"Aku ingin menghabiskan malam ini denganmu.”
Spontan saja, pria bernama Harry sedikit menjauh. Raut wajah kaget tercetak jelas di sana. Bagaimana mungkin dua orang asing harus menghabiskan malam bersama. Mereka tidak saling mengenal, itu poin pentingnya. “Menghabiskan malam denganmu? Memangnya, kau pikir siapa kau ini, Nona?” Emily terdiam sejenak sebelum berkata, “Apa kau keberatan? Aku ingin menghabiskan malam panas denganmu. Tidakkah itu sangat jelas kukatakan?” Pria asing itu memasang wajah bingung, setelah tahu permintaan Emily. Harapan besar juga terpancar jelas di kedua bola mata Emily. “Aku terlalu sibuk untuk melakukan hal itu,” jawab Harry santai, kini kedua tangannya bersedekap di atas bidang dada tegapnya. “Coba beritahu apa yang bisa kau janjikan padaku hingga aku mau melakukannya denganmu, Nona.” Bukankah itu sebuah tawar menawar? Emily kemudian berpikir. Apa yang harus diberikan agar pria asing itu mau memenuhi keinginannya malam ini. Emily tidak bisa kehilangan kesempatan untuk membalas perbuatan Jorell padanya. Ini tidak boleh hilang begitu saja. Kembali memandang Harry, Emily sedikit tergesa-gesa, sebab khawatir Harry benar-benar menolak. “Apa pun itu!” ucapnya meyakinkan, “akan kulakukan apa pun, asalkan aku tidak sendirian malam ini.” Memohon kembali, Emily sangat berharap pada Harry untuk segera mengabulkan keinginannya. “Asal kau tahu, aku juga tidak punya tempat tujuan. Hidupku sudah hancur dalam seketip mata. Apa kau tidak punya belas kasihan sedikitpun padaku yang kini bahkan tidak tahu harus menginap di mana? Di mana hati nuranimu?!” Suara Emily mulai bergetar, air mata siap lolos dari kelopak mata. Bagaimana bisa pria asing ini tak tergoda pada ajakannya. Apakah benar yang Jorell katakan padanya tadi? Itu masih terngiang jelas di gendang telinganya. “Kau tampan, tetapi rupanya kau pria yang kejam!” cibir Emily dengan tekanan. Seolah terpancing, Harry merasa terhina akan perkataan Emily terakhir. Apa maksud Emily, pikirnya. Dia yang memohon, dia juga yang menghina. Sungguh, ini di luar nalar Harry yang tak asing dengan hal-hal seperti ini. “Siapa biilang aku kejam?” tanya Harry seraya memaju langkah mendekati Emily, yang tak sama sekali memudar tatapan. Hingga memangkas banyak jarak di antara keduanya. “Kau tidak mengenalku, Nona. Apa mau ku buktikan apakah aku ini kejam atau tidak, Nona?” Bisikan Harry bak angin kencang—menelusup masuk ke dalam lubang telinga Emily. Itu sangat menusuk, membuat Emily mematung diiringi degupan kencang detak jantungnya. Suara berat Harry menghidupkan bulu-bulu tangan Emily. Seolah lupa akan kepala yang hampir pecah efek minuman keras tadi. “Kau yakin, Nona?” Harry berbisik sekali lagi meyakinkan Emily. “Kau tidak akan menyesalinya, bukan?” “Tidak! Akulah yang memohon padamu malam ini. Tolong bantu aku hanya sekali ini aja. Aku ingin merasakan apa yang mereka perbuat kepadaku,” jawabnya dengan cepat, seakan-akan tak bisa menjeda. “Baiklah,” kini Harry menerima tawaran Emily penuh yakin, “kalau begitu, kita akan melakukannya di tempatku. Bagaimana menurutmu, Nona?” “Emily,” jawabnya. “Namaku, Emily. Kau boleh membantuku ke tempatmu, bukan? Aku tidak bisa berjalan sendiri.” Harry tersenyum kecil. Sungguh menarik sekali pikirnya Emily ini. Tanpa tahu sama sekali, Emily tidaklah pro dalam melakukan hal yang dimintanya pada pria asing itu. “Aku akan menggendongmu, tetapi kita harus membayar tagihan sebelum berlalu pergi dari sini.” Dan begitulah, Emily maupun Harry meninggalkan bar. Menggendong tubuh mungil Emily yang terbalut gaun hitam ketat membentuk lekukan tubuhnya, Harry rasakan betul wangi parfum dan shampo gadis malang itu menyapa penciumnya. Itu sangatlah menenangkan. Melihat wajah mungil yang sedang memejamkan kedua mata, Harry bertanya-tanya dalam langkahnya. Pria brengsek mana yang mencampakkan gadis secantik Emily hingga berselingkuh di depannya. Sungguh, pria itu sangat bodoh. Setibanya di kamar tipe presidential suite milik Harry, pria lajang berusia 35 tahun itu, segera membaringkan Emily yang barusan membuka kedua mata. Mengedar pandangan ke sekeliling ruangan, Emily takjub. Itu berbeda dari kamar yang ditempati Jorell tadi. Kamar yang seharusnya menjadi tempat sepasang kekasih itu merayakan ulang tahun Jorell, sekaligus tempat melepas rindu setelah seminggu tak bertemu. “Kau tunggulah sebentar, Emily,” kata Harry, hendak meninggalkannya sendiri dalam lamunan yang kelam. “Kau tidak akan pergi, ‘kan?” Pertanyaan Emily menghentikan langkah Harry, “tolong jangan pergi menyisahkanku dengan sepi.” Harry hanya mengangguk dan segera berlalu ke ruang ganti. Aroma citrus milik Harry masih tertinggal seiring kepergiannya. Pekat dan sangat maskulin menurut Emily. Berbeda dengan milik Jorell, penuh segar dari sensasi mint. Emily tersenyum getir saat ingatannya kembali membayangkan Jorell bersama selingkuhannya bermain panas di atas ranjang tadi. Suara lenguhan kepuasan dari keduanya juga turut menambah rasa sakit dalam diri. Berakhir dengan minuman keras di bar, kini Emily harus bersama dengan pria asing untuk membalas semua perlakuan Jorell padanya. Entah bagaimana malam ini akan berakhir nantinya. Apakah ia akan merasa puas, atau merasa terobati akan perlakuan Jorell, dan tak lagi membenci lelaki brengsek sepertinya. Entahlah. Emily sudah tak lagi bisa berpikir jernih. ‘Bagaimana bisa aku yang menghancurkan hubungan ini?’ ‘Aku egois? aku juga yang membuat cintamu pudar? Bagaimana mungkin semua itu kau limpahkan padaku.’ ‘Kau bahkan tidak tahu rasanya aku merindu selama kita tidak bersama. Aku menunggu hari ini dengan penuh semangat. Mengapa kau sangat kejam padaku. Kau menipu perasaanku, Jorell.’ Lagi, air mata terjatuh dalam diam. Sebuah telapak tangan tiba-tiba menghapus dengan lembut. Ya, Emily hampir lupa kalau ia tidak sendirian disini. “Kau menangis lagi?” Harry duduk di sisi ranjang, memandang wajah Emily, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Emily menggeleng, “aku sudah siap. Kau boleh menyentuhku dan berikan aku kepuasan malam ini.” “Asal kau memberikanku izin, aku akan memberikan apa yang kau mau,” jawab Harry, kini mulai melingkarkan kedua tangan dipinggang kecil Emily. Saling berhadapan kini, Harry membantu Emily yang sudah tak sabaran membuka resleting gaun di sebalik badannya. Hingga kedua orang itu tak lagi mengenakan sehelai benangpun. “Kau siap, Emily?” bisik Harry, tepat di daun telinga Emily dengan suara menggoda. “Aku akan memulainya. Kau bisa menikmati malam ini dan lupakan kesedihanmu.” Anggukan Emily menandakan izin dari si pemilik tubuh. Satu kecupan lebih dulu mendarat di bibir tipis berwarna merah cherry miliknya, yang disusul dengan sentuhan lembut di kulit putih Emily. Harry menjadi dominan. Dia mengarahkan Emily yang tak mampu mengimbangi pergerakan-pergerakan Harry di atas sana. Suara lenguhan dari mulut Emily mengudara, memenuhi rungan kamar sang pria asing hingga keduanya bersatu menciptakan suara decapan khas percintaan di kamar itu, sampai di mana pencapaian keduanya berakhir. Menandakan malam itu, adalah malam yang tak pernah Emily maupun Harry lupakan. Saat pagi tiba, Harry tak menyangkah, kalau dia benar-benar tergiur