LOGINTavira dan Darian dijodohkan oleh orang tua mereka. Bagi Darian, perjodohan ini hanyalah kewajiban keluarga, bukan tentang cinta. Ia menawarkan kesepakatan, pernikahan selama satu tahun saja, sebagai formalitas di mata keluarga. Setelah itu, mereka akan bercerai dan menjalani hidup masing-masing. Tavira sebenarnya menyukai Darian sejak awal. Namun, demi menjaga harga diri dan harapannya sendiri, ia menerima tawaran Darian sambil berpura-pura tak memiliki perasaan apa pun. Satu tahun menjadi istri Darian... Akankah cukup untuk membuat hati Darian berubah? Ataukah justru perasaan Tavira yang perlahan memudar?
View MoreMalam ini, Tavira akan bertemu tunangannya – Darian, putra tunggal keluarga Haryodipura.
Beberapa jam sebelum pertemuan itu, Tavira berdiri di depan cermin, mematut diri dengan saksama. Gaun merah muda selutut membalut tubuh langsingnya dengan sempurna. Rambut panjang bergelombang ditata rapi, sebagian disingkap jepit mungil yang memperlihatkan pelipis halusnya. Semuanya sudah tampak sempurna. Hanya riasan tipis yang akan ia poleskan menjelang pertemuan nanti malam, pukul delapan. Mama ikut mengintip di depan cermin. Melihat detail gaun dari atas kepala sampai ujung kaki. Semua sudah dipersiapkan Mama dari jauh hari. Baru kali ini Mama bisa berdecak kagum setelah dikenakan putri semata wayangnya itu. Tavira sudah sangat sempurna, tapi gadis itu menghela napas panjang. Cemas pada sesuatu yang tidak Mama ketahui. “Darian akan menerimaku kan, Ma?” cemas Tavira kentara di wajah cemberutnya. Mama mengulas senyum sembari mengelus pundak anaknya. “Tentu saja. Enggak ada yang bisa menolak kamu, Sayang. Kamu cantik, dewasa, wanita baik-baik dan berprestasi. Bukan cuma pewaris Haryodipura saja yang ingin menjadikanmu istri, tapi seluruh lelaki di dunia ini.” Oke, Tavira merasa ucapan Mama terlalu berlebihan. Tapi itu sukses membuat kecemasannya menguap di udara. Setidaknya itu meningkatkan kepercayaan diri Tavira. Meski sedikit. “Tavira, kamu nggak menyesal dengan perjodohan ini, kan?” Sekarang Mama yang cemas. Entah sudah berapa kali Mama menanyakan hal serupa di setiap kesempatan. Mama takut kalau perjodohan yang dilangsungkan sedari kecil itu tidak disukai Tavira. Dan selalu pula Tavira memberikan jawaban yang sama. “Enggak, Ma. Aku suka perjodohan ini, kok. Aku sudah memerhatikan Darian dari jauh. Dia benar-benar tipe kesukaanku.” Dua puluh lima tahun lalu, di usianya yang baru lahir, Tavira Lintang Saka dijodohkan dengan Darian Alastra Haryodipura. Lelaki yang lima tahun lebih tua darinya. Terjadi kesepakatan di masa lalu hingga kedua orang tua memutuskan perjodohan. Tavira resmi bertunangan dengan Darian di usia keduanya yang terbilang belia. Hanya tunangan. Sedangkan pernikahannya sendiri akan dilaksanakan ketika Tavira genap berusia 25 tahun. Tepat hari ini. Malam kemarin Tavira baru saja merayakan pesta kecil bersama teman-teman modelnya. Malam itu sekaligus jadi pesta lajang terakhir Tavira. Esoknya, Tavira diberitahu Mama kalau dirinya akan dipertemukan dengan tunangannya – Darian, bersama orang tuanya untuk membicarakan pernikahan. Tavira sangat antusias. Dia bahkan sengaja berdiet, perawatan wajah, perawatan rambut dan kuku. Dia ingin terlihat sempurna di mata Darian. Sebab itu kali pertama mereka dipertemukan setelah dewasa. Kenapa Tavira sebegitu antusiasnya? Karena Darian – calon mempelainya, bukan orang sembarangan. Selain karena dia berasal dari keluarga konglomerat, CEO yang sukses, Darian juga tampan, kharismatik dan pernah sesekali muncul di majalah bisnis sebagai salah satu dari deretan orang-orang tersukses di dunia. Tavira sudah jadi penggemar Darian sedari dulu. Bukan saja karena mereka ditunangkan sejak kecil, tapi karena pesona Darian sendiri memang patut dijadikan idola oleh Tavira. “Terima kasih, Tavira. Kamu sudah menjaga diri dari laki-laki lain dan mempersiapkan jadi istri yang baik.” Ada butir air mata di sudut tatapan Mama. “Iya, Ma. Tavira nggak mau terlihat memalukan bagi Mama dan almarhum Papa. Tavira ingin jadi wanita yang pantas untuk Darian.” Mama memeluk Tavira. Anak gadisnya sudah dewasa. Rasanya Mama ingin mengatakan pada nisan Papa kalau dia berhasil mendidik anak gadisnya dengan baik. Mama tidak ingin apa pun selain melihat Tavira bahagia dengan lelaki yang dicintainya. “Ah, sebaiknya Mama juga bersiap dengan baju Mama. Jangan sampai anaknya sudah cantik, Mama malah terlihat memalukan