Home / Romansa / Satu Malam Untuk Selamanya / Gagal Melarikan Diri

Share

Gagal Melarikan Diri

last update Last Updated: 2024-01-03 11:24:13

"Papa mencari kamu ke mana-mana. Papa cemas kamu nggak pulang semalam."

"Awas, Om, aku mau lewat. Jangan ganggu aku," ucapku mencoba lewat dari depannya. Aku tidak sudi memanggilnya Papa setelah kebiadabannya kemarin.

"Om? Kenapa memanggil Papa begitu? Jadi kamu nggak menganggap Papa sebagai papamu lagi?"

"Nggak akan setelah perbuatan Om kemarin," desisku dingin.

"Ya sudah, terserah kamu. Papa juga senang dipanggil Om, malah kesannya lebih mesra." Dia terkekeh yang membuatku jijik. "Om minta maaf atas kejadian kemarin. Om nggak sengaja, Vio. Om lagi mabuk. Om nggak tau kalau itu kamu. Sekarang kita pulang ya, ada kenalan Om yang bisa membantu kamu ngasih pekerjaan."

Pekerjaan? Aku menyipit tak percaya. Pasti ini akal-akalannya saja.

Oh wait, apa ini ada hubungannya dengan Rita? Apa keduanya bersekongkol untuk menjebakku sehingga aku bertemu dengan Om Hendra di sini?

Tega sekali dia padaku. Aku pikir Rita benar-benar bisa kupercaya.

"Aku nggak butuh kerja, Om. Permisi, aku mau lewat. " Aku mencoba menerobos ‘pagar’ Om Hendra. Tapi dia mencekal tanganku yang membuat tubuhku menggigil ketakutan.

"Kamu nggak akan bisa ke mana-mana, Vio. Ayo pulang sekarang!"

"Nggak mau! Aku nggak mau tinggal sama bajingan kayak Om!"

Om Hendra tertawa mendengar ucapanku. Tawa mengerikan yang pernah ada.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau pulang, tapi—" Om Hendra menurunkan pandangannya pada saku jeansku yang menggembung dipenuhi lipatan uang.

"Kamu pasti tahu maksudnya. Om butuh uang itu sekarang. Tapi ngomong-ngomong dari mana kamu dapat uang sebanyak itu? Kamu jadi simpanan sekarang? Iya?"

Aku mendengkus mendengarnya. "Kalau iya, Om mau apa?"

"Oooo, benar rupanya. Om malah suka. Itu artinya Om nggak perlu repot-repot kerja untuk kamu.” Om Hendra terkekeh lagi.

Hah? Kapan dia menghidupiku? Selama ini malah aku yang menghidupi dia.

"Om mau uang itu sekarang, Viola."

"Nggak akan. Ini bukan uang aku. Walaupun ini uang aku, aku nggak bakal kasih sama bajingan kayak Om!"

Om Hendra mulai kehabisan kesabarannya menghadapiku. Suaranya meningkat beberapa oktaf.

"Jangan paksa Om untuk berbuat kasar sama kamu, Viola!!!" ucapnya keras. Lalu sebelah tangannya turun mencoba menarik uang dari saku jeansku. Sementara tangannya yang lain masih mencekal lenganku.

"Lepasin aku, Om! Atau aku teriak!"

"Teriak aja yang keras, mereka nggak akan dengar." Om Hendra balas menakutiku.

Saat itu tempatku berada sekarang cukup sunyi. Tidak ada orang di sekitar kami.

Aku yang takut setengah mati menyentak tangan dengan keras lalu seperti kemarin menendang kemaluan Om Hendra dengan lututku. Refleks cekalannya terlepas. Dia mengadu kesakitan lalu membungkuk memegang bagian itu.

Aku berlari sekencang-kencangnya menuju parkiran. Tidak kupedulikan barang-barang belanjaan karena keselamatanku jauh lebih penting.

Dengan napas terengah aku mencari tempat bersembunyi. Hanya ada beberapa mobil di parkiran. Seharusnya tadi aku masuk ke supermarket, bukan ke sini. Tapi sudah terlambat. Om Hendra bisa menangkapku jika berbalik.