akan ajakan Emily. Padahal, sebenarnya Harry hanya ingin memberikan tempat menginap untuk gadis malang sepertinya. Dan pagi ini, Harry benar-benar sangat menyesali perbuatannya, sebab dia tau, Emily bukanlah teman one nigh stand yang biasa dia jumpai di bar lainnya, saat penyatuan kemarin tak segampang yang Harry rasakan. Ya, Harry sangatlah yakin, malam kemarin adalah pertama bagi seorang Emily. “Dia sudah pergi? Secepat itu?” Harry mengedarkan pandangan, tak mendapati tubuh mungil yang sempat meminta kehangatan di sampingnya. Hanya secarik kertas putih, yang tampak tinggal di atas nakas. Harry meraih kertas putih itu, yang ternyata di selipkan 1 lembaran uang kertas berwarna merah, kini dia membaca tiap-tiap kalimat yang tertulis di sana. ‘Terima kasih, kau sudah memberikanku kenyamanan kemarin malam. Jika suatu saat kita bertemu lagi, kuharap kau tak mengenaliku. Aku juga berjanji padamu, tidak akan mengingatmu dalam sadarku. Satu lagi, aku hanya bisa memberimu sedikit dari sisa uangku. Sebab aku butuh ongkos untuk pulang.’ Gila saja! Harry tertawa kecil setelah habis membaca pesan dari Emily. Dia benar-benar tak percaya, malam kemarin dia hanya dibayar 1 lembar uang merah?“Emily?” Jantungnya nyaris berhenti. Suara itu … membuat Emily menoleh ke belakang. IDi sana, berdiri seorang pria yang tak tahu malu. Membuat momen sore indah itu malah tidak sebaik tadi. Sungguh, Emily benci kehadirannya di sini. “Jorell.” Suaranya terdengar tajam dan dingin. Pria itu menyunggingkan senyum santai. “Aku tak percaya … kau lebih dulu tiba di sini, Emily. Kau lebih pintar dari yang kuduga.” Jorell kini berjalan. Dia menghampiri Emily dengan senyum penuh maksud. Emily tidak menyambut. Matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Aku? Aku ingin bertemu dengan orang tuamu. Kau pikir, karena kekasih barumu menekan orang tuaku, aku akan tinggal diam saja? Aku akan menuntut balik semua yang digunakan oleh ibu dan ayahmu.” “Emily mendengus. “Kekasihku? Kau benar-benar tidak waras.” “Jangan pura-pura suci! Kau pikir aku tidak tahu? Orang tuaku mendapat surat somasi! Ancaman langsung ke pabrik kami! Nama kekasihmu—si Harry itu—tertulis jelas!” Emily menahan n
"Akhirnya kau pulang juga," kata Iriana, ibu tiri Emily yang baru saja menyambut kedatangan pulang ke tempat kediaman orang tuanya dulu. Emily menyoroti kedatangannya saat ia membawa tas. "Apa yang kau bawa dari kota?" Dia bertanya lagi tanpa memikirkan Emily yang sudah melakukan perjalanan selama 3 jam lamanya."Emily?" Sosok ayah muncul dari depan serta memandang Emily penuh kerinduan."Ayah," ucapnya, kini meletakkan tas di atas sofa kemudian mendekati sang ayah untuk memeluk.Emily berhamburan ke dalam pelukan sang ayah. Memeluk pria yang tak lagi muda itu dengan penuh kasih meskipun ia tahu rasa sakit dalam diri ditimbulkan dari hubungan yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. Iriana yang melihat pemandangan seperti itu rasanya sangat jengkel. "Apa kabarmu, Ayah?" tanya Emily, melepaskan kini dekapannya untuk memandang wajah nya."Ayah sehat, Emily. Kenapa tidak kau katakan pulang hari ini? Ayah bisa menjemputmu, Nak," ucap Ayah Bens, kini mengusap puncak kepala Emily.Emily me
