Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 147: Persekutuan Tiga Sayap

Share

Bab 147: Persekutuan Tiga Sayap

Author: Ragil Avelin
last update Last Updated: 2025-08-09 20:05:12

Hari-hari berikutnya di Alevor tidak lagi diisi duka semata. Setelah kedatangan Lysira dan naga peraknya, istana mendadak menjadi tempat diplomasi baru. Para penasihat kerajaan, prajurit elit, bahkan penyihir tua dari Akademi Sinar Utara dipanggil untuk menyusun langkah menghadapi ancaman yang akan datang.

Elira duduk di kursi pemimpin ruang strategi—kursi yang dulunya ditempati Riyel, tapi kini terasa asing dan berat.

“Aku tahu kalian masih meragukan niat Kerajaan Angin,” ucap Elira, suaranya mantap. “Tapi kita tidak punya kemewahan untuk curiga terlalu lama. Jika yang dikatakan Lysira benar, kita butuh mereka.”

Salah satu penasihat, seorang pria tua berjenggot abu-abu, mengangkat tangan. “Kita bahkan belum tahu bagaimana bentuk ancaman ini. Apa bukti bahwa naga hitam itu benar-benar akan bangkit?”

Elira menoleh ke Lysira yang duduk di sisi ruangan. Wanita itu berdiri, matanya tajam dan jernih.

“Di utara, tanah mulai merekah dan asap hit
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 148: Bayangan di Gerbang Malam

    Kabut gelap merayap di tepi Pegunungan Elyra, menelan puncak-puncak batu yang biasanya memantulkan cahaya matahari pagi. Kael berdiri di tebing paling tinggi, memandang ke arah awan hitam yang berputar di kejauhan. Di belakangnya, pasukan bersenjata lengkap berbaris rapi, namun tatapan mereka menyiratkan ketegangan yang sama.“Aku tak suka ini,” gumam Arven yang ikut berdiri di sisi Kael. “Udara di sini terlalu... berat. Seperti ada sesuatu yang mengintai.”Kael menarik napas panjang. “Bukan ‘seperti’, Arven. Memang ada.”Tiba-tiba, angin menderu membawa suara serak yang seperti berasal dari ribuan mulut sekaligus. Suara itu berbisik dalam bahasa kuno yang bahkan Kael sulit mengerti, namun maknanya jelas: Gerbang akan terbuka.Di sisi lain, Elira dan Lysira memimpin kafilah menuju Lembah Nirva. Jalanan di sana lebih tenang, tapi kesunyian itu justru terasa memancing waspada. Burung-burung tak berkicau, pohon-pohon tidak bergoyang meski angin lewat

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 147: Persekutuan Tiga Sayap

    Hari-hari berikutnya di Alevor tidak lagi diisi duka semata. Setelah kedatangan Lysira dan naga peraknya, istana mendadak menjadi tempat diplomasi baru. Para penasihat kerajaan, prajurit elit, bahkan penyihir tua dari Akademi Sinar Utara dipanggil untuk menyusun langkah menghadapi ancaman yang akan datang.Elira duduk di kursi pemimpin ruang strategi—kursi yang dulunya ditempati Riyel, tapi kini terasa asing dan berat.“Aku tahu kalian masih meragukan niat Kerajaan Angin,” ucap Elira, suaranya mantap. “Tapi kita tidak punya kemewahan untuk curiga terlalu lama. Jika yang dikatakan Lysira benar, kita butuh mereka.”Salah satu penasihat, seorang pria tua berjenggot abu-abu, mengangkat tangan. “Kita bahkan belum tahu bagaimana bentuk ancaman ini. Apa bukti bahwa naga hitam itu benar-benar akan bangkit?”Elira menoleh ke Lysira yang duduk di sisi ruangan. Wanita itu berdiri, matanya tajam dan jernih.“Di utara, tanah mulai merekah dan asap hit

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 146: Sepeninggal Raja Api

    Tiga hari telah berlalu sejak Riyel menghilang dalam cahaya perak di medan perang. Tiga hari sejak keheningan menyelimuti seluruh Alevor—bukan keheningan karena ketakutan, melainkan karena duka yang mendalam. Kota itu masih berdiri, tapi jiwanya terasa kosong. Rakyat berjalan tanpa semangat, pasar-pasar sepi, dan lonceng kuil berdentang pelan setiap pagi seolah meratapi sang Raja.Elira berdiri di balkon istana, mengenakan jubah putih berkabung dengan lambang naga emas tersemat di dada. Matanya bengkak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Ia sudah menangis selama tiga malam berturut-turut. Kini yang tersisa hanyalah kehampaan... dan beban.“Rakyat menunggumu,” ucap Arven pelan dari belakang.Elira menoleh, menatap adik tirinya yang juga tampak kelelahan. Bekas luka di pipinya belum benar-benar sembuh. Tapi mata itu—mata yang dulu sering nakal dan penuh ambisi—kini terlihat matang dan tulus.“Aku tidak siap,” jawab Elira lirih. “Aku bukan dia. Aku

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 145: Nafas Terakhir Alevor

    Bau darah dan besi memenuhi udara. Tanah berlumpur telah berubah warna menjadi merah tua. Di antara mayat yang berserakan, Elira masih berdiri, meski lututnya bergetar, dan pundaknya nyaris tak kuat lagi menopang beban pedang yang berlumur darah. Langit belum juga berganti fajar. Waktu seolah menolak berjalan, membekukan mereka dalam malam yang abadi. Jeritan dan denting pedang masih bersahut-sahutan, tapi jumlahnya tak sebanyak sebelumnya. Pasukan Alevor telah terkikis nyaris habis. Barisan musuh pun mulai melemah, tapi jumlah mereka masih terlalu mendominasi. “...Kita tak akan mampu bertahan satu serangan besar lagi,” ujar prajurit tua di samping Elira, dadanya berlumur luka. “Tapi kita sudah lebih dari cukup memberi waktu bagi keluarga kerajaan melarikan diri.” Elira menunduk, mengangguk perlahan. Ada luka besar di pelipisnya. Tapi matanya masih nyala. Api itu belum padam. Dari arah barat, tiba-tiba terdengar ledakan heb

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 144: Kepungan dalam Diam

    Langit di atas Kastel Alevor tampak muram, seolah menyimpan firasat buruk yang menggantung di ujung senja. Kilatan petir sesekali menyambar di kejauhan, menyoroti dinding batu kastel yang kini tampak lebih suram dari biasanya. Di dalam ruang utama, Kalandra berdiri tegak di samping meja panjang yang dipenuhi peta-peta tua dan gulungan laporan. Jubah ungunya menjuntai ke lantai, dan matanya menyipit penuh tekanan.“Pasukan dari utara tak kunjung mengirimkan balasan. Sudah dua utusan yang tidak kembali,” lapor salah satu penjaga dengan napas terengah.Kalandra menoleh, tatapannya tajam. “Artinya kita telah dikepung dari arah yang tidak kita sadari.” Suaranya rendah, tapi tegas. Ia menyentuh peta dan menarik garis dari timur ke barat, menghubungkan dua titik penting. “Jika gerbang timur berhasil dijatuhkan, kita hanya punya dua pilihan: menyerah atau membakar semuanya.”Di sudut ruangan, Elira mendengarkan dengan penuh kecemasan. Rambutnya dikepang sederhana,

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 143: Nyala yang Tak Bisa Padam

    “Dia sudah berubah…”Kalimat itu keluar lirih dari mulut Bayne yang berdiri di reruntuhan kuil tua, tatapannya mengarah ke langit yang baru saja diterangi cahaya perak dari dalam Fractalis. Aira. Ia tahu siapa yang telah membangkitkan energi itu. Dan ia juga tahu, sesuatu yang sangat besar baru saja terbangun.Dari balik bayangan reruntuhan, muncul Eltheria, sosok peri langit tua yang sudah lama menghilang dari peredaran. Rambutnya menjuntai seperti kabut tipis, dan mata ungunya berpendar redup.“Kau datang terlambat, Bayne,” ucap Eltheria dengan suara berat.Bayne mendengus, menyarungkan pedangnya kembali. “Aku tak ingin datang… kalau bukan karena dia.”“Eltheria,” lanjutnya, “apa yang terjadi padanya?”“Eltheria tidak tahu pasti,” jawab sang peri. “Tapi ketika penjaga terakhir bersatu dengan Fractalis, akan ada konsekuensi yang bahkan dewa-dewa lama pun enggan mencampuri.”Bayne menunduk. Tangannya mengepal, bukan kare

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status