Share

Bab 5: Mimpi Buruk Hillary

Suara teriakan sampai pada Serina dan Bellmira kiranya. Mereka bergegas menghampiri arah di mana suara berasal. Seperti yang dilihat saat ini, tampak Hillary sedang berhadapan dengan Mateo.

"A—apa yang kau lakukan di kamar kecil?" tanya Hillary dengan nada suara meninggi. Dia masih ngeri memandangi pria di depannya.

"Memangnya apa lagi yang orang lakukan ketika berada di kamar kecil?"

"Ta—tadi ... kau, kau bergetar!"

Mateo sama sekali tidak mengerti. Dia hanya membuang air kecil setelah menahannya lama akibat pekerjaan dapur yang tidak bisa ditinggalkan, tidak mengira jika seseorang akan datang. Semua juga merupakan kesalahannya karena memiliki kebiasaan tidak mengunci pintu ketika masuk ke kamar mandi. Terlebih dari itu, otaknya berpikir cepat mengenai keberadaan Hillary. Dia tanpa sadar menyelidiki alasannya.

Hillary memperhatikan ke mana arah kedua mata itu melihat. Dia memelotot ketika mengetahui bahwa dadanya adalah sebuah titik henti. Tumpahan makanan tadi telah membuat pakaian tipisnya menerawang. Sadar bahwa tindakan Mateo tidak senonoh, dia pun segera melayangkan tamparan pada pipi itu.

Suara tamparan keras menggema sampai meja pelanggan. Mereka terhenti ketika menyantap makanan. Sementara dua orang wanita lainnya yang ikut menyaksikan hanya melongo, tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depan mata.

Mateo menyentuhkan tangan ke pipi yang ditampar tadi, lalu lambat-lambat memutar kepala. Kini Hillary masih sangat marah dengan sikap kurang ajar yang baru saja dialami. Tidak lupa setelahnya kedua tangan memeluk tubuh dengan erat agar harga diri terjaga.

"Minggir!" teriak Hillary, mendesak diri untuk memasuki bilik kecil itu.

Mateo yang tidak memiliki ruang lagi membuat dirinya harus melangkah keluar. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dialami. Baru kali ini dia ditampar oleh seorang wanita dan ternyata rasanya tidak biasa saja. Sakit.

Di dekat pintu sana Bellmira tertawa, entah ingin meledek atau apa. "Kakak tidak mengunci pintunya lagi?"

Mateo mendesah, mengartikan betapa kesal dia saat ini. Tangannya tidak berhenti mengusap pipi yang masih jelas sekali perihnya. Padahal, dia hanya tidak sengaja memperhatikan baju yang basah.

***

Suara kembang api telah berkumandang jauh di angkasa, memperlihatkan betapa indahnya gelap malam. Lautan manusia tengah berduyun-duyun menyaksikannya. Mereka tersenyum ke arah langit luas yang tampak membentuk sebuah lukisan dengan aneka warna.

Rumah makan telah kosong oleh pelanggan, menyisakan empat orang yang terjebak dalam zona diskusi. Mateo tidak begitu murah hati untuk melepaskan ketiga wanita yang menurutnya patut diberikan pertanyaan.

Bellmira sebelumnya sangat percaya diri dengan keputusan untuk membuka lowongan pekerjaan. Dia berpikir bahwa kakaknya tidak akan mengomentari karena jalan keluar yang diambil telah banyak membantu mereka malam ini.

"Kakak—"

Belum separuh dari kalimat keluar, Bellmira sudah surut keberaniannya. Dia menundukkan kepala kembali. Sebaliknya, Hillary tidak menunduk atau menatap pria yang duduk di hadapan mereka, justru membuang muka lantaran masih kesal dengan kejadian tadi.

"Izinkan kami memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku Serina dan wanita yang duduk di sampingku ini adalah Hillary. Kami datang dengan maksud baik, untuk melamar pekerjaan."

"Mana ada manajer perusahaan yang ingin bekerja sebagai pelayan," ucap Mateo. Dia ingat mengenai percakapan ketika bertemu pertama kali dengan Hillary. "Katakan maksud kedatangan kalian dengan jelas. Aku tidak akan menoleransi jika hal itu membawa dampak buruk bagi rumah makan kami."

Bellmira tidak tahu-menahu mengenai pembicaraan yang berubah menjadi sangat serius. Di sisi lain, dia juga baru sadar bahwa orang yang diterima bekerja di rumah makan mereka bukan wanita yang sederhana. Pakaian yang dikenakan tidaklah biasa saja, lebih mencerminkan orang berkelas.

