Mobil meluncur keluar dari garasi dengan tenang. Tavira duduk di jok penumpang, diam dan canggung, menatap lurus ke depan. Padahal, sudut matanya tak henti mencuri pandang ke arah Darian yang duduk di belakang kemudi.
Dia menyetir sendiri.
Itu sudah cukup mengejutkan. Karena biasanya, setiap kali pergi bahkan ke kantor sekalipun selalu ada supir yang mengantar. Tapi pagi ini, pria itu tiba-tiba berubah menjadi suami yang menyetir sendiri untuk mengajak istrinya belanja baju.
Aneh. Tapi manis. Tapi aneh.
Tavira menggenggam jemarinya sendiri di pangkuan. Rasanya seperti sedang ikut undangan jalan bersama seseorang yang belum terlalu ia kenal. Padahal mereka tinggal satu rumah. Tidak sekasur memang. Tapi secara teknis, sudah sah di mata negara dan Tuhan.
Tapi tetap saja, hatinya berdebar tak menentu seperti ini.
Mobil melaju di jalan besar, melewati deretan pepohonan dan gedung-gedung tinggi. Di luar, langit Jakarta cukup bersahabat. Tidak terl
Tavira tenggelam bersama anak-anak panti yang ceria dan menyenangkan. Tidak terasa waktunya perpisahan tiba. Seluruh sesi acara sudah terlaksana. Semua berjalan dengan baik, bahkan menggembirakan anak-anak yang datang hari itu sebagai tamu.Tavira ikut mengantarkan anak-anak keluar dari aula sambil membagikan goodie bag sebagai kenang-kenangan.Anak kecil yang dibantunya menggambar tadi menghampiri Tavira, lalu memeluknya.“Datanglah ke rumah kami. Nanti aku tunjukkan gambar bunga yang ditempel di kamarku,” ocehnya lucu.Tavira menundukkan tubuh. Tersenyum dan membalas pelukannya.“Oke. Nanti aku akan datang. Tolong buatkan lagi gambar bunga yang paling bagus ya.”Tavira membuat janji di dalam hatinya sendiri. Kebetulan ia tahu dimana alamat rumah panti tempat anak-anak ini tinggal. Kalau ia mau, ia bisa mengunjungi kapan pun panti asuhan itu.Mereka pun berpisah dengan lambaian tangan juga wajah-wajah yang bergembira.Semua su
“Selamat pagi semuanya,” salam Tavira dimulai.“Saya merasa sangat bersyukur bisa berada di sini, bersama adik-adik sekalian. Jujur, berada di tengah kalian membuat saya teringat pada masa kecil saya sendiri. Saya tumbuh tanpa seorang ayah sejak lahir, dan meski jalan hidup saya berbeda dengan kalian, saya tahu rasanya merindukan kasih sayang, merindukan pelukan, merindukan rumah yang benar-benar terasa ‘rumah’.“Tapi hari ini, melihat senyum kalian, saya ingin kita sama-sama percaya bahwa masa depan bisa tetap cerah, meskipun masa lalu tidak selalu mudah. Bahwa keluarga tidak hanya berarti sedarah, tapi juga siapa saja yang peduli dan mau berjalan bersama kita.“Semoga hari ini bukan sekadar acara singkat, melainkan kenangan manis untuk kita semua. Kenangan bahwa kalian tidak sendiri, bahwa ada banyak orang yang ingin kalian tumbuh menjadi pribadi hebat dan bahagia.“Terima kasih kepada Summit Holdings, kepada semua pihak yang telah menyiapkan acara ini,
Sebelumnya Tavira sudah diberitahu oleh Darian rangkaian acara yang akan digelar di aula kantor nanti. Tavira juga diberi rundown acara yang Darian dapatkan dari kordinator lapangan untuk event penting tersebut.Tavira bukan orang awam. Dia pernah menjadi brand ambassador suatu produk. Tentu acara semacam ini pernah ia ikuti. Karena kali ini yang ia datangi adalah perusahaan suaminya, pastilah ia tidak ingin mempermalukan diri, apalagi mempermalukan Darian sebagai tuan rumah.Tavira mempelajari rangkaian acara. Ia bahkan memasukkannya ke dalam kepala waktu demi waktu agar kegiatan itu terlaksana dengan baik.Darian memerhatikan Tavira yang membaca rundown di selembar kertas sambil mengangguk-angguk tanda mengerti. Tidak ada satu kalimat pun yang luput dari matanya.Darian menganggap lucu wajah Tavira yang serius. Sesekali menahan bibirnya agar tidak kentara bahwa ia menertawakan Tavira yang mengerutkan kaning. Padahal hanya rundown,
