Waktu berlalu dengan cepat. Setelah Claire pergi meninggalkan dirinya begitu saja, Levin mencoba kembali menata hidupnya. Sadar kalau usahanya untuk mencari informasi tentang Claire menemui jalan buntu karena setiap orang yang mengetahui keberadaan wanita itu, seperti Nick dan daddy Alex, bersikeras menutup mulut.
Khusus kali ini, Levin tidak ingin meminta bantuan Johan. Jika dirinya ingin menemukan Claire, Levin ingin itu karena usahanya sendiri, bukan karena usaha Johan. Namun Levin juga menyadari kalau dirinya belum memiliki kemampuan dan koneksi luas seperti Johan, jadi inilah yang dirinya lakukan.Fokus pada kuliahnya. Bertekad untuk menyelesaikan kuliah secepatnya, tidak ingin lagi bermalas-malasan. Levin harus bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Apalagi daddy Keenan juga mulai mengungkapkan tentang rencananya yang berharap agar Levin bergabung dengan perusahaan setelah dirinya lulus nanti.Rencana yang cukup berat mengingat selama ini Levin cenderung menNick menjejakkan kakinya di Melbourne. Akhirnya setelah menempuh penerbangan panjang, hari ini dirinya dapat kembali bertemu dengan Claire. Serius, Nick tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya yang bawel. Nick sedang berjalan sambil menyeret kopernya saat namanya dipanggil dengan lantang dan di detik selanjutnya, matanya menemukan Claire sedang melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum sumringah. Senyum yang sangat dirindukannya. Meski mereka video call hampir setiap hari, tapi tetap saja berbeda jika melihat secara langsung kan? Tidak heran kalau pemandangan itu membuat Nick terpaku!Sudah lebih dari dua bulan mereka terpisah jarak membuat rasa rindunya tak terbendung lagi, kini di matanya, Claire tampak jauh lebih dewasa. Wajahnya tetap terlihat cantik, namun raut lelah bergelayut di wajahnya yang terulas senyum lebar, ditambah lagi dengan perut yang mulai membuncit membuat hati Nick berdesir aneh, seolah dirinya sedang disambut oleh sang istri. ‘Shit!
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah Claire pergi meninggalkan dirinya begitu saja, Levin mencoba kembali menata hidupnya. Sadar kalau usahanya untuk mencari informasi tentang Claire menemui jalan buntu karena setiap orang yang mengetahui keberadaan wanita itu, seperti Nick dan daddy Alex, bersikeras menutup mulut. Khusus kali ini, Levin tidak ingin meminta bantuan Johan. Jika dirinya ingin menemukan Claire, Levin ingin itu karena usahanya sendiri, bukan karena usaha Johan. Namun Levin juga menyadari kalau dirinya belum memiliki kemampuan dan koneksi luas seperti Johan, jadi inilah yang dirinya lakukan. Fokus pada kuliahnya. Bertekad untuk menyelesaikan kuliah secepatnya, tidak ingin lagi bermalas-malasan. Levin harus bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Apalagi daddy Keenan juga mulai mengungkapkan tentang rencananya yang berharap agar Levin bergabung dengan perusahaan setelah dirinya lulus nanti. Rencana yang cukup berat mengingat selama ini Levin cenderung men
“Nona, ini bekal untuk anda.” Claire meraih lunchbox yang disodorkan Susan lalu melirik jam tangannya dan terkesiap pelan, menyadari kalau dirinya hampir terlambat.“Aku harus berangkat sekarang. Bye, Susan!” “Hati-hati, Nona. Jangan tergesa-gesa seperti itu, anda sedang hamil!” teriak Susan, cemas dengan sikap nona mudanya yang tampak ceroboh. Seolah tidak sadar kalau di dalam tubuhnya ada nyawa lain yang sedang berkembang.Claire hanya melambaikan tangan namun tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Dirinya harus berkejaran dengan waktu agar tidak terlambat. Sejak pertama kali bekerja, Claire selalu menggunakan metro sebagai transportasi utama, bukan taksi, apalagi mobil pribadi. Sejak awal tinggal disini, Claire ingin hidup mandiri, bukan hidup mewah bagaikan anak manja. Jadi inilah yang harus dilakukannya selama 5 hari dalam seminggu. Sibuk berkejaran dengan waktu agar tidak ketinggalan metro atau dirinya akan terlambat masuk kerja, hal yang sangat Cla
Claire baru saja selesai mandi saat ponselnya berdering. Video call dari Nick. “Hei, you!” sapa Claire dengan senyum lebar. “Kamu kelihatan senang, apa ada kabar baik tentang pekerjaan?”“Semoga ada. Hari ini aku baru saja interview dengan dua perusahaan. Tinggal menunggu kabar dari mereka saja. Semoga mereka bisa memberiku kabar baik.”“Wow, aku yakin mereka pasti akan memberikan kabar baik untukmu. Jika tidak, mereka yang akan rugi dan menyesal karena sudah menyia-nyiakan calon karyawan sepotensial kamu,” dukung Nick. Claire terkekeh. Nick selalu menyemangatinya dalam keadaan apapun. Setelah itu obrolan mereka berlanjut hingga Claire mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya setiap waktu. Pertanyaan tentang Levin.“Hmm… Apa Levin ada tanya mengenai aku sama kamu?” Nick mendesah pelan, sadar kalau sebelum mengajukan pertanyaan itu padanya, Claire pasti harus melalui perdebatan batin lebih dulu. “Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu ap
