Pagi ini Kana tidak lagi terlambat. Ia memilih berangkat 1 jam lebih cepat dari biasanya agar tak terjebak macet lagi. Terlebih, ia sudah tidak menunggu siapapun untuk berangkat ke sekolah. Kana berjalan menyusuri lapangan yang cukup luas tersebut. Saat sedang berjalan, tiba-tiba pikiran Kana teringat pada amplop merah muda yang berisi pengakuan cintanya.
Kana berlari menuju perpustakaan untuk mencari amplop tersebut. Suasana sekolah saat itu masih sepi. Kemungkinannya dapat menemukan amplop itu masih besar. Kana terus menundukan kepalanya untuk mencari amplop tersebut. Namun seperti di telan bumi, ia bahkan tak menemukan sehelai rambut pun di lantai.Dari kejauhan datang cowok berseragam batik sama sepertinya. Cowok itu membawa keranjang sampah di tangan kanan dan sapu di tangan kirinya. Cowok itu berjalan menghampiri Kana yang terus menatapnya."Mencari sesuatu?" tanya cowok itu sambil tersenyum tipis. Kana menganggukan kepalanya mantap. Lalu ia melirik badge kelas yang ada di lengan kanan laki-laki tersebut. Ternyata laki-laki itu adalah kakak kelasnya, lebih tepatnya sekelas dengan Edo di XII IPA 2."Gue sedang cari amplop warna merah muda. Kemarin seingat gue ada di sini," ujar Kana seraya menggaruk tengkuknya yang terasa gatal.Cowok itu meletakan keranjang sampah yang ada di tangannya. Lalu ia memasukan tangannya ke saku celana. Saat tangan itu kembali ditarik keluar, Kana dapat melihat surat cintanya yang sudah lusuh. Ia segera menyambar amplop tersebut. Setelah itu Kana menghambur sejauh-jauhnya dari cowok tersebut.Sedangkan cowok itu hanya menatap Kana dengan bingung. Ia sama sekali tak mengerti kenapa ada orang di zaman ini yang masih mengirim surat seperti itu, padahal smartphone sudah tersedia. Cowok itu mengedikan bahu nya, ia memilih melanjutkan pekerjaannya.~~~Kana berada di sudut kantin bersama Mirna dan dua cowok yang cukup dekat dengannya. Kana sering kali memanggilnya sebagai Ham karena namanya Ilham dan Ri karena namanya Fahri. Kana memakan baksonya dengan sangat malas. Ia masih teringat kejadian kemarin."Jadi si bajingan itu nolak lo?" tanya Ilham.Kana menganggukan kepalanya dengan wajah cemberut. Kana menatap Mirna yang sedang bermain ponselnya. Nampaknya cewek itu sama sekali tak peduli dengannya hari ini. Kana pun menghela nafasnya dengan lemah, lalu ia merebahkan kepalanya di meja kantin tersebut.Tiba-tiba suasana kantin yang begitu damai mulai ricuh saat seorang gadis yang entah siapa namanya datang membawa gosip terbaru. Kana mengangkat kepalanya dengan wajah yang masih cemberut. Ia ingin tahu gosip apa yang sedang heboh hari ini."Kana di tolak sama Edo!" teriak gadis yang baru muncul itu.Semua mata secara bersamaan tertuju pada sosok Kana yang duduk di sudut kantin tersebut. Ia tak lagi bisa berkata apa-apa. Kini bukan hanya Fahri, Ilham dan Mirna yang tahu bahwa dirinya sudah ditolak, tapi satu sekolah akan mengetahuinya. Kana menundukan lesuh, menyembunyikan wajah di antara lipatan kedua tangannya. Ia sudah tak punya wajah lagi untuk menjejakan kakinya di sekolah ini."Apa gue pindah sekolah aja ya?" gumam Kana.Mirna yang sedari tadi fokus bermain ponsel pun mulai mengalihkan tatapannya pada Kana. Mirna menggeleng dengan tatapan tajamnya."Kalau lo pindah sekolah, itu sama aja lo kalah dari Kak Edo! Lo harus buktiin kalau lo itu cewek yang kuat," ujar Mirna.Kana tersenyum kecut. "Ga biasanya lo bijak gini, Mir."Mirna mencebikan bibirnya, lalu kembali fokus pada ponsel di tangannya. "Terserah."Mereka tak menyadari bahwa ada cowok yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dari mereka. Saat semua orang sudah mulai tak peduli dengan gosip itu, hanya dialah yang masih terus menatap Kana dengan tajam."Lo kenal Nana?" tanya laki-laki itu.Temannya yang sedang menyantap makanan pun mengernyit bingung. "Nana?"Cowok itu mengangguk, lalu menunjuk Kana yang sedang menelungkupkan kepalanya. "Cewek yang ada disana."Temannya itu terkekeh. "Itu namanya Kana bukan Nana. Jelas kenal lah.""Pembawa sial," sahut temannya yang baru datang.