Share

Bertemu Kak Arimbi

#Saudara Rasa Orang Lain (9)

Terkadangidup memang selucu itu, saudara kandung sendiri yang seharusnya menjadi tempat sandaran, tapi malah menjauh seolah menjadi seperti orang lain. Dan sebaliknya, orang lain tapi seperti saudara sendiri.

Niatku nanti akan meminta bantuan pada Bang Arham dan juga Iparku dari pihak Bang Arham, dan juga keponakannya. Biasanya mereka di bulan Ramadhan ini banyak waktu senggang, sekalian berbagi rezeki pada mereka juga. Agar semakin berkah.

Aku bergegas untuk segera mencatat bahan-bahan kue untuk dibeli besok pagi. Karena belinya dalam jumlah yang banyak, maka harus dicatat, aku nanti setibanya di pasar aku tidak sampai lupa akan apa yang mau dibeli.

🌼🌼🌼

Kini hari sudah sore, matahari jugs perlahan telah kembali ke peraduannya.

Anak-anak sudah terbangun sedari tadi, mereka mandi lalu menonton tv di ruang tamu yang beralaskan karpet.

Kue buatanku untuk dijajakan hari ini telah siap dan aku pun bersiap-siap untuk segera berkeliling menjajakan kue ini. Semoga hari ini langsung habis. Aamiin.

"Sayang, Ibu berangkat dulu ya sebentar. Mau kelilingin kue dulu, kalian di rumah baik-baik ya, Nak? Jangan lupa kunci pintunya dan jangan dibuka kalau merasa nggak kenal," pesanku pada Amalia dan juga Raffa.

"Iya Bu. Hati-hati ya, Bu?" Jawab mereka kompak, lalu berhambur ke arahku untuk segera bersalaman.

"Yaudah, Ibu berangkat dulu ya? Assalamualaikum," ucapku pada mereka setelah bersalaman.

"Waalaikumsalam." Jawab mereka kompak. Lalu aku pun segera pergi.

🌼🌼🌼

Alhamdulillah penjualan kue hari ini lebih cepat laku, karena memang waktunya yang pas dengan moment untuk berbuka puasa.

Aku bersyukur pada Allah, telah melimpahkan rezeki yang halal serta Rahmat yang tak terkira padaku dan juga pada keluarga kecil kami. Semuanya kini terasa mudah, Allah mudahkan segala yang ada di depan mataku. Semoga setelah ini hidup kami beranjak naik dan bisa membantu sesama. Aamiin.

"Kue … kue … kue bolunya, Bu." Teriakku di tengah keramaian orang-orang yang sedang berkumpul. 

Memang jalanan yang sedang kulewati ini tempatnya pusat makanan. Semua macam makanan ada di tempat ini. Maka saat akan berbuka seperti ini, tempat tersebut akan sangat ramai sekali dengan orang-orang yang memburu makanan untuk berbuka puasa nanti.

Sekilas, ekor mataku menangkap sosok seseorang yang sangat kukenal. Yaitu Kak Arimbi. Untuk apa Kak Arimbi ada disini? Sedangkan rumah Kak Arimbi itu jauh beda wilayah. Karena memang wilayah ini lebih dekat ke rumahku daripada ke rumah Bang Majid.

Tiba-tiba aku menjadi penasaran sekali, dan berniat ingin mengikuti Kak Arimbi. Pelan-pelan kulangkahkan kaki untuk melihat Kak Arimbi lebih dekat.

Kak Arimbi cuma sendirian saja sepertinya. Karena tak ada orang lain lagi di dekatnya. Terlihat Kak Arimbi sedang memilih-milih jenis makanan yang ditawarkan oleh penjual makanan disitu.

Tak lama muncul seorang laki-laki, laki-laki tersebut masih muda, berperawakan tinggi dan berkulit putih, serta memiliki bentuk badan yang proporsional. Kemudian laki-laki tersebut mendekati Kak Arimbi. Dan yang membuatku cukup terkejut yaitu laki-laki tadi langsung merangkul pinggang Kak Arimbi dan Kak Arimbi membalasnya dengan tersenyum.

"Astaghfirullah!" Refleks aku pun beristighfar. Karena takut cuma perasaan aku saja, takut hanya salah paham.

Aku takut kalau itu bukan Kak Arimbi, hanya mirip saja. Lagipula disana juga tak ada Bang Majid dan juga anak-anaknya yaitu Faraz dan Fariz.