"Meera, kau bisa masuk ke kamar."

Ucapan sang kakak membuat Bellmira menoleh. "Kenapa? Aku bagian dari rumah makan ini dan aku juga harus tahu tentang apa yang berkaitan dengannya."

"Ini tidak berkaitan dengan rumah makan. Kau bisa memberikan ruang bagi kami untuk membahas persoalan pribadi. Mereka adalah tamuku."

Meera mengepalkan tangan. Dia tidak terima, tetapi juga tidak bisa menolak. Jadi, dia memutuskan untuk bangkit dan menuruti permintaan kakaknya.

Sepeninggal sang adik, Mateo tidak ingin berlama-lama lagi. Dia memulai percakapan lebih dulu, "Kalian adalah wartawan?"

Serina sedikit terkejut mengetahui kalau identitasnya terbongkar. Padahal, dia sudah berupaya untuk menyembunyikannya.

Dia pun mengeluarkan kartu nama dari dalam saku dan menyodorkannya. "Saya Serina Williams, seorang wartawan di Meteor Media. Anda tidak salah mengenali teman saya sebagai seorang manajer."

Mateo tidak membuka jalan akses bagi wartawan karena memang dia enggan berurusan dengan mereka. Hanya karena menghindar, dia dan adiknya sampai berpindah-pindah tempat tinggal. Baru sekarang kehidupan mereka tidak terusik. Namun, hari ini ketenangan mereka harus mendapatkan kabar buruk lagi.

Serina yang merasa kalau mereka akan segera diusir, langsung berkata, "Tuan Mateo, mohon dengarkan penjelasan kami terlebih dahulu. Ini tidak seburuk yang Anda bayangkan. Saya sudah mengumpulkan banyak data mengenai kehidupan Anda. Mengenai kejadian silam harus diluruskan. Saya yakin bahwa Anda bukanlah—"

"Berhenti bicara. Aku tidak ingin Meera mendengarnya."

Mateo memperhatikan arah di mana tangga berada. Dia berusaha untuk menilai tanda-tanda pergerakan dari sana. Dalam keadaan suasana hening yang begitu lama, dia dapat menyimpulkan kalau tidak ada yang mendengar pembicaraan selain mereka.

"Kita bicarakan lagi mengenai hal ini besok. Katakan padaku, kapan dan di mana kita akan bertemu."

Serina cepat paham dengan situasi. Dia tahu mengenai apa yang berkaitan dengan pembicaraan mereka nantinya adalah sesuatu yang bersifat rahasia. "Sepuluh pagi, Marine Hotel," ucapnya yakin.

"Kita tidak bisa berbicara di tempat yang rawan dalam persoalan sistem keamanan."

Serina juga satu pemikiran. Dia memang memilih tempat yang bersifat rahasia, akan tetapi lupa mempertimbangkan tentang sistem keamanan. Marine Hotel adalah tempat di mana banyak orang akan singgah, para tamu datang secara bergantian. Selain itu, akan sulit untuk memindai lawan kalau saja ada yang tahu mengenai tindakan nekatnya ini. Dia pun juga harus berhati-hati.

"Kalau begitu ... The Pearl Villa, tempat di mana Hillary tinggal. Di sana sistem keamanannya cukup tinggi dan hanya ditempati seorang diri. Tidak akan ada yang datang selain izin dari pemiliknya."

Saat kalimat itu dilontarkan, Hillary sudah membelalakkan mata. Dia terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang melibatkan dirinya terus-menerus. Terlebih, dia sama sekali tidak mengerti akan situasi yang sedang mereka hadapi.

"Will, apa kau sudah gila?!"

Serina menoleh ke sisi kanan, lalu berkata, "Jhand, aku membutuhkan bantuanmu. Kami tidak akan mengusikmu. Kau bisa beraktivitas seperti biasa selagi kami berbicara."

Hillary sulit untuk berkata karena dia merasa kalau dunia ini begitu kejam padanya. Dia belum pernah membiarkan orang asing menginjakkan kaki di rumah pribadinya yang tenteram dan sekarang pria bagaikan tumbuhan layu ini akan senantiasa menempelkan jejak di sisi-sisi kediamannya.

Renko

Bagaimana pendapatmu tentang mereka yang ada di novel ini?

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status