Share

Saudara Rasa Orang Lain
Saudara Rasa Orang Lain
Author: Kasih Dgreen

Mengajak Berbuka Bersama

"Saudara Rasa Orang Lain"

[Assalamualaikum, Bang, kapan kita bukber?] Pesanku terkirim pada kakak laki-lakiku.

[Wa'alaikumsalam, nanti ya. Abang masih sibuk, bulan puasa banyak orderan.] Lagi-lagi dia beralasan sibuk dengan orderan dagangnya, memang Abangku punya usaha catering yang setiap bulan selalu ramai sekali orang yang mengorder, apalagi disaat bulan puasa seperti ini. Banyak sekali para pengusaha yang mengorder catering Abangku, untuk acara-acara buka bersama atau sekedar berbagi takjil berbuka puasa.

Kini aku pun mengirimkan pesan berikutnya pada adikku, yang juga seorang pengusaha baju anak-anak yang cukup ramai pembelinya juga, dia membuka usaha melalui offline dan online. Karena memang moment lebaran yang semakin dekat, jadilah dia pun sibuk banyak orderan.

[Assalamualaikum, Vir. Kamu masih sibuk ya? Kita bukber yuk?] Pesanku terkirim, namun belum dibaca dan masih berwarna abu-abu.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar tanda pesan masuk.

[Wa'alaikumsalam, yah maaf, Kak. Aku nggak bisa. Lagi sibuk banget, banyak pesanan baju lebaran. Nanti aja ya, kalau aku udah senggang.] Aku hanya bisa menghembuskan nafas gusar, karena lagi-lagi harus kecewa dengan keadaan. Mereka selalu saja beralasan sibuk.

Aku Lila, anak ketiga dari empat bersaudara. Aku sudah menikah, aku juga sudah dikaruniai dua orang anak yaitu Amalia dan Raffa.

Pekerjaanku sehari-hari yaitu berjualan kue keliling bersama kedua anakku. Sedangkan Suamiku bekerja sebagai ojek online. Alhamdulillah hidup kami bahagia, dan semuanya terasa berkah.

Memang semenjak menikah, aku jadi merasa dikucilkan dari keluarga besarku. Karena katanya aku menikah bukan dari orang terpandang, seperti pasangan-pasangan mereka. Terutama dengan kakak dan adikku yang notabene mereka semua adalah para pengusaha yang sukses. Sangat berbanding terbalik denganku yang hanya seorang penjual kue keliling.

Entah mengapa, setiap ada pertemuan apapun aku tak pernah diajak oleh mereka, padahal mereka saudara sekandung seayah dan seibu. Tapi begitulah hidup, kadang hanya harta yang menjadi tolak ukur seseorang walau bergelar saudara sekalipun.

Ayah yang sudah lama pergi lebih dulu menghadap sang Pencipta, lalu tak lama disusul oleh Ibu. Jadilah kini kami semua berpencar, dan bergelut dengan kesibukan masing-masing yang tak pernah ada habisnya.

Kakak pertamaku yaitu Kak Virda, pengusaha travel ternama di kotanya. Dia tinggal di luar pulau jawa. Sedang Kakak yang kedua yaitu Bang Majid sebagai pengusaha catering yang terkenal, dan Adikku yang bontot bernama Virra, dia juga menjadi pengusaha baju anak-anak. Dan kami semua sudah menikah.

Banyak memang suara sumbang yang mengatakan, hanya akulah yang hidupnya tak seberuntung mereka bertiga. Tapi mungkin memang ini jalan hidup dari sang pencipta, maka akan kujalani saja semua dengan ikhlas dan apa adanya.

Tapi kadangkala aku yang hanya sebagai manusia biasa, ingin sekali rasanya merasakan kebersamaan, kehangatan, dan bersenda gurau dengan mereka yang bergelar saudara sekandung tanpa ada jarak yang memisahkan yaitu harta dan kedudukan.

Terkadang tumbuh rasa iri di hati ini, jika melihat orang lain dengan bahagianya, dengan mudahnya bisa berkumpul bersama keluarganya, mereka tertawa riang, bersenda gurau tanpa ada tembok pemisah.

Kakak-kakakku dan juga adikku memang selalu ramah saat kami saling berkirim pesan, tapi entah kenapa setiap kali aku mengajak mereka untuk berkumpul, selalu saja ada alasannya, termasuk berkumpul saat momen di bulan suci ramadhan.

"Kamu kenapa lagi, kok sedih gitu wajahnya?" Tiba-tiba suara Bang Arham membuyarkan lamunanku.

"Nggak, Bang. Aku cuma rindu aja sama keluargaku. Aku pengen … banget, bisa kumpul sama mereka," jawabku, dan tak terasa buliran bening ini akhirnya lolos tak tertahankan membasahi pipi.

"Sabar ya, Dek. Mungkin memang mereka lagi pada sibuk, jadi mungkin saja mereka  juga nggak ada waktu untuk kumpul-kumpul," Bang Arham mengusap-usap punggungku, aku masih menangis sesenggukan.

Kadangkala aku merasa sepi, aku merasa sebatang kara di dunia ini. Semenjak kedua orangtuaku sudah tak ada lagi di dunia ini, mereka semua yang bergelar saudara sekandung juga seakan ikut pergi. Bagiku mereka itu seperti antara ada dan tiada. Karena walaupun kami tinggal tak terlalu jauh tapi waktu bertemu hanya bisa hitungan jari saja. Itupun kalau aku yang berkunjung kesana, karena mereka tak pernah sekalipun mengunjungi rumah kontrakanku yang sederhana ini, dan sangat berbanding jauh dengan rumah mereka yang bagus dan terlihat mewah.