“Tavira, bagaimana rasanya menyukai seseorang?” tanya Darian pelan.Tavira menelan ludah. Dia masih belum bisa tersadar dari belaian tangan Darian di pipinya. Seperti tersengat dan membuat seluruh inderanya mati rasa.“Me-menyukai seseorang?” Tavira perlu mengulang. Masih belum percaya Darian telah bangun sepenuhnya. Bisa saja dia sedang melindur. Pertanyaan itu tidak sungguh-sungguh ia tanyakan.Tapi lelaki itu mengangguk. Tatapan matanya makin tajam menembus ke iris mata Tavira. Jemarinya pun masih bermain di area pipi Tavira yang terasa lembut.“Menyukai seseorang itu rasanya seperti menemukan alasan kecil untuk bahagia setiap hari.”Tavira tidak tahu Darian sedang mengetesnya atau apa. Sekalian saja Tavira luapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Sambil berharap Darian bisa mengerti sisi dirinya. Bisa membuka hati meski sedikit. Dia pernah bilang tidak mengerti cara menyukai seseorang. Semoga saja setelah ini Darian bisa mengerti. Atau ba
Darian sudah berada di kamar Tavira setelah mengambil bantal abu-abu dari kamarnya. Dua orang itu menjadi canggung. Makin gugup setelah Darian menutup pintu pelan.Darian berjalan memutari kasur. Tavira kira Darian hendak ke lemari, mengambil selimut seperti saat terakhir kali. Tapi tidak. Darian malah duduk di tepi kasur. Membuat jelas teritori miliknya.Darian tidak berani menatap mata Tavira. Juga tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menggeser tubuhnya dan mulai berbaring di sebelah Tavira.“Aku tidur di sini. Di sofa bikin punggungku pegal.”Itu saja katanya sambil memunggungi Tavira dan berlagak tidur dengan mendekap kedua tangan.Tentu saja, Tavira terkejut mendengarnya. Butuh sepersekian detik untuknya menyadari apa yang baru didengarnya ini.Tavira jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang merasuki Darian. Tiba-tiba dia meminta hal yang aneh setelah mengantar Mama pulang.Mungkinkah Mama mengatakan sesuatu? Jika buk
“Cinta itu apa?”Pertanyaan yang lugas dengan ekspresi datar datang dari mulut seorang Darian Alastra Haryodipura.Mama tercengang, tidak menyangka. Tapi kemudian tersenyum mengingat di hadapannya ini sosok menantu yang polos. Yang tabu urusan perasaan. Yang bisa tergelincir ke jalan salah jika saja tidak ada yang memandunya.Mama mengulurkan tangan ke pundak Darian. Ia menepuknya perlahan menciptakan kehangatan yang langsung menyebar ke seluruh tubuh Darian.Kalau saja saat ini Darian tidak sedang menyetir, mungkin ia akan menyambut tangan Mama dan menggenggamnya erat. Tepukan di pundaknya itu membuat dirinya lega. Perasaan yang tidak dia mengerti, tapi percaya kalau dunia akan baik-baik saja.“Cobalah kamu lebih mendekat pada Tavira. Nanti, kamu akan tahu apa arti cinta yang sesungguhnya.”Alih-alih menjawab, Mama memberikan saran yang lumrah dilakukan seorang ibu untuk anaknya. Ia tidak mendikte, tapi mengarahkan. Ia tidak mengajari, tapi