dan buat kamu minder.” Tavira tersenyum bersamaan dengan Mama menuju ke kamarnya. Memastikan tidak ada kekurangan apa pun di baju maupun sepatu untuk pertemuan nanti malam. Tiba-tiba saja ponsel Tavira berdering. Dengan cekatan Tavira menekan tombol terima dan melakukan sapaan lumrah pada si penelepon. “Halo?” “Tavira Lintang Saka. Aku memintamu datang ke Palais Hotel sekarang juga.” Tidak ada sapaan. Tidak ada basa-basi. Tahu-tahu orang di seberang telepon sana meminta Tavira datang ke hotel yang terkenal elit di kawasannya. “Siapa ini?” Wajar saja Tavira bertanya. Mana mau dia menanggapi telepon iseng, apalagi di hari sepenting ini. “Darian." Tavira tercekat. Lebih tidak percaya pada apa yang baru didengarnya itu. “Jangan bercanda. Mana mungkin kamu Da-“ “Cepatlah! Jangan beritahu siapa pun kamu kemari. Dan datanglah sebelum pertemuan nanti malam.” Tavira berusaha tidak percaya, tapi ia menyebut tentang pertemuan nanti malam. Hanya dia, Mama dan keluarga Darian saja yang tahu. Mustahil yang meneleponnya ini Darian sungguhan. Untuk apa? “Beritahu aku kalau sudah sampai lobi hotel. Nanti kuberitahu nomor kamarnya.” Udara mendadak dingin sebab panggilan terputus menyisakan keheningan di kamar Tavira. Dia mematung. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Darian memintanya datang ke hotel. Untuk apa? Bukankah nanti malam mereka akan bertemu. Kenapa harus sekarang. Kenapa pula harus di hotel. Tavira tidak mendapatkan jawaban hanya dengan berdiam diri. Dia lepaskan gaun juga hiasan jepit di kepala yang akan dikenakan nanti malam. Tidak ingin Darian tahu bagaimana luar biasanya gaun itu setelah dia merias diri nanti. Bergantilah Tavira menggunakan pakaian yang biasa ia kenakan sehari-hari. Blouse longgar dan celana jeans. Entah apa yang diinginkan Darian memanggilnya sebelum pertemuan nanti malam. Hanya saja Tavira tergoda curi start untuk melihat sang pujaan hati. Mungkin ini kesempatannya melihat Darian dari dekat sebelum malam nanti direcoki para orang tua. Pada akhirnya Tavira bertolak ke hotel setelah mengatakan akan keluar sebentar pada Mama. Menggunakan taksi online Tavira hanya butuh dua puluh menit ke depan hotel bintang lima yang biasa didatangi artis ataupun kalangan elit. Tavira jalan pelan ke lobi sesuai perintah Darian. Kemudian mengirimkan pesan bahwa ia sudah sampai di sana. Tak lama, muncul seorang resepsionis yang menyebutkan nama Tavira dengan fasih. “Nona Tavira?” pertanyaannya mendapat anggukan kepala dari Tavira. “Saya akan antarkan Anda ke ruangan Pak Darian.” Tavira mengikuti karena tak punya banyak pilihan. Mereka naik lift menuju lantai 39. Tavira mulai waswas. Apakah yang dilakukannya ini benar. Intuisinya berkata ada hal yang tidak menyenangkan. Terutama ketika lift berhenti di lantai 39. Begitu lift terbuka, dunia seakan berubah. Marmer putih, aroma kopi mahal dan ruangan yang hening seperti kuburan eksekutif. Tavira menggenggam erat ujung bajunya saat resepsionis membimbingnya masuk ke ruangan kamar suite. Dan di sanalah dia. Darian Alastra Haryodipura. BERSAMBUNGUdara malam di gang itu terasa dingin, tapi dada Darian panas seperti disulut dari dalam.Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tas di tangannya menjadi alasan semu untuk tetap berdiri di tempat. Sementara Tavira menatapnya tak berkedip, seolah tak yakin sosok di depannya benar-benar nyata.“Tavira.”Hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya, pelan, nyaris serak.Tavira masih diam. Matanya menatap Darian lama, sangat lama, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini bukan permainan cahaya atau ilusi kenangan yang sering menghantuinya di malam sepi.Begitu Darian melangkah setengah langkah mendekat, Tavira mundur spontan. Gerakannya refleks, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Darian retak pelan.Darian berhenti di tempat. Menunduk sedikit, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku hanya mau mengembalikan ini.”Darian mengulurkan tas yang tadi direbut dari pencopet, nada suaranya terkendali tapi bergetar d