~~~Kana berjalan mengendap-endap saat melewati lapangan sekolah. Ia sengaja pulang paling akhir agar tak menjadi pusat perhatian. Saat dirasa tak ada siapapun selain Pak Satpam di posnya, Kana pun melangkah dengan santai. Ia menghela nafasnya dengan berat. Kana memasukan tangan kanannya ke saku, ia meraih sebuah koin lama yang di anggap sebagai pembawa keberuntungan."Kenapa gue ga diberikan kesempatan sedikit pun untuk punya pacar ...," gumam Kana sambil terus menunduk lesuh."Mirna punya pacar, Fahri juga punya pacar. Cuma gue yang jomblo!" ujar Kana dengan kesal."Apa gue terlahir untuk hidup tanpa pasangan? Gue ... jangan-jangan gue terlahir jadi jomblo seumur hidup?" tanya Kana pada dirinya sendiri.Kana menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia tak mungkin terlahir seperti itu. Mungkin saja jodohnya saat ini sedang mengembara untuk menemukannya. Bisa saja jodohnya ada di dekatnya, tapi sedang terjebak di hati yang salah. Atau jangan-jangan jodohnya adalah... Lee Min Ho? Kana terkekeh saat menyadari pikirannya. Jiwa menghalunya sudah kembali muncul."Gueb... mulai sekarang gue ga akan berurusan sama yang nama nya cinta," gumam Kana.Kana menghela nafasnya, lalu ia mengepalkan kedua tangannya. "Ayo hidup tanpa sakit hati, Kana!"Kana berjalan melewati parkiran yang terletak di luar gerbang. Ia menundukan kepalanya saat melihat sebuah kerikil. Kana menendang kerikil yang menghalangi jalannya itu dengan cukup kencang. Kana perlahan mengangkat kepalanya untuk tahu sejauh apa kerikil itu akan menggelinding. Lalu kerikil itu berhenti tepat di kaki seorang cowok yang sedang menstarter motornya di pojok. Kana dengan cepat menutup wajahnya dengan kedua tangan agar cowok itu tak melihatnya.'Loh? Kok ada orang?' batin Kana.Lalu Kana berjalan melintasi laki-laki itu dengan langkah seribu. Namun karena terlalu terburu-buru, Kana menjatuhkan koin yang ada di genggamannya. Koin itu menggelinding, ia segera mengejar koin itu. Tapi koin itu terus saja menggelinding tanpa henti. Lalu sebuah kaki menginjak koin itu hingga berhenti. Kana segera memegang sepatu yang menginjak koinnya. Ia pun berjongkok, ia pun mengangkat sepatu itu agar bisa mengambil koinnya."Lo ... Nana?"Kana sontak mengangkat kepalanya, lalu menggeleng. "Bukan, gue Kana.""Oh iya, maksud gue Kana," ujar cowok itu dengan senyum lebarnya.Kana masih terus berusaha mengangkat sepatu itu. Tapi sepertinya cowok itu sengaja menguatkan kakinya agar Kana tak bisa mengangkat sepatunya."Kak, bisa angkat kaki nya?" tanya Kana.Cowok itu menggelengkan kepalanya dengan senyum yang tak kunjung luntur. "Gue lagi malas buat bergerak."Kana menghela nafasnya. "Kalau gitu biar gue yang angkat sepatunya. Tapi tolong jangan terlalu kuat napaknya. Susah!"Bukannya mengangkat kaki, cowok itu justru menarik kerah baju belakang Kana hingga memaksanya berdiri. Cowok itu tersenyum samar, tapi Kana sama sekali tak bisa melihatnya. Ia menatap cowok di hadapannya dengan tatapan tak suka."Ada apa?!" tanya Kana dengan ketus."Ayo kita pacaran," ujar laki-laki tersebut.Kana mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia berusaha meyakinkan bahwa ini tidak nyata. Mungkin ia terlalu berambisi untuk punya pacar sampai berhalusinasi seperti ini. Ia yakin ini hanya halusinasinya, karena saat melintasi gerbang ia sama sekali tak melihat ada orang di parkiran."Lo hantu ya?" tanya Kana.Kini saatnya cowok itu yang mengerjapkan matanya, ia terlihat bingung. Bagaimana bisa ia disebut hantu. Jelas-jelas kakinya masih menapak kuat di tanah. Kana pun tahu jelas karena sedari tadi ia berusaha mengangkat kaki cowok tersebut. Cowok itu pun sedikit mundur, lalu ia melepas ranselnya. Ia mengambil sesuatu dari dalam ranselnya.Ternyata sebuah kotak martabak!Kana tanpa sadar menelan ludahnya saat melihat kotak tersebut. Lalu cowok itu mulai membuka kotak martabak tersebut.'Semoga bukan martabak keju!' batin Kana.Jreng!
