Dua hari tersisa, Mateo hanya berjaga di sekitar The Pearl Villa. Hillary tidak mengerjakan aktivitas apa pun di luar kediaman selama memulihkan diri, mungkin benar-benar sudah memutuskan hidup dengan baik.Bahkan, akibat kondisinya yang buruk di pertengahan pesta kemarin, Hillary sampai memanggil dokter keluarga ke vila, hal yang sudah lama tidak dilakukan karena sebelumnya dia yang menghampiri sang dokter supaya meresepkan obat untuknya ketika usus buntu meradang.Mateo menoleh ke lantai dua, mendapati Hillary sedang berbicara dengan sang dokter. Saat ini dia mengambil waktu untuk merokok sebentar, tiba-tiba jadi terpikirkan mengenai hal apa yang akan dilakukannya setelah masa kerja menjadi pengawal selama satu minggu usai.Beberapa batang rokok habis bertepatan saat sang dokter muncul di lantai bawah, tampak sudah akan pergi. Mateo menoleh lagi ke arah jendela besar yang diketahuinya merupakan milik kamar Hillary. Wanita itu sedang melihat pula ke arahnya, langsung berpaling dan pe
Serina meletakkan kedua belah tangan di pinggang, menatap sepeda motor yang akhirnya menjadi pilihan. Dia sudah menghubungi sang sahabat untuk persoalan biaya dan sekarang sedang menunggu respons Hillary."Kau yakin dengan pilihanmu? Hillary tidak akan senang mendengarnya.""Yang aku perlukan hanyalah sepeda motor, mahal atau tidak bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Selama mesinnya bisa berfungsi dengan baik, maka itu sudah cukup.""Tapi sekarang bukan mahal atau tidak mahal sebagai pilihanmu, tapi baru dan tidak baru. Bagaimana jika keputusanmu diubah? Kita akan membeli yang baru, bukan yang bekas."Tepat pada kalimat terakhir, Mateo menerima telepon. Dia melihat ke arah Serina yang menatap bingung padanya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut."Halo?" Mateo berkata."Kau ingin agar aku berutang budi padamu sampai mati?"Serina mendengar suara sang sahabat dari ponsel Mateo. Dia melipatkan tangan di dada sambil berekspresi tidak peduli, sudah tahu kalau hal seperti ini akan
Serina mencebik, tidak suka dengan Stuart yang memberikannya pekerjaan secara tiba-tiba, bahkan dia tidak jadi ditraktir oleh Mateo, karena harus singgah ke Meteor Media untuk menyelesaikan beberapa hal."Aku sedang sibuk menyelesaikan proyek besar dan kau selalu menambah pekerjaanku. Bukankah gajiku yang sekarang tidak akan sepadan dengan kesetiaanku terhadap perusahaan ini?""Sibuk bagaimana? Kau belum memperlihatkan kemajuan apa-apa selama satu minggu ini," ucap Stuart.Serina mengernyitkan alis. "Itu karena kau terus-menerus memberikan pekerjaan yang begitu banyak padaku!""Kau yakin bukan karena Mateo yang harus melindungi sahabatmu? Mungkin kau perlu diingatkan pada tugasmu yang sesungguhnya yaitu mencari informasi mengenai pembunuhan yang melibatkan tuan Conor. Jangan sampai tujuanmu berubah arah menjadi yang lain."Stuart melemparkan dokumen yang dibacanya sejak tadi ke atas meja. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main, Serina," ucapnya, kemudian keluar dari ruangan.Serin
Serina mematikan televisi tidak lama setelah siaran wawancara singkat usai. Dia tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk mengorek informasi dari Lemuel, bahkan pria itu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik.Stuart juga ada di sana, menyaksikan hal yang sama tadinya. Setelah selesai menonton, dia pun berkata, "Sekarang kau membuat orang-orang bersimpatik padanya. Apa sebelum mewawancarai, kau tidak memikirkan soal dia yang akan menjawab dengan sangat baik?"Ponsel Serina berdering. Dia mengangkat panggilan telepon begitu saja. "Halo?""Halo, Wartawan Serina."Serina seketika menjadi tegang saat mendengar suara di seberang sana. Dia melihat kembali sejumlah nomor tidak tersimpan yang ada dalam layar, tidak menduga kalau dia akan dihubungi oleh Lemuel."Anda pasti terkejut, karena saya menghubungi begitu tiba-tiba.""Ah, ya ... saya tidak pernah menduganya."Serina keluar dari ruangan, meninggalkan raut kebingungan di wajah Stuart. Dia mencari sudut yang aman untuk mereka bicara,