Sudah tiga hari berlalu sejak Darian menemukan Bloomia.Namun setiap kali pikirannya mencoba fokus pada laporan proyek, nama toko itu selalu muncul kembali di sudut benaknya, seperti aroma bunga yang samar tapi tidak pernah benar-benar hilang.Ia masih di Malang.Alasan resminya, meninjau progres proyek tahap dua Green Arcadia.Alasan sebenarnya, ia belum siap pergi. Belum siap meninggalkan kota yang diam-diam menyimpan seseorang yang selama ini hanya hadir dalam mimpi.Pagi itu, setelah rapat dengan tim arsitek, Darian duduk sendirian di kafe kecil di seberang jalan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin. Ia menatap ke seberang, ke arah toko yang jendelanya dihiasi bunga mawar dan lily beraneka warna. Bloomia.Tirai putih di jendela terbuka setengah. Di dalam, Tavira tampak sibuk melayani pelanggan. Gerak tubuhnya ringan dan cekatan, senyumnya tulus, matanya tenang.Darian tidak bisa menahan senyum samar yang muncul di bib
Hari di Malang cerah. Udara sejuk, langit biru muda dengan awan berarak lambat di atas deretan bukit jauh di sana. Mobil hitam yang ditumpangi Darian berhenti di depan area proyek Green Arcadia, kawasan perumahan ramah lingkungan yang sedang dibangun di pinggiran kota.Darian turun dari mobil, mengenakan kemeja abu muda dan jas ringan. Sikapnya tetap tenang, formal, seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan asing yang muncul setiap kali ia menjejak tanah Malang.Ia menyusuri area proyek, meninjau pembangunan perumahan tahap awal. Para pekerja menyapa hormat, dan ia membalas dengan anggukan pendek. Satu per satu laporan ia baca, revisi ia berikan, dan instruksi keluar dari mulutnya dengan nada tegas tapi tidak berlebihan.Semuanya tampak biasa. Profesional.Namun setiap kali ia menatap langit biru di atas sana, pikirannya melayang. Ada nama yang berkali-kali muncul tanpa izin.Sore mulai turun. M
Malam itu, jalan tol menuju Jakarta basah oleh embun. Mobil yang mereka tumpangi meluncur stabil di jalur kanan, meninggalkan kota Malang yang perlahan tenggelam di belakang.Eshan duduk di kursi depan, sementara Darian bersandar di kursi belakang, matanya terpejam setengah. Pria itu sudah tertidur ringan, napasnya pelan, bahunya bergerak tenang seiring ritme mobil.Kelelahan setelah serangkaian rapat dan inspeksi proyek membuat tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. Lampu-lampu kendaraan yang berpapasan memantul di wajahnya sesekali, menciptakan bayangan bergerak di permukaan kulitnya.Mobil berguncang ringan, dan di tengah keheningan itulah suara berdering pelan terdengar dari kursi depan. Nada dering lembut, milik Eshan. Pria itu menoleh cepat, menurunkan volumenya sebelum menjawab dengan suara pelan.“Hallo?”Darian masih setengah sadar, tapi tidak sepenuhnya tertidur. Suara lembut Eshan di depan sana tentu bisa kedenga
Langit Malang sore itu berwarna lembut, perpaduan biru muda dan jingga pucat.Udara di kota itu terasa berbeda. Tidak sepadat kota besar, tapi juga tidak terlalu sunyi. Ada ritme yang tenang, seolah setiap hembus angin membawa jeda untuk berpikir.Mobil perusahaan berhenti di depan gerbang proyek. Plang bertuliskan Green Arcadia - Malang Site Development berdiri tegak di pinggir jalan, diapit dua pohon flamboyan yang mulai berbunga.Darian turun, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu tua. Ia menatap sekeliling lahan luas yang akan dikembangkan menjadi kompleks hunian ramah lingkungan.Tim lokal sudah menunggu di bawah tenda kecil, lengkap dengan peta lokasi dan rencana gambar 3D yang terpampang di layar.“Selamat datang di Malang, Pak Darian,” sambut kepala proyek, Pak Anwar, sambil menyalami tangannya dengan sopan.“Kami sudah siapkan laporan survei dan beberapa rekomendasi arsitektur.”Darian mengangguk kecil. “Baik, mari kit
Ruang rapat lantai dua puluh terasa berbeda pagi itu. Bukan hanya karena kehadiran seluruh kepala divisi, tapi juga karena suasana yang lebih hidup dari biasanya.Slide demi slide di layar menampilkan visi proyek Green Arcadia. Hunian ramah lingkungan yang menggabungkan teknologi, arsitektur hijau, dan keseimbangan hidup urban.Darian duduk di ujung meja, memperhatikan dengan tenang. Kemejanya putih polos, tanpa dasi, dan lengan digulung sampai siku.Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi Eshan yang duduk di sebelahnya tahu. Ini adalah versi Darian yang paling fokus setelah sekian lama.“Target pasar kita adalah keluarga muda dan profesional yang mencari keseimbangan antara kota dan alam,” jelas seorang manajer proyek dengan penuh semangat.“Kami sudah menyiapkan tiga konsep desain berbeda, tergantung lokasi dan kontur tanah di tiap kota.”Darian menautkan jemarinya di atas meja.“Baik. Tapi pastikan konsep itu nggak hanya menarik












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments