanpa ampun.
Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan
Jam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor
Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Nam
Setelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.Pintu sebuah kamar terb
Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik me