Aku juga tidak mungkin bersembunyi di balik mobil yang tidak seberapa karena akan begitu mudah ditemukan. Oh Tuhan, ke mana perginya petugas parkir yang biasanya lalu lalang mengatur kendaraan?

Mataku berlarian mencari tempat bersembunyi sampai aku melihat ruang kecil di sudut parkiran yang ternyata adalah toilet. Aku berlari ke sana lalu masuk ke dalamnya.

Napasku begitu sesak. Bukan hanya karena rasa takut Om Hendra akan menemukanku, namun juga karena berlari sekencang tadi. Tiba-tiba aku mendengar pintu digedor dengan keras dari luar yang membuat jantungku hampir meloncat dari rongganya.

“Viola, buka pintunya! Om tau kamu ada di dalam!”

Ya Tuhan,dia menemukanku. Bagaimana ini?

“Viola!!! Buka pintunya sekarang atau Om dobrak!!!”

Aku menyandarkan punggung ke pintu, mencoba menahannya walau aku yakin dengan badannya yang besar dan tenaga kudanya Om Hendra mampu membuat pintu ini lepas dari tempatnya.

Dengan ketakutan aku mengambil ponsel dari dalam saku. Tanganku gemetar mencari nama Kenzio. Aku meneleponnya.

Satu kali, dua kali, hingga lima kali panggilanku tidak dijawab. Air mataku jatuh meleleh di pipi. Sementara Om Hendra di luar sana semakin mendesak.

“Buka pintunya, Viola!!!”

Punggungku merasakan getaran saat dia menggedor pintu dengan sangat keras.

Ponsel masih menempel di telingaku. Berharap Kenzio menjawab.

“Iya, ada apa, Vio?” suara itu akhirnya terdengar. Kenzio menjawab panggilan dariku.

“Kenzio, tolong aku. Aku dikejar Om Hendra,” laporku panik setengah menangis.

“Om Hendra siapa?"

"Dia ayah tiriku."

"Sekarang kamu di mana?"

"Di Megantara, di parkiran basement, di dekat supermarket. Aku di toilet pa—" Sambungan terputus tiba-tiba sebelum aku selesai memberitahu posisiku pada Kenzio. Aku benar-benar menangis kali ini. Aku yakin satu kali dobrak lagi pintu toilet akan terbuka.

"Viola!!! Buka! Om nggak segan-segan mendobrak pintu ini kalau kamu masih keras kepala!" Suara Om Hendra kembali menggelegar.

Aku memeluk diri ketakutan. Ke mana orang-orang? Di mana petugas parkir, pengelola mall atau siapa pun itu? Kenapa tidak ada yang tahu kejadian ini? Apa mereka nggak dengar ada orang berteriak?

Saat aku masih berpikir, satu tendangan keras menghantam pintu. Aku terhuyung dan hampir jatuh mencium lantai.

Om Hendra benar-benar merealisasikan perkataannya. Dia berhasil mendobrak pintu dan menangkapku. Dia menarik tubuhku lalu menyandarkanku ke dinding lalu mengunci hingga aku terperangkap tidak bisa ke mana-mana.

"Tau sendiri kan akibatnya sekarang?" Bentakannya yang keras memekakkan telinga. "Kasih uangnya!"

"Jangan, Om, jangan ambil, ini bukan uangku." Aku merapatkan kedua kaki menyembunyikan bagian saku.

"Jangan bohong kamu. Kasih uang itu sekarang. Atau kamu mau Om yang ambil sendiri di sana?" Om Hendra memandang ke bawah lalu melirik nakal pada kewanitaanku. Tubuhnya semakin merapat mendekatiku, mengunci pergerakanku dalam kungkungannya.

“Tolooonggg!!! Tolong sayaaa!!!” Aku berteriak sekeras yang kubisa dengan tubuh menggigil ketakutan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Aku Nggak Mau Jadi Julietmu

    REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Nikah Sama Aku Ya?

    REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Mantan Kok Bangga?

    ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Ketahuan

    REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Membuka Rahasia Masa Lalu

    REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu

  • Satu Malam Untuk Selamanya   Terbuka Satu Demi Satu

    REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status