“Kau tidak lelah, ‘kan?” tanya Harry, kini memilih duduk di samping Emily.Mereka mengikuti acara inti dari gathering perusahaan. Setelah bersama tadi, Emily memilih kembali ke kamarnya sebelum menimbulkan gosip baru.Emily menggeleng dengan sebuah senyum. “Tidak. Aku suka dengan acara seperti ini sejak Paman Kendrick mengadakannya beberapa tahun lalu.”“Wow, kau memuji?”“Tentu saja,” jawab Emily sedikit mendekat ke Harry untuk berbisik. “Paman adalah pria terbaik yang kukenal, Harry.”Emily terang-terangan memuji Papa dari pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Karena sejauh Emily mengenal keluarga dari Paman Kendrick tak pernah ada kekecewaan yang dibuat oleh keluarga tersebut terhadap ia, ayah, dan ibunya. Pun dengan mendiang dari ibu Harry."Dia sangat menyayangimu asal kau tahu, Emily," jawab Harry lagi dengan senang.Emily tak percaya begitu saja. "Bagaimana bisa kau tahu?"Harry mengulas sebuah senyum. "Nanti aku beritahu semuanya."Nama Harry terdengar dari depan sana. Pembaw
"Duduklah denganku, Emily," ucap Salvina, kini menggenggam tangan Emily.Acara gathering dari perusahaan telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Harry."Bukankah kata Pak Hans kita memiliki nomor kursi masing-masing, Salv?"Salvina mengingat sejenak. "Astaga ... Aku lupa. Semoga saja, kita duduk bareng."Momen yang ditunggu oleh Emily maupun Salvina akhirnya datang juga. Keduanya memang ingin sekali berlibur bersama dengan teman-teman mereka. Mengenakan pakaian santai dengan sepatu kets kesukaannya, Emily sudah tampak sangat siap mengikuti rangkaian acara perusahaan tempat ia bekerja.Kedua Gadis itu sudah mendapati nomor tempat duduknya masing-masing, dan kini keduanya sedang berjalan menuju bus yang telah tersedia di halaman perusahaan untuk mengantarkan mereka ke tempat lokasi acara."Aku di sini, Emily," kata Salvina, yang menemukan lebih dulu tempat duduknya."Sepertinya aku di bagian—"Ucapan Emily harus terjedah. Ketika ia dapati sosok pria yang ia kenal duduk di salah satu
Setibanya Emily di meja kerjanya, ia duduk dalam diam seraya memandang pada layar komputer, tak lama senyum mengembang membingkai wajah cantiknya kini.'Astaga. Apa aku mulai tertarik padanya?'Sempat membatin, Emily menggeleng-gelengkan kepala."Woi!"Seketika saja Emily terlonjak kaget. Suara itu berasal dari Salvina yang baru saja tiba di depan meja kerjanya dan hendak duduk."Kau benar-benar keji, Emily," bisik Salvina, seolah merasa kesal. Padahal perempuan itu merasa senang karena Emily sepertinya sedang bahagia.Ya, Salvina memang bertekad untuk mempersatukan Emily dengan Atasan mereka."Keji? Kenapa aku keji?"Salvina memberutkan bibir. "Kau pura-pura bodoh. Aku tahu kau dijemput sama atasan baru kita, 'kan? Kalian bermesraan di mana tadi?"Sontak saja Emily menempelkan jari telunjuknya di atas bibir dengan takut, ia meminta Salvina untuk tidak berkata sembarangan di tempat mereka bekerja."Jangan membicarakan hal itu di sini, Salv. Aku gak mau jadi bahan gosipan anak-anak di
Harry: Aku tunggu di depan pintu basement.Sejak kemarin malam Harry tidak sabar untuk bertemu dengan Emily pagi ini. Ia berniat untuk mengejar Emily agar hubungan mereka semakin dekat dan akrab dengan cepat.Tidak peduli dengan ucapan Emily akan keputusannya saat terakhir kali di ruangan kerja Harry.Emily meminta waktu pada Harry agar memikirkan keputusan terbaik dalam memulai hubungan baru dengannya.Mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, Harry penuh semangat berdiri di samping pintu keluar masuk basement untuk menantikan kedatangan wanita yang kini mengubah harinya.Hampir 15 menit lamanya, Harry mendapati kedatangan Emily ang kini mengenakan atasan putih motif bunga dengan rok ketat dengan tergesa-gesa seraya memandang padanya yang sudah mengulas senyum."Kau sudah lama di sini?' tanyanya dengan ekspresi khawatir.Harry mendekat. Ia tersenyum seraya menggeleng kepala. Harry sentuh rambut Emily yang sedikit berantakan."Aku baru saja tiba. K