Share

Ardi & Brian

Brian duduk di pinggir lapangan basket. Ia menatap jaring ring yang sejak tadi bergerak karena hembusan angin yang cukup kencang. Rasanya, sudah lama sekali, ia tidak bermain basket. 

Ia tersenyum, saat melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam 15.00, berarti waktunya untuk pulang ke rumah. Ia berdiri lalu berbalik. Ia kaget, saat melihat Ardiansyah berada di hadapannya.

"Kenapa? Apa lo mau main basket?" tanya Brian.

"Pengen, tapi nggak boleh sama dokter," jawab Ardiansyah sambil memandang ring basket.

Dokter? Apa laki-laki yang ada di hadapannya ini punya penyakit? Tetapi, ia terlihat sangat sehat. Dan, Brian sama sekali, tidak pernah melihat laki-laki itu minum obat. 

"Antara Felysia dan Laura. Lo pilih yang mana?" tanya Ardiansyah. 

"Felysia lah. Dia kan pacar gua," jawab Brian.

"Kalau gitu, nggak ada masalah, kalau gua pacaran sama Laura."

Brian langsung terdiam. Benar juga, laki-laki yang berada di hadapannya ini, sudah tau tentang perasaannya yang sebenarnya. Ia benar-benar bodoh, karena tadi asal menjawab.

"Gua belum bisa nentuin," ucap Brian.

"Dan, kayaknya hubungan lo sama Laura semakin dekat. Bahkan, setiap hari, dia ngasih lo bekal," lanjut Brian.

"Ya gitu, deh," ucap Ardiansyah.

"Apa lo mau rebut dia dari gua?" tanya Brian.

Brian adalah laki-laki yang sangat egois. Ia menginginkan dua perempuan sekaligus. Laki-laki yang sama sekali, tidak memikirkan perasaan orang yang berada di sekitarnya. Laki-laki yang sifatnya bertolak belakang dengan sifat Ardiansyah. 

"Gua bakal jaga dia semampu gua," ucap Ardiansyah. 

Brian menatap wajah Ardiansyah. Ternyata, laki-laki yang ada di hadapannya itu sudah memutuskan untuk selalu menjaga Laura. Dan, dengan begitu, ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk mendekati perempuan itu lagi. 

"Tapi, kalau lo lebih sayang Laura dari pada Felysia. Gua siap ngelepasin Laura kapanpun itu," ucap Ardiansyah. 

"Apa lo yakin?" tanya Brian

"Tugas gua cuma jaga dia. Nggak lebih dari itu. Jadi, kalau ada orang yang bisa jaga dia lebih baik daripada gua. Gua siap ngelepasin dia," jawab Ardiansyah. 

"Dan, gua yakin. Kalau, lo bisa bikin dia lebih bahagia," lanjut Ardiansyah.

Ardiansyah pun membalikkan badannya. Hari ini, ia sudah sangat banyak ngomong. Jadi, ia rasa sekarang sudah cukup. Ia melangkahkan kakinya menjauh dari tempat Brian berada.

Brian menatap punggung Ardiansyah yang semakin menjauh. Baru seminggu, mereka berkenalan. Tetapi, laki-laki itu sudah rela melepaskan hal yang berharga demi dirinya. Apa ini yang dinamakan sebuah persahabatan? Atau, laki-laki itu hanya iba saat tau perasaannya yang sebenarnya?

"Suatu hari, gua bakal balas kebaikan lo. Jadi, nggak usah khawatir," gumam Brian sambil menunjuk Ardiansyah yang sudah jauh di depannya.

*****

Laura melangkahkan kakinya lebih cepat, saat melihat Ardiansyah sudah menunggunya di depan gerbang sekolah. Padahal sekolah sudah sangat sepi. Tetapi, laki-laki itu masih saja menunggunya. Benar-benar, laki-laki yang sangat aneh.

Langkahnya terhenti saat sudah berada tepat di hadapan Ardiansyah. Ia menatap mata Ardiansyah, lalu tersenyum kecil.

"Makasih, udah mau nungguin aku," ucap Laura.

"Sama-sama," ucap Ardiansyah sambil memalingkan pandangannya dari Laura.

"Yuk."

Mereka pun berjalan meninggalkan gerbang sekolah. Mereka menuju ke arah parkiran untuk mengambil sepeda milik Ardiansyah. Di setiap langkahnya, Laura selalu menyempatkan untuk melirik Ardiansyah. Entah kenapa, ia selalu tersenyum, saat mengingat cerita Felysia tadi.

"Kenapa?" tanya Ardiansyah saat sudah berada di parkiran.

"Nggak kenapa-napa," jawab Laura.

"Apa nggak ada yang mau kamu omongin?" tanya Laura.

"Nggak ada," jawab Ardiansyah. 

"Ans."