Brruuk! Saat aku sedang konsentrasi memperhatikan Kak Arimbi dan juga laki-laki tersebut. Tiba-tiba ada yang menabrakku dari arah belakang. Sontak saja keranjang kue yang sedang kupegang jadi terjatuh, aku pun juga terhuyung ke depan. Karena orang di belakangku menabrak tubuhku cukup keras, seperti sedang mendorongku.

Kini semua pasang mata tertuju padaku. Aku segera membereskan kue-kue yang berjatuhan di jalan tadi. Kebanyakan mereka yang melihat seakan tak peduli, tak membantu dan hanya sekedar melihat saja. 

Selesai membereskan kue yang terjatuh, aku segera berdiri dan menengok ke belakang. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata yang menabrakku tadi adalah Sisil. Dia juga sedang bersama seorang laki-laki. Lalu, aku buru-buru melihat ke arah tempat Kak Arimbi berdiri tadi. Tapi nihil, Kak Arimbi sudah tak ada.

"Sisil? Kamu nabrak aku? Kamu sengaja ya?" Tanyaku langsung pada anak remaja yang berusia belasan tahun ini.

"Iya, memangnya kenapa? Kamu pasti tadi lihat Kak Arimbi kan disana? Laki-laki tadi itu sepupu kami. Awas ya kamu, jangan ngadu macem-macem sama Bang Majid! Kalau nggak kamu bakal terima balasannya dari aku!" Mataku langsung melotot, hatiku mendidih saat mendengar Sisil berbicara dengan nada mengancam seperti itu padaku. Sangat tak sopan sekali anak ini. Walau pada yang lebih tua sekalipun.

"Ngapain kamu ngancem-ngancem saya? Eh, denger ya bocah ingusan. Saya nggak takut sama kamu. Kalau kalian nggak ngerasa salah, ngapain pake acara ngancem-ngancem saya segala? Walaupun saya orang miskin, tapi saya punya harga diri dan nggak bisa diancam sama siapapun. Termasuk sama kamu, bocah ingusan yang numpang hidup sama Abang saya!" Jawabku telak. Dia terdiam begitupun dengan laki-laki yang sedari tadi bersamanya. Lalu aku pun segera pergi meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam mematung.

Kesal sekali rasanya hati ini, saat mendengar ancaman yang keluar dari mulut anak remaja berusia belasan. Padahal Kak Arimbi itu bukan keturunan dari orang kaya. Dia hanya dari kalangan orang biasa, sama sepertiku. 

Cuma, karena mungkin nasib baik sedang berpihak kepada keluarga Abangku yaitu Bang Majid. Makanya mereka kini hidup bergelimangan harta, karena usaha catering mereka yang benar-benar ramai orderan dan juga maju dengan pesat.

Dan semenjak itu juga, Abangku semakin menjauh dariku, terutama karena kesibukan yang padat serta mempunyai keluarga juga.

Aku memutuskan untuk pulang saja, karena sebentar lagi juga akan menjelang waktu Maghrib. Dan pasti Bang Arham juga sudah sampai di rumah.

Karena memang selama bulan Ramadhan, Bang Arham selalu pulang sebelum Maghrib tiba. Agar kami bisa berbuka puasa bersama-sama di rumah. Aku merasa bahagia dengan kesederhanaan yang ada. Bisa berkumpul bersama dengan suami dan juga anak-anak.

🌼🌼🌼

Sepanjang perjalanan, jujur saja hatiku masih bertanya-tanya dengan Kak Arimbi. Siapa sebenarnya laki-laki yang merangkul pinggang Kak Arimbi tadi? Kalau memang benar itu sepupunya Kak Arimbi, tapi kenapa laki-laki itu sampai berani merangkul pinggang Kak Arimbi, dan tak ada rasa canggung sama sekali sebagai sesama saudara.

Mudah-mudahan saja, itu memang benar sepupunya Kak Arimbi.

Kini, aku telah sampai di depan rumah. Telah terparkir motor Bang Arham di depan rumah, tandanya dia juga sudah pulang. Gegas aku pun langsung segera masuk ke dalam rumah.

 "Assalamualaikum," ucapku sambil membuka pintu. Dan mereka sedang mengangkat semua persiapan untuk berbuka nanti.

"Wa'alaikumsalam, kamu udah pulang, Dek?" Jawab Bang Arham sambil tersenyum. Dan senyuman Bang Arham langsung otomatis menumbuhkan semangatku lagi, padahal sedari tadi tubuh ini sudah terasa lelah. Karena berjualan kue sambil berpuasa.

"Udah, Bang. Alhamdulillah, hari ini terjual lumayan. Nanti sisanya mau dibagi-bagikan aja sama tetangga." Ucapku pada lelaki yang telah kunikahi selama 9 tahun itu.

"Alhamdulillah, ya udah kamu bersih-bersih dulu aja. Ini semua udah kami bereskan, tinggal nunggu waktu berbuka aja." Aku pun mengangguk dan segera ke belakang untuk membersihkan diri dan juga bersiap-siap untuk segera berbuka puasa bersama.

Kini suara Adzan Maghrib telah berkumandang di seluruh Masjid yang ada disini. Menandakan bahwa waktu buka puasa telah tiba. Kami pun segera berbuka dan sebelumnya membaca doa terlebih dahulu.

Aku baru sadar, bahwa makanan yang terhidang di lantai ini kelihatan agak banyak.

"Bang. Ini makanan kok kayaknya banyak sekali?" Tanyaku pada Bang Arham yang sedang menikmati kolak pisang.

"Alhamdulillah, Dek. Ada rezeki dari langit, hehehe." Jawabnya sambil bercanda.

"Alhamdulillah, emang rezeki apaan Bang?" Tanyaku lagi karena penasaran.

"Rezeki dari Allah lewat tangan manusia. Jadi, tadi aku dapet orderan untuk anterin orang ke tempat kuliner dekat perempatan sana. Sepertinya dia lagi terburu-buru karena mungkin mau ketemu sama seseorang. Yaudah, pas udah sampai di tujuan, dia ngasih aku uang tip sekalian ongkosnya. Dia ngasih aku uang seratus ribu dan nggak usah kembali katanya, padahal jarak dia dari tempat semula nggak terlalu jauh ke tempat kuliner perempatan sana," jelas Bang Arham padaku. Aku pun manggut-manggut tanda mengerti.

"Alhamdulillah, rezeki banget ya hari ini. Aku juga tadi di perempatan jalan sana. Tapi kita nggak ketemu ya?" Ujarku lagi pada Bang Arham.

"Iya yah. Yaudah gapapa yang penting kamu udah sampai di rumah, Hehehe." Lalu kami pun tertawa bersama-sama.

Sengaja aku belum menceritakan tentang Kak Arimbi pada Bang Arham. Karena aku memang ingin mencari tahu sendiri soal itu.

#Saudara Rasa Orang Lain (9)

Terkadang hidup memang selucu itu, saudara kandung sendiri yang seharusnya menjadi tempat sandaran, tapi malah menjauh seolah menjadi seperti orang lain. Dan sebaliknya, orang lain tapi seperti saudara sendiri.

Niatku nanti akan meminta bantuan pada Bang Arham dan juga Iparku dari pihak Bang Arham, dan juga keponakannya. Biasanya mereka di bulan Ramadhan ini banyak waktu senggang, sekalian berbagi rezeki pada mereka juga. Agar semakin berkah.

Aku bergegas untuk segera mencatat bahan-bahan kue untuk dibeli besok pagi. Karena belinya dalam jumlah yang banyak, maka harus dicatat, aku nanti setibanya di pasar aku tidak sampai lupa akan apa yang mau dibeli.

🌼🌼🌼

Kini hari sudah sore, matahari jugs perlahan telah kembali ke peraduannya.

Anak-anak sudah terbangun sedari tadi, mereka mandi lalu menonton tv di ruang tamu yang beralaskan karpet.

Kue buatanku untuk dijajakan hari ini telah siap dan aku pun bersiap-siap untuk segera berkeliling menjajakan kue ini. Semoga hari ini langsung habis. Aamiin.

"Sayang, Ibu berangkat dulu ya sebentar. Mau kelilingin kue dulu, kalian di rumah baik-baik ya, Nak? Jangan lupa kunci pintunya dan jangan dibuka kalau merasa nggak kenal," pesanku pada Amalia dan juga Raffa.

"Iya Bu. Hati-hati ya, Bu?" Jawab mereka kompak, lalu berhambur ke arahku untuk segera bersalaman.

"Yaudah, Ibu berangkat dulu ya? Assalamualaikum," ucapku pada mereka setelah bersalaman.

"Waalaikumsalam." Jawab mereka kompak. Lalu aku pun segera pergi.

🌼🌼🌼

Alhamdulillah penjualan kue hari ini lebih cepat laku, karena memang waktunya yang pas dengan moment untuk berbuka puasa.

Aku bersyukur pada Allah, telah melimpahkan rezeki yang halal serta Rahmat yang tak terkira padaku dan juga pada keluarga kecil kami. Semuanya kini terasa mudah, Allah mudahkan segala yang ada di depan mataku. Semoga setelah ini hidup kami beranjak naik dan bisa membantu sesama. Aamiin.