Keesokan paginya…Levin terbangun dengan kondisi yang mengenaskan. Rasa pusing mendera kepalanya hingga terasa berputar, perutnya mual, tenggorokannya kering, tubuhnya limbung, penampilannya kacau balau. Tanpa perlu berkaca pun Levin yakin kalau dirinya terlihat sangat berantakan bagaikan orang yang tidak memiliki tujuan hidup! Pria itu mengerang kesal dan berusaha bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka, bukan hal yang mudah, karena setiap langkahnya terasa goyang seolah kamar ini dilanda gempa bumi. Dengan susah payah Levin berhasil melakukan niatnya. Levin menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Tepat seperti dugaannya, wajahnya terlihat kacau, berantakan dan menyedihkan. Tetes air membasahi wajahnya. Meski kepalanya masih terasa pusing, tapi setidaknya sudah lebih baik daripada tadi. Otaknya pun mulai dapat mencerna kejanggalan yang ada. Levin mengernyitkan kening, mencoba mengingat-ingat bagaimana caranya hingga dirinya bisa tiba di hotel ini? Siapa
Claire termenung setelah menutup telepon dari Nick. Menyadari kekhawatiran Nick terhadapnya membuat Claire kian sedih. Kata andai yang sudah lama berlalu pergi dari benaknya kini kembali menyelimuti hati dan pikirannya, lagi. Andai Claire tidak clubbing malam itu, dirinya pasti tidak akan berada dalam keadaan hamil seperti sekarang ini. Andai Claire tidak hamil, sekarang dirinya pasti sedang menikmati pekerjaannya di kantor daddy Alex, tidak perlu mengasingkan diri seperti ini di Melbourne. Andai Claire tidak mengenal Levin, dirinya pasti tidak akan terombang-ambing oleh kegalauan hatinya hanya karena sikap dan perhatian pria itu. Hah, ini semua memang kebodohan dan kesalahannya karena tidak bisa menjaga diri hingga membuat Levin dapat mengambil keuntungan darinya berkat kelicikan Mia. Tidak seharusnya Claire percaya pada Mia atau orang lain selain Nick. Harusnya Claire mengikuti feelingnya kalau tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat dirinya perca
Claire duduk di teras depan bersama Susan. Asyik menikmati waktu sore sambil menikmati teh dan biscuit. Menatap orang yang sibuk berlalu lalang karena rumah yang dibeli oleh daddy Alex memang berada di area yang cukup ramai. Dimana ada café, minimarket, toko roti, dan lain sebagainya. Tidak perlu berjalan terlalu jauh dan Claire bisa mendapatkan apa yang diperlukannya dengan mudah. Claire sadar kalau rumah yang daddy Alex beli ini pasti harganya tidak murah, mengingat berada di lokasi yang terbilang sangat strategis, tapi Claire tidak bisa protes karena daddy Alex melakukan hal ini untuk kebaikan dan kenyamannya serta si kecil. “Rasanya cukup menyenangkan hidup seperti ini dimana setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing.”Claire mengangguk, membenarkan ucapan Susan. Ya, ini hari ketiga dirinya tinggal disini, meski rumah di kiri kanannya berpenghuni, tapi tidak ada yang mengusiknya sama sekali. Hal yang sangat Claire syukuri karena dirinya memang ingin me
Mia mengepalkan tangannya dengan erat. Kesal dengan respon Nick yang tidak bersahabat. Kesal karena pria itu menutup mulut rapat-rapat tentang keberadaan Claire. Bahkan sejujurnya, Mia merasakan dengan jelas kalau selama beberapa minggu terakhir sikap Nick kepadanya semakin ketus dan dingin, yang artinya akan semakin sulit baginya untuk mengorek informasi dari pria itu! Ya, sejak kehebohan tentang Levin yang bersitegang dengan Nick karena menanyakan keberadaan Claire menjadi berita utama di seluruh kampus selama berhari-hari, selama itu pula Mia berusaha mencari tau tentang keberadaan Claire melalui orang suruhannya, tapi sialnya, mereka tidak bisa mendapatkan informasi apapun. Beginilah sulitnya jika memiliki informan versi budget, karena koneksi yang mereka miliki terbatas hingga Mia tidak bisa mengandalkan mereka sepenuhnya dan hanya bisa gigit jari saat mereka menyerah dengan pekerjaan yang ditugaskan. Maka dari itu Mia nekat bertanya pada Nick, tapi jawaban dan s
Levin menghela nafas frustasi, tidak tau harus berkata apalagi. Harapannya sirna. Pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di benaknya tetap tidak mendapat jawaban. Alasan dari kepergian Claire tetap menjadi teka-teki baginya. Entah sampai kapan. Mungkinkah selamanya? Atau ada satu waktu nanti pertanyaannya terjawab? Daddy Alex yang melihat betapa frustasinya Levin hanya menatap pria muda itu dengan tatapan iba, namun sadar dirinya tidak bisa melakukan apapun. Janji tetaplah janji dan harus ditepati. Daddy Alex sudah berjanji pada Claire untuk tidak mengatakan apapun jika ada yang menanyakan tentang kepergiannya. “Sepertinya malam ini waktu kamu yang berharga terbuang percuma karena saya sama sekali tidak bisa memberitahu apapun. Lebih baik sekarang kamu pulang dan istirahat, Levin. Jangan lagi mencari Claire, fokus saja pada kehidupanmu sendiri. Jangan buang waktu untuk mencari informasi yang tidak mungkin kamu dapatkan.”Ucapan daddy Alex menyadarkan Levin kal