Sampai dengan siang harinya, Junaidy Jinnara masih belum bisa menemukan kembali semangatnya.
Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat. Dengan tidak bersemangat juga, Junaidy Jinnara mengeluarkan kotak makan siangnya. Dia memang jarang mau makan makanan hotel. Dia bisa memasak dan bisa mempersiapkan sendiri makan siangnya.
Sungguh nahas hidup Junaidy Jinnara siang itu. Diam-diam Steven Santiago Purnama memperhatikan Junaidy Jinnara menghabiskan semua makan siangnya waktu itu. Baru saja Junaidy Jinnara selesai makan dan hendak membawa kotak makanannya untuk dicuci, ia mulai terbatuk-batuk parah. Batuknya semakin lama semakin parah sampai-sampai beberapa kolega kerjanya mulai menaruh perhatian padanya.
“Ada apa?”
“Kenapa bisa sampai batuk, Jun?”
“Ada apa sih, Jun? Tadi kau baik-baik saja…”
Kepanikan mulai menggelimuni. Batuk Junaidy Jinnara mencapai puncak. Darah merah segar segera muncrat dari mulut Junaidy Jinnara. Beberapa kolega perempuan mulai memekik tertahan. Tampak tubuh Junaidy Jinnara roboh ke lantai dengan sepasang matanya yang setengah terbuka.
Beberapa detik berlalu. Tubuh Junaidy Jinnara sudah tampak tergeletak kaku di lantai.
Beres sudah… Aku tebak Junaidy Jinnara ini pasti sudah memperlihatkan video itu kepada Nancy Stephanie Lorenza kemarin malam. Aku akan mencari cara supaya aku bisa membungkam mulut Nancy Stephanie Lorenza. Apabila video itu sampai ke tangan suami si Aina yang kulayani kemarin malam, aku pasti akan tamat. Sebelum aku tamat, mereka berdua yang harus tamat duluan… Sorry ya, Jun… Jika kau tidak mengancamku duluan, nasibmu takkan berakhir tragis begini.
Dengan kepura-puraannya, Steven Santiago Purnama bergabung ke dalam kepanikan. Langkah pertamanya adalah menyingkirkan kotak dan peralatan makan Junaidy Jinnara agar racun yang ia bubuhkan ke dalam makan siangnya itu tidak bisa terlacak.
***
Medan, akhir Oktober 2016
Di daerah Medan Selatan berdirilah sebuah sekolah international plus dengan biayanya yang eksklusif dan gaya hidup murid-murid, guru-guru, staff, dan bahkan jajaran para petinggi yayasan yang elegan. Kita takkan bisa menemukan seorang pun dalam areal sekolah itu yang pulang pergi dengan sepeda motor, apalagi becak. Semuanya mempunyai mobil sendiri-sendiri. Lapangan parkir sekolah tersebut sudah tentu sama luasnya dengan areal sekolah itu sendiri yang kira-kira ada tiga setengah hektar.
Murid-murid, guru-guru dan para staff sama sekali tidak pernah bercengkerama dengan alat-alat tulis. Semuanya berkomunikasi melalui telepon genggam, laptop, dan peralatan elektronik lainnya yang tentunya ditunjang oleh jaringan internet yang super cepat. Pihak yayasan sekolah bahkan memiliki tower internet sendiri di lapangan belakang sekolah. Sudah bisa ditebak, harga yang harus dibayar oleh para murid per bulannya sudah tentu fantastis.
Segala catatan, latihan, soal-soal ujian, dan bahan-bahan pelajaran disampaikan dan dikirimkan melalui semua peralatan elektronik yang disebutkan di atas.
Tampaklah Josh Kian Junos di tahun ketiga SMA-nya. Karena terlambat daftar sekolah satu tahun, tahun ini ia barulah duduk di tahun ketiga SMA. Ia sangat menyukai segala sesuatu yang berbau seni: seni musik, seni suara, seni rupa, seni warna, seni tari, seni bela diri, dan seni sastra tentunya. Tampak ia menghabiskan jam sepulang sekolah dengan melukis di ruangan seni. Ruangan tersebut tentunya ditunjang oleh sekumpulan perlengkapan melukis dan mewarnai yang harganya tidak murah.
Josh Kian sangat konsentrasi dengan lukisan tepian danaunya sampai-sampai ia tidak menyadari Gisella Clarissa Hans diam-diam memasuki ruangan seni, duduk di sampingnya, dan diam-diam memperhatikan apa yang tengah dilakukan oleh sang pangeran pujaan hati.
