VIOLAAku memandangi Lakeizia dan Kenzio yang sedang berbaring di tempat tidur. Sepasang ayah dan anak itu terlihat asyik memainkan game berdua di gawai masing-masing. Seumur-umur aku belum pernah mengajarkan Lakeizia main game online. Tapi lihatlah apa yang dilakukan yandanya. Sudah sejak tadi keduanya tenggelam dalam dunia maya dan bertarung untuk saling mengalahkan.Aku mendekati keduanya lalu ikut bergabung di tempat tidur. Namun rupanya kehadiranku tidak berarti apa-apa. Ayah dan anak itu masih saja asyik dengan dunia mereka. Aku tidak dianggap.Aku sengaja membuat batuk agar keduanya tersadar bahwa aku ada di sini."Ya, Nda, kenapa? Bunda batuk?" Kenzio merespon tanpa memandang padaku. Seluruh atensinya terenggut habis pada gawai di tangannya. Aku pikir aku adalah prioritas utama hidupnya setelah kami menikah. Tapi ternyata aku salah lagi. Ini baru malam pertama. Baru beberapa jam yang lalu resepsi pernikahan kami berlangsung tapi aku sudah dikalahkan benda persegi panjang itu.
VIOLA Kenzio menyambutku dengan dekapan hangat setelah aku naik ke tempat tidur lalu berbaring di sebelahnya. Bantal bulu angsa yang menyangga kepalaku terasa tidak ada lagi gunanya karena pergelangan tangan Kenzio jauh memberi kenyamanan."Nggak percaya rasanya aku bisa cium kamu kayak gini lagi, Nda." Kalimat Kenzio itu terucap di saat bibirnya berlabuh di pipiku. Dia menciumku lama. Hingga bermenit-menit lamanya bibirnya masih menempel di sana.Aku membalas dengan senyum tipis."Aku juga masih takjub atas semua ini, Zio. Rasanya masih nggak percaya kalau pada akhirnya aku yang menjadi istri kamu. Tadi saat aku berdiri di sebelahmu, menjadi pengantinmu, diam-diam kucubit tanganku sendiri buat meyakinkan kalau semua ini nyata.""Semua ini memang nyata, Sayang. Semua ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak kasih kesempatan buat aku.""You deserve it, Zio," jawabku sembari mengeratkan lingkaran tanganku ke tubuhnya. Dia berhak atas kesempatan itu. Dan aku yakin dia nggak akan pernah
VIOLA “Here we are!” Kenzio mengembangkan tangan sembari berseru pelan ketika kami menjejak di tanah seturunnya dari pesawat. Seperti rencana Kenzio dia mengajakku dan Lakeizia ke Jakarta untuk mengurus pekerjaan serta kepindahannya ke Bali. “Ini udah di Jakarta ya, Yanda?” “Udah, Nak. Kita udah di Jakarta. Kita ke kantor Yanda ya? Biar Kei tau Yanda kerja di mana.”Di dalam taksi yang membawa kami aku merenung sendiri. Bagaimana reaksi orang-orang kalau tahu Kenzio sudah memiliki anak yang telah berumur empat tahun? Sementara sepengetahuan mereka selama ini Kenzio belum pernah menikah dan baru saja menikah. Tahu-tahu datang membawa bocah perempuan. “Yanda,” panggilku pelan pada Kenzio yang duduk di tengah-tengah. Sedangkan aku dan Lakeizia masing-masing menempatkan diri di dekat pintu mobil. Saat sedang bertiga maka aku dan Kenzio akan saling menyebut dengan panggilan Yanda-Bunda. Lain halnya kalau kami sudah berdua. “Ya?” “Kamu yakin buat ngenalin aku dan Kei sama-sama orang ka
VIOLA Setelah memutuskan untuk pindah ke Bali, selama tiga bulan ini Kenzio tidak mengambil job apa-apa. Dia sibuk menyiapkan untuk membuka firma hukum. Kenzio tidak sendiri tapi join dengan dua temannya yang lain. Sebagai istri tentu saja aku men-support-nya habis-habisan. Lalu hari ini adalah hari peresmian kantornya itu. Terletak di pusat kota, firma hukum Kenzio berkantor di sebuah bangunan tiga lantai. Bangunan tersebut dicat menggunakan warna putih dengan gradasi biru yang merupakan warna favorit suamiku itu. Tepat di bagian depan bangunan terdapat plang bertuliskan 'Kenzio Mahanta & Partners'. Arya dan Bima—dua teman Kenzio, yang mengusulkan nama itu. Menurut mereka jam terbang Kenzio sudah tinggi. Selain itu namanya yang sudah dikenal di kalangan advokat menjadi jaminan untuk keberlangsungan usaha mereka. Mengutip ungkapan yang pernah aku dengar dari Yogi, being famous is number one. Nggak peduli lo mau jualan sampah atau racun sekalipun, orang-orang tetap bakal beli jual