"Jangan sedih lagi ya, Dek. Gimana kalau kita jalan-jalan saja hari ini? Terus nanti kita mampir ke rumah Emak, kita buka puasa di sana aja, gimana?" Bang Arham membujukku dan mengajak berbuka puasa di rumah Emak, iya Emak itu adalah Ibunya Bang Arham. Mertua yang sangat baik dan penyayang. Mertua seperti orang tua kandung bagiku, pengganti Ibu yang telah pergi. Tak pernah Emak menganggapku menantu sama sekali, Emak malah menganggapku seperti  anaknya sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki Emak. Wanita Sholehah dan baik hati yang telah melahirkan Bang Arham ke dunia.

Aku mengangguk, mengikuti ucapan Bang Arham, si suami penyayang dan pengertian.

🌹🌹🌹

Hari ini Bang Arham terpaksa libur mencari nafkah, karena dia tak ingin melihat istrinya yang bersedih, maka dari itu dia mau mengajak aku dan juga anak-anak untuk ngabuburit dan berbuka puasa di rumah Emak.

Amalia dan Raffa sedari tadi sudah ribut ingin mengunjungi Mall di tengah kota. Padahal aku pribadi sangat canggung untuk masuk ke dalam Mall sebesar itu, rasanya aku malu dan tak pantas untuk berkunjung kesana walau hanya sekedar berjalan-jalan saja. Karena kupikir sudah pasti disana akan ada orang-orang yang memakai baju bagus dan sepatu yang bagus serta mahal. 

Dan akhirnya walau dengan berat hati, kami berdua menuruti kemauan anak-anakku. Demi untuk menyenangkan mereka.

Aku memilih baju gamis yang paling bagus menurutku, karena selama ini aku sudah jarang sekali untuk membeli baju, begitu juga dengan Bang Arham. Bagi kami yang terpenting itu kebutuhan anak-anak bisa selalu tercukupi dan kami bisa membayar biaya sewa kontrakan. Serta tak mempunyai hutang pada siapapun, karena prinsip kami lebih baik hidup pas-pasan tapi tak punya hutang, daripada hidup berlebihan tapi dikelilingi oleh hal yang berbau hutang.

🌹🌹🌹

Kini kami berempat sudah sampai di depan pintu masuk Mall tengah kota. Menurutku Mall ini sangat mewah sekali, ingin rasanya aku berbuka puasa disini bersama suami dan juga anak-anak, tapi kuurungkan niatku, karena sudah pasti makanan disini mahal-mahal. Bagiku sudah bisa menginjakkan kaki di dalam Mall sebesar ini saja sudah cukup, aku bersyukur.

"Wah … bagus banget ya, Bu, Mallnya? Aku seneng banget, makasih ya, Pak? Bu?" Ucap Amalia dengan mata berbinar dan raut wajah yang bahagia.

"Iya, cakep banget Mallnya. Aku juga betah kalau nginap disini," kini Raffa menimpali. Lalu kami semua akhirnya tertawa bersama.

Kami menyusuri lantai demi lantai, Amalia dan juga Raffa sangat senang sekali berada disini. Meski kami tak membeli apa-apa tapi mereka tetap bahagia.

Terkadang ada hal lucu juga saat Raffa melihat baju-baju bagus di dalam toko yang berbalut dinding kaca, di dalamnya terdapat baju-baju mahal yang dipajang menggunakan manekin atau patung berbentuk orang, untuk menambah kesan yang indah pada baju tersebut. 

Raffa terus saja memperhatikan baju-baju tersebut, dengan mulut menganga dan mata yang melotot, dan tak jarang juga dia sambil geleng-geleng kepala. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh anak yang berusia lima tahun itu.

Tak lama kami pun sampai di lantai empat, di lantai ini banyak sekali restoran-restoran mewah yang memanjakan mata dan lidah. Untuk mendekatinya saja aku tak berani, karena lagi-lagi kupikir pasti harganya sangat mahal dan nantinya jika dipaksakan malah akan menyusahkan kami kedepannya.

Banyak restoran-restoran berjejer di depan mata kami, semuanya sudah hampir penuh oleh pengunjung Mall ini, karena memang tak lama lagi waktu berbuka akan segera tiba.

Mungkin kami akan membatalkan puasa disini dengan membeli sebotol air mineral, dan setelah itu baru kami ke rumah Emak untuk berbuka puasa disana.

"Dek, kayaknya kita buka puasa disini aja deh. Kalau ke rumah Emak lagi, gak akan cukup waktunya," ujar Bang Arham.

"Disini Bang? Memangnya uang kita cukup untuk makan di salah satu restoran itu?" Tanyaku balik karena bingung dengan ucapan Bang Arham.

"Cukup kok, udah gapapa kalau sekali-sekali mah," jawabnya, lalu aku pun mengiyakan saja mengikuti kata-kata Bang Arham, walaupun hati ini memang sedikit ragu.

🌹🌹🌹

Kini kami sudah duduk di restoran yang terkenal dengan ayam crispy nya. Suamiku sedang mengantri untuk memesan makanan. 

Sedangkan aku mencari tempat duduk bersama dengan Amalia dan juga Raffa. Semua tempat duduk sudah hampir penuh semua, tapi untungnya ada salah satu tempat yang masih kosong untuk kami gunakan. Lalu kami pun duduk sambil menunggu pesanan datang.

Sayup-sayup kudengar dari arah belakangku seperti suara Bang Majid yaitu Kakak pertamaku, dan juga suara Virra. Mereka seperti sedang tertawa dengan riangnya.

Lalu kuberanikan diri untuk menoleh, dan memastikan si pemilik suara tersebut. Dan betapa terkejutnya diriku saat tahu kalau itu ternyata benar suara dari Bang Majid dan juga adikku Virra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status