“Aduh! Bikin kaget saja!” Josh Kian tersentak kaget tatkala ia meletakkan kuasnya dan terkejut dengan kehadiran Gisella Clarissa yang entah sejak kapan duduk di sampingnya.
“Kau sendiri yang begitu konsentrasi dengan lukisanmu sampai-sampai kau tidak sadar aku sudah duduk di sini sejak beberapa menit lalu,” kata Gisella Clarissa sedikit meringis.
“Belum pulang?” tanya Josh Kian Junos dengan sedikit senyuman tipis.
“Belum… Kan kau berjanji padaku habis ini, mau temani aku ke Center Point beli DVD dan CD album terbaru **S.” Terlihat sang putri pujaan tersenyum imut. Gisella Clarissa duduk di tahun kedua SMA-nya. Dia satu tahun lebih muda daripada Josh Kian.
Mendadak Josh Kian teringat kembali dengan janji yang dibuatnya dalam chat dua hari lalu.
“Oh, oke… oke… oke deh… Bentar ya… Habis menambahkan efek kuning pada pepohonan di gunung ini, kita akan ke Center Point. Kau tampaknya suka sekali dengan **S.”
“Suka dong… Bukan dengan lagu dan tarian-tarian mereka saja, tapi cerita perjuangan mereka bertujuh membangun kesuksesan mereka dari nol benar-benar sangat menginspirasi. Really from zero to hero begitu deh…”
“Namanya hidup, Gisella… Harus ada kerja keras deh… Tapi, aku rasa ada satu aspek lagi yang juga sangat berpengaruh dalam kesuksesan mereka yang sekarang.”
“Apa itu?”
“Keberuntungan…” Tampak Josh Kian tersenyum tipis lagi.
“Iya ya… Kalau hanya kerja keras, tidak disertai dengan keberuntungan, hanya akan setengah ya…” Gisella Clarissa tertawa nyaring sembari menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang punggung.
Dering telepon genggam Gisella Clarissa terdengar. Gisella membaca sebentar pesan *****App-nya di sebuah grup antara dirinya dan sesama teman-teman sekelas.
“Siapa itu?” Josh Kian kini sadar benar *****App Gisella Clarissa berdering.
“Soal Isabel itu loh, Josh. Kau kenal dia kan? Dia sekelas denganmu loh…” gumam Gisella Clarissa dengan sedikit nada penasaran.
“Isabel Helen Qimin?”
Gisella Clarissa menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Kenapa memangnya dengan dia?”
“Gosipnya sih dia ingin sekali kuliah piano di Amrik sementara nilai-nilai seni musiknya di sini sama sekali tidak mencukupi. Namun, tetap saja si kepsek kita mencalonkan namanya untuk mendapatkan beasiswa kuliah piano di Amrik sana. Bukankah itu aneh? Si Tiara yang terkenal sebagai salah satu pemain piano terjago di sekolah kita ini, yang nilai-nilai seni musiknya A terus saja tidak dicalonkan untuk mendapatkan beasiswa kuliah piano di Amrik sana. Kok si Isabel ini bisa dapat?”
Tampak Gisella Clarissa mengernyitkan dahinya.
Sekonyong-konyong Josh Kian meletakkan kuasnya sebentar dan mengalihkan pandangannya ke sang putri pujaan,
“Tapi kau betul deh sepertinya… Akhir-akhir ini kutengok dia sering murung terus di kelas, sudah jarang makan di kantin dan bercengkerama dengan teman-teman sealirannya lagi, lebih sering terlihat sendiri deh… Ada yang salah menurut kalian?” Josh Kian Junos tahu sebagian besar murid perempuan di kelas Gisella Clarissa adalah tukang gosip nomor satu.
“Kami semua sependapat. Dia pasti ada main belakang dengan si kepsek kita itu. Kau percaya tidak sih?” bisik Gisella Clarissa.
“Ah, really?” Josh Kian Junos menaikkan sedikit nada suaranya. Dia juga terlihat sedikit mengerutkan dahi – petanda tidak percaya.
“Tidak diherankan lagi deh… Kan si kepsek kita itu, meski sudah akhir tiga puluhan, dia tetap terkenal sebagai lelaki hidung belang. Sayang dia tidak masuk kelasmu ya… Dia ngajar bahasa Inggris di kelas kami. Kalau sudah mendekat ke meja cewek, modus ingin menjelaskan jawaban yang salah, padahal mencari kesempatan pegangin tangan-tangan mereka. Aku selalu menghindar, mengangkat tanganku dari atas meja jika dia sudah mendekati mejaku. Iiihh…!” kata Gisella Clarissa sedikit bergidik.
Josh Kian Junos mengerutkan dahinya semakin dalam. Ditambah dengan kondisi Isabel Helen Qimin yang lebih sering bermuram durja akhir-akhir ini, kecurigaannya semakin kuat.
Sedikit gelisah melungkup di teluk pikiran Josh Kian Junos.
Jimmy Ferry Pangdy akhirnya sampai pada bagian terakhir pengajarannya siang ini. Bel berbunyi pada saat yang pas.“Sekian pelajaran hari ini. Kita akan berjumpa lagi minggu depan… Harap latihan lagi di rumah sehingga di pertemuan yang berikutnya kita sudah bisa membagi mana yang masuk suara tinggi, suara sedang, dan suara rendah.”“Goodbye, Sir…” kata anak-anak didiknya serempak. Murid-murid menyandang tas masing-masing dan keluar dari kelas.Tinggal beberapa murid – kebanyakan murid perempuan – yang tampak bercengkerama dengan Jimmy Ferry dan berpura-pura mencari pertanyaan untuk diajukan kepadanya. Jimmy Ferry memang terkenal sebagai guru musik paling bertalenta dan guru tertampan di sekolah itu. Saat ia menyanyi, ia memiliki campuran antara suara bariton dan tenor yang menjadi dambaan para gadis muda. Menurut mereka, suara tersebut penuh dengan gairah dan sangat seksi.Setengah jam berlalu&hell
Ternyata ada tiga murid yang belum pulang siang itu. Tampak Tiara Andhara, Gisella Clarissa dan Josh Kian berkumpul di kantin yang sepi. Para penjual makanan minuman sudah menutup kios-kios mereka dan sudah pulang sejak setengah jam lalu.Terdengar tangisan Tiara Andhara yang sedikit meraung-raung.“Tidak ada gunanya menangis di sini, Tiara…” celetuk Josh Kian lirih.“Iya… Lagipula kau masih bisa mencari lembaga-lembaga pendidikan lain yang menawarkan beasiswa kuliah di Amrik kan? Banyak kan lembaga pendidikan privat yang menawarkan beasiswa kuliah di Amrik? Tunjukkan saja pada sekolah yang tidak adil padamu ini. Tanpa mereka pun, kau tetap bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Amrik. Kau mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri memang karena kemampuanmu, bukan karena kau main dari jalan belakang. Iya nggak?”Gisella Clarissa dan beberapa teman sekelasnya memang kurang sreg dengan Isabel Helen yang mereka yakini ada m
Satu minggu berlalu… Sudah bisa ditebak… Video itu menjadi bulan-bulanan seisi sekolah.“Isabel Helen dikeluarkan juga?”“Tidak… Ayahnya kan salah satu pihak yayasan yang berpengaruh juga. Bisnis dan asetnya banyak. Siapa pula yang berani main-main dengan Pak Qimin?”“Tapi, karena merasa malu, dia akhirnya out sendiri deh… Kudengar sudah pindah sekolah di Jakarta…”“Bagaimana dengan si kepsek cabul kita itu?”“Sudah tentu digantikan oleh Pak Timothy yang mengajar matematika itu deh… Siapa pula yang sudi anak-anak mereka diajari oleh seorang guru cabul dan mesum kayak gitu? Video itu memalukan sekali deh… Ayah ibuku kontan marah besar begitu kutunjukkan video itu pada mereka. Aku saja tidak berani terus menontonnya. Memalukan dan menjijikkan sekali…”“Sebenarnya sih si kepsek cabul itu mau dijebloskan ke penjara o
Masih terasa suasana keheningan dan kesunyian dalam semak-semak belukar di samping bangunan Virgo Music Life. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari ketika beberapa bodyguard Jordan Saturnus Jr. hendak membereskan mayat Yongki Yamato dan Ray Wish Jenggala secara menyeluruh.Muncul seberkas sinar hijau dari langit. Sinar hijau mendarat dalam semak-semak belukar dan kontan berubah menjadi sesosok pemuda tampan. Terlihat si pemuda tampan merapatkan bibirnya sejenak menyaksikan kondisi mayat Yongki Yamato dan Ray Wish Jenggala.“Kalian akan ikut denganku ke Negeri Elemen ya…”Si pemuda tampan mengibaskan tangan sejenak. Kontan kedua mayat juga berubah menjadi cahaya hijau dan menghilang tanpa bekas dari semak-semak belukar tersebut. Terdengar langkah-langkah kaki yang semakin mendekat. Si pemuda tampan mengubah dirinya sendiri menjadi seberkas cahaya hijau lagi. Cahaya hijau menghilang ke atas langit.“Hah? Ke mana mayat
