Malam itu turun dengan cara yang berbeda—bukan seperti selimut gelap, melainkan rahang besar yang menganga, siap menelan segalanya. Kara berdiri mematung, tubuhnya menghadap arah suara itu datang, namun pikirannya melayang ke tempat yang lebih dalam—lebih kelam dari bayang Valen, lebih dingin dari tatapan Draven.“Jangan bergerak,” suara Draven mengeras, bukan karena marah, tapi karena takut. “Makhluk itu… berburu lewat getaran.”Dari balik kabut hitam, tanah mulai retak. Akar-akar mati bermunculan, seakan melarikan diri dari dalam bumi. Aroma logam yang pekat menyeruak di udara, memukul indra penciuman Kara seperti dentuman perang. Bukan darah—ini lebih tua dari darah. Lebih purba.Kara menahan napas, matanya menyipit. Ia bisa melihat kilasan tubuh itu—besar, tak berbentuk sempurna, kulitnya hitam dengan kilap licin seperti minyak yang terbakar. Di tempat wajah seharusnya berada, hanya ada celah panjang dengan deretan gigi tak berujung yang terus bergerak.“Makhluk apa itu?” bisiknya
Dernière mise à jour : 2025-06-21 Read More