"Kue … kue … kue bolunya, Bu." Teriakku di tengah keramaian orang-orang yang sedang berkumpul. 

Memang jalanan yang sedang kulewati ini tempatnya pusat makanan. Semua macam makanan ada di tempat ini. Maka saat akan berbuka seperti ini, tempat tersebut akan sangat ramai sekali dengan orang-orang yang memburu makanan untuk berbuka puasa nanti.

Sekilas, ekor mataku menangkap sosok seseorang yang sangat kukenal. Yaitu Kak Arimbi. Untuk apa Kak Arimbi ada disini? Sedangkan rumah Kak Arimbi itu jauh beda wilayah. Karena memang wilayah ini lebih dekat ke rumahku daripada ke rumah Bang Majid.

Tiba-tiba aku menjadi penasaran sekali, dan berniat ingin mengikuti Kak Arimbi. Pelan-pelan kulangkahkan kaki untuk melihat Kak Arimbi lebih dekat.

Kak Arimbi cuma sendirian saja sepertinya. Karena tak ada orang lain lagi di dekatnya. Terlihat Kak Arimbi sedang memilih-milih jenis makanan yang ditawarkan oleh penjual makanan disitu.

Tak lama muncul seorang laki-laki, laki-laki tersebut masih muda, berperawakan tinggi dan berkulit putih, serta memiliki bentuk badan yang proporsional. Kemudian laki-laki tersebut mendekati Kak Arimbi. Dan yang membuatku cukup terkejut yaitu laki-laki tadi langsung merangkul pinggang Kak Arimbi dan Kak Arimbi membalasnya dengan tersenyum.

"Astaghfirullah!" Refleks aku pun beristighfar. Karena takut cuma perasaan aku saja, takut hanya salah paham.

Aku takut kalau itu bukan Kak Arimbi, hanya mirip saja. Lagipula disana juga tak ada Bang Majid dan juga anak-anaknya yaitu Faraz dan Fariz.

Brruuk! Saat aku sedang konsentrasi memperhatikan Kak Arimbi dan juga laki-laki tersebut. Tiba-tiba ada yang menabrakku dari arah belakang. Sontak saja keranjang kue yang sedang kupegang jadi terjatuh, aku pun juga terhuyung ke depan. Karena orang di belakangku menabrak tubuhku cukup keras, seperti sedang mendorongku.

Kini semua pasang mata tertuju padaku. Aku segera membereskan kue-kue yang berjatuhan di jalan tadi. Kebanyakan mereka yang melihat seakan tak peduli, tak membantu dan hanya sekedar melihat saja. 

Selesai membereskan kue yang terjatuh, aku segera berdiri dan menengok ke belakang. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata yang menabrakku tadi adalah Sisil. Dia juga sedang bersama seorang laki-laki. Lalu, aku buru-buru melihat ke arah tempat Kak Arimbi berdiri tadi. Tapi nihil, Kak Arimbi sudah tak ada.

"Sisil? Kamu nabrak aku? Kamu sengaja ya?" Tanyaku langsung pada anak remaja yang berusia belasan tahun ini.

"Iya, memangnya kenapa? Kamu pasti tadi lihat Kak Arimbi kan disana? Laki-laki tadi itu sepupu kami. Awas ya kamu, jangan ngadu macem-macem sama Bang Majid! Kalau nggak kamu bakal terima balasannya dari aku!" Mataku langsung melotot, hatiku mendidih saat mendengar Sisil berbicara dengan nada mengancam seperti itu padaku. Sangat tak sopan sekali anak ini. Walau pada yang lebih tua sekalipun.

"Ngapain kamu ngancem-ngancem saya? Eh, denger ya bocah ingusan. Saya nggak takut sama kamu. Kalau kalian nggak ngerasa salah, ngapain pake acara ngancem-ngancem saya segala? Walaupun saya orang miskin, tapi saya punya harga diri dan nggak bisa diancam sama siapapun. Termasuk sama kamu, bocah ingusan yang numpang hidup sama Abang saya!" Jawabku telak. Dia terdiam begitupun dengan laki-laki yang sedari tadi bersamanya. Lalu aku pun segera pergi meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam mematung.

Kesal sekali rasanya hati ini, saat mendengar ancaman yang keluar dari mulut anak remaja berusia belasan. Padahal Kak Arimbi itu bukan keturunan dari orang kaya. Dia hanya dari kalangan orang biasa, sama sepertiku. 