“Aku masih belum mengucapkan salam perpisahan pada Ayah & Ibu…” kata Ray Wish Jenggala membiarkan setetes air matanya bergulir turun.“Aku belum berpamitan pada Ayah & Ibu, dan juga aku rindu sekali pada Tiara…” kata Jimmy Ferry dengan sinar mata menerawang.“Aku juga belum bilang sampai jumpa pada Ayah & Ibu… Aku juga begitu merindukan Gisella…” kata Josh Kian Junos dengan pandangan menerawang.“Aku bahkan belum berpamitan pada Nancy… Aku juga sangat khawatir padanya… Jangan-jangan lelaki brengsek itu mengincarnya juga setelah membereskanku?” Junaidy Jinnara sungguh merasa tidak tenang.“Tidak bisakah aku kembali sebentar ke duniaku, Vritz?” tanya Yongki Yamato. “Aku ingin ke apartemenku sebentar dan membinasakan sisa-sisa salinan asli lagu-laguku agar laki-laki jahat itu tidak bisa mengambilnya. Sampai selamanya dia tidak bisa mengambi
Josh Kian Junos membisu seribu bahasa. Dia juga tampak penuh dengan tanda tanya.“Oke… Aku bantu kau cari dia kalau begitu, Ray.” Robert Martin menawarkan diri.“Aku juga. Kau mau ikut cari dia sekalian jalan-jalan, Josh?” tanya Jimmy Ferry kepada Josh Kian.“Aku melukis di sini saja. Nanti ketika kalian sudah mau ke istana kahyangan, jangan lupa ajak aku ya…” Josh Kian Junos terlihat sedikit meringis.“Oke deh…” balas Jimmy Ferry.Ketiga orang itu mulai berbaur ke jalanan kota. Banyak yang heran sekaligus terkagum-kagum dengan penampilan mereka.“Sepertinya mereka bukan dewa dari negeri ini. Lihat tuh mereka tidak ada tanduknya seperti kita…” kata beberapa dewi muda. Dewi yang tua juga tak luput dari kekaguman terhadap mereka.“Kalian dari dunia mana? Baru pertama kali berkunjung ke sini?” tanya seorang dewi yang sudah cukup berumur.
Sungguh di luar dugaan semuanya, Josh Kian yang entah dari mana datangnya menerjang ke depan.“Kalau jantan, satu lawan satu saja… Jangan main keroyok kayak gini, Bro…” kata Josh Kian dengan sorot mata tajam.Josh Kian memancarkan gelombang energi emasnya ke arah ketiga dewa yang tengah mengeroyok Vritz Victor. Terperanjat dengan kehadiran Josh Kian yang tiba-tiba dan entah dari mana munculnya, Rafael Sahah kini mengarahkan pancaran gelombang apinya ke arah Vritz Victor dan Josh Kian Junos.“Minta bantuan teman rupanya ya… Oke… Jika ingin bermain, akan kulayani permainan kalian. Rasakan ini…! Kita lihat saja pancaran energi siapa yang jauh lebih kuat!”Josh Kian Junos terus mengerahkan seluruh kekuatannya. Si Vritz ini terlihat jelas sudah mulai kewalahan. Energinya terlihat sudah mulai mengering dan habis. Aku tidak boleh kalah di sini. Jika aku kalah, Vritz ini akan berada dalam bah
Pak Reynold Sahah memiliki banyak sekali pembantu di kediamannya, dengan pembagian tugas yang sudah terkoordinir dengan bagus nan teratur. Bahkan, ia juga memiliki sepuluh orang tukang kebun yang bertugas mengatur dan merawat kebun yang luasnya satu hektar lebih di bagian tengah dan bagian belakang kediamannya. Seluruh perabotan yang ada dalam kediaman tersebut terbuat dari bahan berkualitas tinggi. Bahkan ada beberapa lemari, meja, dan kursi yang terbuat dari berlian, intan, permata, emas dan perak. Tentu saja tidak sembarang dewa-dewi bisa menyentuh atau memakai perabotan tersebut. Dari pintu masuk berjalan sampai ke ruang makan yang berada pada tengah-tengah bangunan inti kediaman Sahah, tampak Jimmy Ferry, Josh Kian Junos, Junaidy Jinnara dan Ray Wish Jenggala sibuk mengambil foto-foto dari setiap benda unik dan pemandangan langka yang mereka temui. Namun, mereka sungguh merasa aneh bin heran ketika mereka membuka galeri pada ponsel mereka dan tidak menemukan apa-apa di sana. Sem