Kana menahan kedua tangannya dengan bersusah payah agar tak meraih kotak tersebut. Cowok itu maju satu langkah ke depan Kana. Lalu ia tersenyum.
"Kalau lo ambil martabak ini ...," ujar laki-laki itu. Ia sedikit memberi jeda pada kalimatnya."Kita pacaran."Greb!
Kana sudah tak lagi bisa menahan kedua tangannya. Dengan cepat ia menarik kotak itu. Matanya berbinar-binar saat melihat martabak keju yang ada di dalam kotak tersebut. Kana mengambil satu potong martabak itu, lalu menggigitnya.
'Dia ngomong apa tadi ya?' tanya Kana dalam hati.Lalu Kana mengedikan bahunya. Ia tak peduli dengan ucapan laki-laki itu. Hal terpenting saat ini adalah martabak keju yang nikmatnya tiada tanding tersebut.Bersambung...
Halo semuanya.Author Fit menerbitkan beberapa karya baru loh. Kalian lebih suka cerita romance atau thriller guys? Jujur aja, sebenarnya saya lebih handal menulis cerita horor/thriller. Setiap harinya saya merasa tidak pernah mengalami writer block. Tapi jika saya hanya mengikuti keinginan pribadi,cerita saya tidak akan laku di pasarannya. Hampir semua platform mengedepankan cerita romance.Oh iya, saya juga menulis di beberapa platform lainnya. mohon dukungannya untuk para pembaca ^^Sekian, untuk School Diary season 2 akan rilis bulan depan. Sedikit bocoran, judulnya akan berubah karena di season 2 lebih membahas tentang kehidupan setelah sekolah.Terima kasih atas perhatiannya ^^Terima kasih.Salam author Fit.
Kini 6 bulan berlalu usai pertemuan terakhirnya dengan Gilang, kini Kana sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan cowo itu. Rasa yang dahulu menumpuk hingga setinggi gunung, kini mulai sirna. Buktinya, ia bisa duduk tenang walau nama Gilang terpampang di layar ponselnya. Cowo itu sudah berkali-kali menghubunginya, namun ia enggan untuk menjawab panggilan tersebut."Kana, ponselnya tolong dimatikan."Kana menatap ponselnya sebentar, lalu ia mengangguk. Ia langsung mematikan ponselnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Gilang saat ini. Dewi yang duduk di sebelah Kana hanya bisa tersenyum tipis. Ia sudah mengetahui cukup banyak terkait cowo bernama Gilang.Masa lalu Kana yang cukup menyakitkan."Nanti pulang sekolah kita belajar bareng, 'kan?" kata Dewi setengah berbisik.Kana menoleh ke arah Dewi, lalu ia mengangguk mantap. "Jelas.""Gapapa tuh teleponmu dimatiin? Gilang engga akan datang ke sini, 'kan?" tanya Dewi.Kana mengedikkan b
"Menggambar itu harus pakai perasaan, Do. Biar orang yang lihat gambar kamu, bisa tau gimana perasaanmu."Begitu kata bibi selama proses pembelajaran awal. Edo menggambar garis yang tak beraturan dengan perasaan yang masih abu-abu. Ia tersenyum lebar saat melihat hasil gambarnya. Ia menunjukkannya pada sang bibi. Wajah bibinya sangat terkejut melihat gambar yang ada di kertas tersebut."Kamu kelas berapa sih, Do?" tanya bibinya yang langsung merampas kertas itu dari tangan Edo.Edo menggaruk tengkuknya. "Sudah lulus SMA, Bi.""Terus kenapa gambar kamu kayak anak SD?" tanya bibinya dengan kesal.Edo tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Ia memang sama sekali tidak memiliki bakat dalam hal seni seperti itu. Bibinya memberikan kertas baru yang masih kosong pada keponakannya itu. Edo menyambar kertas itu dengan semangat yang membara. Ia tidak boleh gagal lagi. Kegagalannya itu pasti karena perasaannya belum tertuang k
Melihat Kana yang memejamkan matanya membuat Ferdi tak bisa menahan tawa. Ia langsung menjauh dan mundur dua langkah. Setelah itu Kana membuka matanya. Ia menatap Ferdi dengan kesal. Ia bergegas pergi, namun dengan cepat Ferdi menahan tangannya."Mau ke mana cantik?" goda Ferdi.Kana mendecak sebal. "Diam lo!"Dalam satu tarikan, Kana sudah ada di samping Ferdi."Apa sih?" tanya Kana dengan marah.Ferdi menghela napasnya pelan. Ia menggenggam kedua lengan Kana dengan lembut."Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo, Na. Udah ya jangan marah lagi," kata Ferdi.Kana menjawabnya hanya dengan anggukan pelan. Setelah itu Ferdi melepas sebelah tangannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. Ia meletakkannya di telapak tangan Kana. Ternyata sebuah kalung perak dengan lambang hati. Kana menatap Ferdi dengan bingung."Ini apa?" tanya Kana.Ferdi tersenyum tipis. "Ini bakwan,
Hari ini Gilang sudah berangkat ke Yogyakarta. Ia akan mengurus pendaftaran kuliahnya di salah satu universitas yang cukup ternama. Alasan utamanya memilih Yogyakarta adalah untuk bisa lebih dekat dengan Kana. Walaupun teman-temannya sudah bersikeras untuk memaksanya agar tetap ke Kanada, tapi cinta sudah membutakannya. Ia lebih memilih Kana."Hubungi papa kalau sudah selesai," kata papanya ketika sudah tiba di depan gerbang kampus.Gilang mendesis pelan. "Aku sudah besar pa, aku bisa pulang sendiri."Papanya mengangguk pelan. Apa yang dikatakan oleh putranya itu memang benar. Setelah kepergian papanya, Gilang segera memasuki universitas pilihannya tersebut. Deretan gedung yang besar langsung memanjakan kedua matanya. Ia menyusuri kawasan itu dan mencari tempat pembayaran. Setelah ditemukan, ia sangat terkejut saat melihat sosok Ren yang sudah lebih dahulu mengantri di loket pembayaran. Cewek itu menoleh, lalu terkejut saat melihat kehadiran Gi
Waktu berlalu begitu cepat, Kana sedang bersiap pergi menghadiri acara perpisahan di sekolahnya. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan Ferdi. Sebenarnya ia tak ingin berpisah, tapi cowok itu harus segera pergi ke Kanada. Ia berhasil mendapat beasiswa yang diinginkannya selama ini. Kana tidak bisa lagi menghalangi langkah Ferdi. Ia melihat gerbang sekolah yang terbuka lebar. Suasana begitu meriah, terutama saat kumpulan balon terikat di dekat tiang bendera. Balon itu nantinya akan terbangkan setelah wisuda selesai.Kana berlari kecil saat melihat Dewi yang melambaikan tangan ke arahnya. Cewek itu mengenakan seragam putih abu-abu dilengkapi almamater. Sahabatnya itu bertugas untuk menjaga pintu masuk bersama anggota osis lainnya. Kana tersenyum lebar lalu merangkul bahu Dewi. Walau mereka saling mengenal kurang dari satu tahun, tapi kedekatan mereka tidak diragukan lagi."Kamu udah ketemu sama Kak Ferdi?" tanya Kana.Dewi menggelengkan kepalanya.