KENZIO Berita mengenai kehamilan Viola sudah menyebar ke seluruh keluarga. Mereka semua menyambut dengan sukacita. Namun di antara semuanya jelas aku yang paling bahagia. Akhirnya usaha kami membuahkan hasil. Belakangan Viola memang terlihat lemah, letih dan lesu. Selera makannya pun menurun. Dia mengeluhkan mual yang kukira karena asam lambungnya naik akibat telat dan jarang makan nasi. Namun ternyata ada alasan di balik semua perubahan itu. Viola hamil. Dia mengandung anakku. I’m going to be a dad! Bukan hanya aku, tapi Lakeizia juga sangat bahagia. Setiap hari dia bertanya kapan perut Bunda besar? Kapan adek lahir? Dia begitu antusias. Lalu hari ini aku dan Viola berada di tempat dokter kandungan untuk memastikan kehamilan Viola. Aku ikut tegang menunggu saat Viola diperiksa. Meski dari tempat duduk pasien ada layar besar yang memperlihatkan hasil USG, namun aku memilih mendampingi Viola dengan berdiri di samping bed periksa. Ini adalah hal pertama buatku. Aku begitu excited m
“Kenzio Mahanta …”Nama itu meluncur lancar dari bibirku ketika menyaksikan sosok laki-laki itu dari jauh. Mendadak tubuhku terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu beberapa tahun yang lalu. Tujuh atau delapan tahun yang silam. Ah, aku lupa persisnya. Sosok di hadapanku kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali-kali lipat. Tidak mustahil juga jika aku akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali dia.Dan Kenzio masih saja gagah seperti dulu.Ah, sial. Aku masih saja memujinya.Aku akui aku memang tidak kebal oleh pesonanya sejak dulu. Tapi yang tidak kusangka adalah mesti hitungan tahun berlalu tapi perasaanku padanya tidak berubah.Aku mencintainya.Tapi aku tidak berani berharap lebih. Memangnya siapa aku?Aku ibarat upik abu sedangkan dia adalah pangeran berkuda putih yang sudah jelas tidak akan mau melirik padaku.Sekarang aku bingung harus menghilang atau pura-pura tidak melihat. Aku
Saat pesanku terkirim di saat itulah aku menyadari mungkin aku terlalu to the point. Semestinya tadi aku berbasa-basi dulu. Setidaknya aku bertanya kabar Kenzio atau sekadar say hello. Bukannya langsung menodong minta bantuan.Semenit dua menit hingga sepuluh menit aku menunggu, namun pesanku masih belum dibaca. Mungkin Kenzio sudah tidur. Mungkin ponselnya mati. Atau mungkin dia sudah melihatnya tapi sengaja tidak membalas karena kalimat ‘Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya’ hanya sekadar basa-basi.Lagi pula Kenzio belum tentu masih mengingatku. Selain aku hanya sampah, ada ribuan atau jutaan nama Viola di dunia ini. Apalagi akunku privat dan foto profilku bukan fotoku melainkan sebuah quote sok bijak.Aku mengesah lelah sambil mengucek mata. Angin dingin yang menyerang tubuh basahku membuatku semakin menggigil. Selain mata yang mulai berat, perutku ikut-ikutan lapar. Tadi karena sibuk berkutat dengan laptop aku melewatkan makan malam.Aku membawa tubuh yang semak
Kenzio menyetir kencang di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia tidak bertanya apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sampai begini dan segala macam. Sementara aku juga duduk membeku di sebelahnya. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Tapi sepertinya Kenzio tidak menyadari aku memerhatikannya karena terlalu fokus menyetir. Aroma parfum mahal menguar dari dada telanjangnya. Sudah larut malam begini dia masih saja wangi. Sampai kemudian kami tiba di sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengajakku turun lalu naik ke unit yang ditempatinya. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami terheran-heran melihat Kenzio bertelanjang dada. Namun keheranan mereka melihat Kenzio pasti tidak ada apa-apanya saat melihat gadis kumal berjalan di sebelahnya. Dengan penampilanku saat ini—menggunakan celana tidur kumal, baju kaos kegedean, rambut lepek dan basah serta tidak mengenakan alas kaki, orang-orang pasti mengiraku gembel yang tersesat. Atau gadis dari pelosok kampung yang akan be