Rumah makan yang terletak di hadapan mereka tampak sederhana dengan papan reklame kecil menggantung di sudut bangunan. Baru saja cahaya kekuningan muncul dari papan berukuran mini itu, memperjelas lagi rangkaian huruf yang tertempel di sana—Honolulu. Dari tirai jendela, siluet beberapa orang bergerak tidak beraturan. Mereka adalah pelanggan yang datang satu jam lalu, tidak mengira jika pintu rumah makan terbuka kembali saat ini dan memunculkan tiga sosok pria berjalan keluar sambil mengusap-usap perut yang sepertinya sudah puas diberi makan. "Semua pelanggan sudah pergi. Kau bisa masuk ke sana. Aku akan menunggumu di sini." Serina berkata sambil mendorong wanita di depannya. Hillary yang didorong pun melirik tajam pada sahabatnya yang berlagak seperti seorang atasan. Terlebih dia tidak suka dengan rencana Serina yang tergolong buruk, belum pernah seumur-umur dia menginjakkan kaki ke tempat kecil seperti rumah makan yang dilihatnya ini. "Kenapa menatapku seperti i
Pemilik kedai kecil itu bernama Mateo. Dia hendak membersihkan sisa makanan pelanggan yang baru saja pergi, tetapi keningnya langsung berkerut ketika mendapati isi mangkok yang tidak rusak sedikit pun, kontras dengan perkataan pelanggan wanita yang bersikap seperti sangat terpuaskan tadinya. Suara deru mobil membuat Mateo menolehkan kepala. Dia melihat pelanggan wanita yang tadi sebagai pengendara. Tidak tahu maksud dari kedatangan, yang pasti seruan kepuasan yang dia dengar hanyalah sebuah kebohongan semata. Perhatiannya teralih saat melihat keberadaan Bellmira—adik perempuannya. Dia bergegas keluar untuk membantu sang adik yang mengangkut beberapa kantong plastik berukuran besar. "Belanja sebanyak ini, kenapa tidak menghubungiku? Aku juga sudah katakan untuk membeli bahan seperlunya saja. Kenapa kau tidak mendengarkanku?" tanya Mateo, kesal dengan sikap adiknya. "Tadinya aku berpikir begitu, tapi melihat ada banyak diskon sebelum akhir tahun, aku jadi belanja b
Bellmira meletakkan ponsel di atas kasur setelah menerima panggilan aneh dari orang yang tidak dikenal. Dia mendengus pelan dan menggerutu di dalam hati, cukup kesal karena tidak tahu siapa yang menelepon. Pada saat itu pula suara ketukan pintu terdengar, memunculkan sosok kakaknya yang tiba-tiba datang. "Ada apa?" tanyanya, kemudian menghampiri sang kakak. "Kau terlihat sangat kesal." Mateo menyimpulkan dari raut wajah yang dia lihat. Bellmira melipatkan tangan di dada, lalu berkata dengan raut wajah kesal yang belum hilang sepenuhnya, "Ada nomor asing meneleponku. Saat aku mengangkatnya, tidak ada suara dari seberang sana. Setelah itu, panggilan berakhir begitu saja." "Aku memberikan nomormu pada seorang pelanggan wanita." Bellmira teringat akan pembicaraan mereka mengenai pelanggan wanita. Dia langsung mengerti siapa orang yang meneleponnya. "Kenapa Kakak tidak mengatakan hal penting itu padaku? Aku sampai kesal setengah mati karena begitu penasaran."
Serina menarik lengan sahabatnya itu untuk menjauh, akan tetapi tidak diindahkan sama sekali. Hillary tetap saja bersikeras untuk menghadapi pelanggan pria bertubuh kekar. Apalagi, bukan hanya ada satu karena di belakang pria tersebut masih ada yang lain. Mereka seolah membentuk koloni yang akan mustahil untuk tiga orang wanita hadapi. Suara bel meja terdengar, menandakan pesanan telah selesai. Hanya sebuah tangan yang bisa mereka semua lihat, tidak hanya satu kali koki dapur memberikan tanda. Hingga tidak kunjung ada pergerakan, sang koki mengintip dari balik kain yang menutup bilik dapur. Saat ini Mateo sedang melihat ekspresi ketakutan di wajah adiknya. Dia berpikir kalau tidak ada yang beres di rumah makan mereka. Jadi, dia memutuskan untuk mematikan kompor dan menghampiri permasalahan yang mungkin sedang terjadi. "Ada apa?" tanya Mateo pada sang adik. Bellmira yang sudah ketakutan setengah mati langsung menghamburkan diri untuk bersembunyi di belakang tubuh