Share

3. Mentari, Ruka, dan Penderitaan. Iblis. (1)

Mentari hanyalah korban. Orang boleh menghujatnya sesuka hati. Namun ia tahu bahwa ia tidak salah. Sejak dari awal ia tak pernah salah. Dan Mentari tahu bahwa Tuhan tahu itu.

Mentari adalah seorang pelacur.

Awalnya semua baik-baik saja. Ayah yang menelantarkan keluarganya, ibu yang mati-matian memikul seluruh tanggung jawab, sanak saudara yang lenyap entah ke mana, hingga kehidupan sekadarnya yang membelenggunya. Semua baik-baik saja. Seperti sedang mengekor semua kisah klasik yang ada, Mentari tak mau dan tak akan pernah mau meratapi nasibnya. Semua baik-baik saja. "Kesejahteraan dalam kesederhanaan," kata Mentari.

Mentari punya banyak harta berharga. Tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri, gubuk reyot yang sudah seperti istana kerajaan, boneka Minnie Mouse lusuh tak berpakaian yang sudah seperti perhiasan bertabur emas permata, hingga ... dan lain-lain. Sebenarnya masih banyak. Aku malas menyebutkannya satu per satu. Sisanya bayangkan saja sendiri.

Yang jelas, dari semua harta berharga yang ia miliki, ada satu yang paling berharga baginya saat ini - maksudku saat itu. Sahabat. Ya, sahabat. Sebuah harta yang paling berharga. Penyelamat kehidupan manusia. Penolong dalam kesepian dan kesendirian. Sebuah harta yang paling berharga yang tak akan pernah bisa diganti oleh apa pun juga yang ada di dalam dunia ini. Klise.

Jadi begini.

Mentari memang miskin. Namun ia cerdas. Dan ia juga cukup beruntung. Karena itulah ia bisa bersekolah di sebuah SMP swasta yang mewah nan megah lewat bantuan program beasiswa.

Saat itu ia duduk di bangku kelas 8. Ia punya banyak teman. Satu di antaranya merupakan sahabat sejatinya sejak SD. Jesia.

"Tari."

"Kenapa, Je?"

"Mulai kelas 9 aku nggak sekolah di sini lagi. Aku pindah."

Mentari terkejut.

"Hah? Kok kamu pindah, sih? Emangnya ada apa?"

"Papa aku tugas ke luar negeri. Kami sekeluarga terpaksa pindah ke luar negeri."

Mentari tak dapat berkata-kata untuk beberapa saat lamanya.

"Tapi kita masih bisa berteman, kan? Kita berteman jarak jauh."

"Aku nggak tau, Ta. Aku nggak tau."

"Kok gitu, sih? Kita ini sahabat, Je. Sahabat sampai mati."

"Iya, aku tau. Tapi maksudku bukan tentang itu."

"Jadi tentang apa, dong?"

"Aku nggak tau kita masih bisa berhubungan atau nggak. Soalnya ...."

"Soalnya?"

"Soalnya ... soalnya ... soalnya aku sekeluarga mau pindah ke dasar Grand Canyon."

"Hah?"

"Habis itu katanya mau dipindahin lagi ke puncak Himalaya."

"Hah?"

"Selepas itu, katanya mau dipindahin lagi ke Kutub Selatan."

"Hah?"

"Dan, setelah semua itu, terakhir Papa mau ditempatkan di Korea Utara."

"...."

***

Mentari melanjutkan hidupnya tanpa semangat. Hari demi hari ia lalui tanpa hasrat. Untuk seorang anak yang tengah dalam masa peralihan - masa pencarian jati diri - usia labil - ABG - apa pun itu, yang penting cocok untuk kalimat ini - kehilangan harta yang paling berharga adalah sebuah bencana. Ia terlalu hijau untuk merasakan pahitnya kehilangan "hidup". Dan ia juga terlalu muda untuk memahami bahwa kehilangan "hidup" tidak sama dengan kehilangan hidup.

Mentari belum siap.

"Mentari. Ayo dong, dimakan nasinya. Nanti nasinya nangis, loh," kata ibu Mentari.

"Hm," jawab Mentari seadanya.

"Hhh ..."

***

"Satu kata. Satu kata saja. Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan musik. Bagi seorang Gita, apakah arti musik?"

"Hmm ... satu kata, ya .... Musik itu ... hidup."

"Konyol."

"Hm? Konyol?"

"Ng? Oh, nggak kok, Bu. Ini, Mentari lagi nonton TV."

"Ooh. Terus, yang konyol itu apa?"

"Ini, bisa-bisanya mensejajarkan musik dengan hidup. Konyol, kan? Jadi, kalau nggak ada musik, dia nggak bakalan mau melanjutkan hidup, dong."

"Wah, Mentari sudah dewasa, ya."

"Hah? Maksud Ibu?"

Saat ini Mentari sudah lulus SMA - maksudku saat itu.

Mentari tumbuh menjadi seorang gadis belia yang cantik bersinar. Tidak hanya itu, ia juga tumbuh menjadi seorang gadis muda yang tangguh. Sejak lulus SMP ia telah mulai mencari penghasilannya sendiri. Dan ia cukup hebat dalam hal itu. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa mengangkat derajat keluarga kecilnya. Dan pada akhirnya ia pun sanggup membiayai sendiri perkuliahan yang diambilnya.

Saat itu Mentari sedang berjalan ke kampusnya seperti biasa.

"Mentari!"

Mentari menengok.

"Jesia!"

Mentari tersentak.

"Jesia! Kamu Jesia, kan?"

"Iya, Tari. Ini aku."

"Waah ... waah ... waahh ...!"

Mentari senang bukan kepalang. Ia tak dapat berkata-kata. Lebih dari itu, ia tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia pun berlari dan memeluk Jesia erat-erat, seperti yang selama ini selalu ia lakukan setiap malam dalam seluruh mimpinya.

Mentari kembali menemukan "hidup"-nya yang hilang.

"Maaf, Ta. Maafin aku karena aku udah ninggalin kamu. Maafin aku karena selama ini aku udah membiarkan kamu sendirian. Maafin aku."

"Nggak apa-apa, Je. Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Yang penting sekarang kita bisa sama-sama lagi."

"Ya. Kita bisa sama-sama lagi. Dan, mulai dari sekarang, kita akan terus bersama sampai selama-lamanya."

"Ya. Terus bersama sampai selama-lamanya."

"Sampai selama-lamanya."

***

"TERKUTUK KAMU SAMPAI SELAMA-LAMANYA!"

Dan Mentari pun menangis pilu.

"Dia kenapa, sih? Habis teriak-teriak nggak jelas kayak orang gila, sekarang dia malah nangis."

"Yah, namanya juga anak baru. Dulu aku juga begitu, kok."

"Kalo dia kayak begitu, gimana mau melayani pelanggan?"

"Ya nggak mungkin, lah. Mana mungkin dia bisa melayani pelanggan dalam kondisi seperti itu. Untuk sementara, dia belum boleh kerja dulu. Harus ditunggu, sampai mentalnya pulih seperti sedia kala."

"Wah, ternyata kamu pengertian juga, ya."

"Bukan pengertian. Mengerti. Aku mengerti situasinya. Soalnya aku juga korban perdagangan manusia. Beda sama kalian yang memang dari awal udah bercita-cita pengen jadi pelacur."

"Sialan lu!"

"Hahahaha ...."

Jesia menjual Mentari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status