Ardiansyah langsung menghentikan langkah kakinya. Ia menghadap ke arah Laura. Sebenarnya apa yang sedang perempuan itu rencanakan? Tadi sudah berani-beraninya membuatnya menunggu. Sekarang,  memperlambat kepulangannya.

Laura tersenyum. Lalu menggenggam kedua tangan Ardiansyah dengan erat. Matanya menatap lekat kedua manik mata Ardiansyah.  

"Makasih," ucap Laura.

"Gua nggak ngelakuin apa-apa," ucap Ardiansyah. 

"Aku udah tau semuanya, kok."

Mata Ardiansyah membulat sempurna. Apa jangan-jangan perempuan itu sudah tau tentang Vito yang mengancamnya? Tetapi, dari siapa? Padahal, ia ingin merahasiakan tentang hal ini dari perempuan itu.

"Apa maksud lo?" tanya Ardiansyah. 

"Makasih udah ngelindungin aku dari hukuman," jawab Laura.

Laura tidak menyangka, kalau Ardiansyah akan menerima ancaman itu. Padahal, laki-laki itu bisa saja menolak dengan santainya. Tetapi, ternyata laki-laki itu memilih untuk menerima ancaman itu demi dirinya. 

"Gua udah bilangkan. Jangan pernah berterima kasih ke gua. Kalau tetap mau ngucapin, ucapin itu saat hubungan kita udah selesai," ucap Ardiansyah. 

Bisa dibilang, Ardiansyah adalah sosok yang sangat membenci kata maaf, dan terima kasih. Baginya, dalam sebuah ikatan cinta maupun persahabatan,  tidak memerlukan kedua kalimat itu. 

"Iya-iya, aku tau. Tapi, ini aku ucapin sekarang, karena aku takut kelupaan," ucap Laura.

"Dasar pikun," ejek Ardiansyah. 

"Heh, mulutnya tolong dijaga. Mana mungkin cewek secantik aku bisa pikun."

Laura tersenyum kecil. Laki-laki yang berada di hadapannya ini sangat berbeda dengan laki-laki yang pernah ia temui selama ini. Laki-laki yang tidak mau sebuah ucapan terima kasih, dan maaf dari orang terdekatnya. Dan ia harap, dengan perbedaan itu bisa membuatnya merasakan sebuah ketulusan. 

"Kamu harus ubah sikap kamu. Dengan kamu cuek begini, nggak bakal ada yang mau sama kamu," ucap Laura.

"Emang itu tujuan gua," ucap Ardiansyah.

"Loh? Kenapa?" tanya Laura.

"Gua belum siap buat ngerasain sakitnya kehilangan," jawab Ardiansyah. 

Laura tersenyum kecil. Ardiansyah  belum siap kehilangan. Tetapi, menerima permintaan Laura untuk menjadi sepasang kekasih. Apa laki-laki itu lupa? Kalau hubungan mereka itu palsu. Dan, setelah lulus, Laura akan meninggalkan laki-laki itu untuk selama-lamanya. 

"Tapi, kamu udah biarin aku buat masuk ke dalam kehidupan kamu," ucap Laura.

"Gua memang biarin lo masuk ke dalam hidup gua. Tapi, gua nggak pernah biarin lo buat jadi pusat dunia gua," ucap Ardiansyah. 

"Dengan begitu, saat kita harus berpisah. Rasa sakit yang gua alami, nggak bakal terasa begitu sakit," lanjut Ardiansyah. 

"Kamu orang baik, Ans. Pasti, kamu pasti dapat perempuan yang lebih dari gua," ucap Laura sambil mengeratkan genggamannya. 

Ardiansyah tersenyum kecil. Memberi tanda, kalau ia tidak akan membalas perkataan Laura. Mereka berdua pun naik ke atas sepeda milik Ardiansyah. Tentu saja, Ardiansyah yang mengayuh sepeda. Di sepanjang jalan, Laura menikmati angin yang menerpa wajahnya dan menguraikan rambutnya. 

Tangannya perlahan mulai melingkar di perut Ardiansyah. Untung saja, tas milik Ardiansyah,  berada di pangkuannya. Jadi, Ia menyandarkan wajahnya di punggung laki-laki itu. Dan setelah itu, ia langsung memejamkan matanya. 

"Kamu harusnya jangan jadi pelangi buat orang yang buta warna," ucap Laura.

"Orang buta warna, juga butuh warna di hidupnya," ucap Ardiansyah. Situasi jalanan sedang sepi. Dan, sangat minim suara. Jadi, Ardiansyah bisa mendengar dengan jelas ucapan Laura. 

Tuhan, sudah begitu baik kepada Laura. Saat ia ingin merasakan sebuah ketulusan. Tuhan, langsung menghadirkan Ardiansyah dalam hidupnya. Seorang laki-laki yang sangat cuek. Tetapi, rela mengorbankan kebebasannya demi ketenangan Laura. 

"Dan, maaf. Gua nggak sebaik yang lo pikirkan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status