Cuma, karena mungkin nasib baik sedang berpihak kepada keluarga Abangku yaitu Bang Majid. Makanya mereka kini hidup bergelimangan harta, karena usaha catering mereka yang benar-benar ramai orderan dan juga maju dengan pesat.

Dan semenjak itu juga, Abangku semakin menjauh dariku, terutama karena kesibukan yang padat serta mempunyai keluarga juga.

Aku memutuskan untuk pulang saja, karena sebentar lagi juga akan menjelang waktu Maghrib. Dan pasti Bang Arham juga sudah sampai di rumah.

Karena memang selama bulan Ramadhan, Bang Arham selalu pulang sebelum Maghrib tiba. Agar kami bisa berbuka puasa bersama-sama di rumah. Aku merasa bahagia dengan kesederhanaan yang ada. Bisa berkumpul bersama dengan suami dan juga anak-anak.

🌼🌼🌼

Sepanjang perjalanan, jujur saja hatiku masih bertanya-tanya dengan Kak Arimbi. Siapa sebenarnya laki-laki yang merangkul pinggang Kak Arimbi tadi? Kalau memang benar itu sepupunya Kak Arimbi, tapi kenapa laki-laki itu sampai berani merangkul pinggang Kak Arimbi, dan tak ada rasa canggung sama sekali sebagai sesama saudara.

Mudah-mudahan saja, itu memang benar sepupunya Kak Arimbi.

Kini, aku telah sampai di depan rumah. Telah terparkir motor Bang Arham di depan rumah, tandanya dia juga sudah pulang. Gegas aku pun langsung segera masuk ke dalam rumah.

 "Assalamualaikum," ucapku sambil membuka pintu. Dan mereka sedang mengangkat semua persiapan untuk berbuka nanti.

"Wa'alaikumsalam, kamu udah pulang, Dek?" Jawab Bang Arham sambil tersenyum. Dan senyuman Bang Arham langsung otomatis menumbuhkan semangatku lagi, padahal sedari tadi tubuh ini sudah terasa lelah. Karena berjualan kue sambil berpuasa.

"Udah, Bang. Alhamdulillah, hari ini terjual lumayan. Nanti sisanya mau dibagi-bagikan aja sama tetangga." Ucapku pada lelaki yang telah kunikahi selama 9 tahun itu.

"Alhamdulillah, ya udah kamu bersih-bersih dulu aja. Ini semua udah kami bereskan, tinggal nunggu waktu berbuka aja." Aku pun mengangguk dan segera ke belakang untuk membersihkan diri dan juga bersiap-siap untuk segera berbuka puasa bersama.

Kini suara Adzan Maghrib telah berkumandang di seluruh Masjid yang ada disini. Menandakan bahwa waktu buka puasa telah tiba. Kami pun segera berbuka dan sebelumnya membaca doa terlebih dahulu.

Aku baru sadar, bahwa makanan yang terhidang di lantai ini kelihatan agak banyak.

"Bang. Ini makanan kok kayaknya banyak sekali?" Tanyaku pada Bang Arham yang sedang menikmati kolak pisang.

"Alhamdulillah, Dek. Ada rezeki dari langit, hehehe." Jawabnya sambil bercanda.

"Alhamdulillah, emang rezeki apaan Bang?" Tanyaku lagi karena penasaran.

"Rezeki dari Allah lewat tangan manusia. Jadi, tadi aku dapet orderan untuk anterin orang ke tempat kuliner dekat perempatan sana. Sepertinya dia lagi terburu-buru karena mungkin mau ketemu sama seseorang. Yaudah, pas udah sampai di tujuan, dia ngasih aku uang tip sekalian ongkosnya. Dia ngasih aku uang seratus ribu dan nggak usah kembali katanya, padahal jarak dia dari tempat semula nggak terlalu jauh ke tempat kuliner perempatan sana," jelas Bang Arham padaku. Aku pun manggut-manggut tanda mengerti.

"Alhamdulillah, rezeki banget ya hari ini. Aku juga tadi di perempatan jalan sana. Tapi kita nggak ketemu ya?" Ujarku lagi pada Bang Arham.

"Iya yah. Yaudah gapapa yang penting kamu udah sampai di rumah, Hehehe." Lalu kami pun tertawa bersama-sama.

Sengaja aku belum menceritakan tentang Kak Arimbi pada Bang Arham. Karena aku memang ingin mencari tahu sendiri soal itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ita Kurniasih Wasman
cerita kok diulang2,,, ngantuk ni yg tulis
goodnovel comment avatar
Rianto Agus
part-nya kok diulang terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status