"Nama kamu siapa?" ucapnya dalam senyuman yang hina dan menjijikkan.
"Mentari, Mas.""Bukan itu. Aku tanya nama asli kamu," sambungnya sambil tetap meremas buah dada Mentari."Mentari itu nama asli, Mas.""Loh? Kamu nggak pake nama samaran?" Perhatiannya mulai sedikit teralihkan ke wajah Mentari."Nggak. Nggak ada gunanya pake nama samaran. Nama samaran hanya dipakai oleh mereka yang menyembunyikan identitasnya dari kehidupan mereka yang sesungguhnya di luar sana. Aku nggak punya kehidupan lain selain di sini, Mas.""Kok bisa gitu? Kampung halamanmu gimana? Kamu punya kampung halaman, kan?" Kali ini perhatiannya telah sepenuhnya teralihkan kepada pembicaraan yang ia angkat."Aku udah nggak punya lagi yang namanya kampung halaman, Mas. Nggak pernah dan nggak akan pernah terhubung lagi dengan kampung halaman, sama aja artinya dengan nggak punya, kan?""Berarti kamu benar-benar sebatang kara?" Ekspresi hina dan menjijikkan mulai pergi meninggalkan wajahnya."Namaku Mentari. Pekerjaanku pelacur. Ibuku Mami. Rumahku Pondok Kupu-kupu. Hanya itu identitasku, Mas. Nggak ada yang lain. Nggak ada yang lain."Kali ini ia membisu total."Aku ini korban perdagangan manusia."Dan ia pun tertegun.Dasar laki-laki brengsek. Setelah semua yang telah kau lakukan selama ini, sekarang kau mau berlagak sok suci? Mati aja lu sana.Maaf.***"Aku bawa kamu pergi dari sini. Ayo, ikut aku," kata lelaki itu kepada Mentari dalam sorot mata terbaik yang pernah ia perlihatkan seumur hidupnya."Jangan, Mas. Aku ini cuma seorang pelacur. Mas nggak usah mengambil risiko hanya untuk orang seperti aku.""Kamu nggak usah khawatir. Semua ini udah aku rencanakan dengan sempurna. Nggak akan ada yang bisa menghentikan kita. Kita pasti bisa keluar dari sini. Kamu pasti bisa keluar dari sini."Mentari tertegun."Kenapa Mas sampai mau melakukan semua ini?""Karena aku cinta sama kamu."***Mentari hanyalah korban. Orang boleh menghujatnya sesuka hati. Namun ia tahu bahwa ia tidak salah. Sejak dari awal ia tak pernah salah. Dan Mentari tahu bahwa Tuhan tahu itu.Mentari adalah seorang pelacur. Mentari adalah seorang pelacur yang diselamatkan oleh pelanggannya sendiri."Gimana, Mentari? Ini aku buat khusus buat kamu," ujar lelaki itu."Waah, indah sekali, Mas. Apa aku pantas mendapatkannya?""Kamu pantas mendapatkannya. Sangat pantas."Mentari tersenyum hangat."Satu lagi, Mentari. Mulai sekarang, aku mau kamu berhenti memanggilku Mas. Kamu harus panggil aku Ruka.""Baik, Mas. Ah, maksudku, Ruka."Mentari tersenyum malu.***"RUKAAA ...."Dan Mentari pun menangis pilu."Kejar dia! Kejar anak dan istrinya sampai dapat! Kejar dan bunuh mereka, apa pun yang terjadi!"Namun Mentari dan anaknya berhasil melarikan diri.Namun tidak dengan Ruka. Ia mati."Aku bersumpah, demi segalanya yang ada di dunia ini, kamu akan hidup bahagia. Kamu nggak akan pernah menderita. Kamu akan hidup bahagia. Kamu akan hidup bahagia, sampai selama-lamanya," ujar Mentari kepada anaknya, berkali-kali, sepanjang perjalanan, sampai ucapan itu terukir sempurna dalam benak dan ingatan sang anak.Ruka harus bahagia.Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.
Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia
“Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat
“Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r
Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”
“Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat