"Apakah tadi itu tidak terlalu gegabah? Kita masih belum mencari seorang pria yang cocok untuk Anda." Sekretarisnya mencoba mengingatkannya ketika semua prosesi pemakaman kakeknya selesai.
"Tenang saja, aku tidak membutuhkan seorang suami yang cocok." ujarnya santai sambil berjalan memasuki ruang duka yang sudah mulai kosong. "Aku hanya membutuhkan seorang pria dengan beberapa kriteria."
Anna adalah sekretaris yang andal. Hingga dengan kalimatnya singkatnya saja, dia langsung membuka buku dan bersiap menulis catatannya. "Aku akan mencarikannya untuk Anda. Mungkin kita bisa menemukan satu orang yang sesuai kriteria Anda, di antara para putra direktur perusahaan lain."
"Tidak, tidak. Aku tidak mau menikahi satu orang pun pria mata duitan itu. Sebaliknya, aku akan menikahi seorang pria dari latar belakang miskin." ucap gila Elsie yang membuat Anna menatapnya dengan mata terbelalak. "Ide bagus. Aku seharusnya memikirkan ini dari awal!"
"Eh?!"
"Tulis secepatnya, sebelum aku lupa." perintahnya pada Anna yang langsung sigap memegang buku jurnalnya, meskipun terlihat agak ragu-ragu. "Satu, usianya harus berkisar antara dua puluh dua tahun sampai tiga puluh tahun. Aku benci pria yang lebih muda dariku, tapi aku tidak mau dia terlalu tua untukku. Jadi dia harus seumuran denganku atau di atasku."
"Dua puluh dua tahun sampai tiga puluh tahun." Sekretarisnya mengulang kembali ucapannya selagi dia menulisnya di dalam buku.
"Yang kedua, aku ingin dia seorang pria yang miskin dan belatar belakang keluarga melarat. Aku benci pria angkuh. Walaupun itu tidak akan menjamin, tapi aku pasti akan mendapatkan seorang pria rendah hati di antara mereka."
Baru dia menaruh mata pulpennya pada permukaan kertas, mendadak Anna menatapnya lagi dan meragukannya, "Anda yakin? Menurutku, syaratnya sedikit ...,"
"Ya." jawabnya cepat. "Cepat tulis."
Setelah selesai dengan poin kedua. Ia memberi kriteria tambahan lagi.
"Aku tidak suka jika dia pintar. Aku mau pria itu bodoh. Sehingga dia tidak akan memiliki ide untuk merebut harta keluargaku." Belum cukup dengan tiga tipe pilihannya yang aneh, ia memparahnya dengan pilihan yang lainnya. "Aku harap dia juga tidak tampan. Intinya aku hanya ingin seorang pria yang tidak bisa aku cintai. Itu saja."
"Dengan tipe seperti ini, sepertinya Anda dapat menemukannya di jalanan sekaligus." gerutu Anna karena tidak setuju dengan pemikiran unik bosnya.
Elsie menyunggingkan senyum dan terkekeh geli, "Benarkah? Apakah akan semudah itu mencari pria yang kuinginkan? Itu kabar bagus. Kalau begitu, Aku bisa segera menikah lalu aku langsung akan mengklaim warisanku."
"Direktur." rengek Anna atas keputusannya.
Di saat ia sibuk berbicara dengan sekretarisnya, seseorang memanggil namanya dan memeluknya erat. "Elsie."
Tanpa perlu memastikannya dua kali, ia bisa tahu kalau sahabat dekatnya-lah yang saat ini mendekapnya dari belakang. "Astaga, aku kira siapa. Ternyata yang datang adalah seorang dosen yang cengeng."
"Kau mengejekku?" ucap Nia sambil melepaskan dirinya dari pelukannya. "Maafkan aku, aku tidak bisa datang tepat waktu. Aku memiliki beberapa jadwal yan tidak bisa kubatalkan."
"Tidak masalah. Tidak perlu merasa tertekan, apalagi aku memang tidak berencana membuat acara ini terlalu besar dan megah." Di tengah pembicaraan yang hangat itu, ia merasakan ada kehadiran sosok asing yang cukup mengganggu dirinya. "Kau tidak datang sendiri. Siapa dia?"
"Ah! perkenalkan, dia asistenku. Aku tadinya hendak datang kemari sendiri, tapi karena kemarin aku lembur semalaman, dia pun akhirnya membantuku menyetir mobilku sampai di sini."
Matanya yang tajam memindai pria itu dari atas ke bawah dan ia pun di buat ngeri dengan keadaan pria ini. Dia memakai pakaian yang hampir tak layak pakai, lantaran sudah nyaris sobek sana-sini oleh sebab pemakaian berturut-turut yang mungkin tak terhitung jumlahnya. Lalu celana jeans yang di pakainya sudah lusuh dan warnanya benar-benar luntur tak berbekas. Terakhir, yang paling parah adalah sepatunya. Dia memiliki sepatu yang sudah sangat buruk, lapisan bawah sepatunya hanya bersisa sangat tipis dan pria itu tampaknya akan menggunakan —barang rongsokan— itu lebih lama lagi.
Ironisnya, asisten Nia memiliki wajah yang dinilai cukup tampan. Namun apa gunanya ketampanannya? Wanita gila mana yang akan mengejarnya, jika kondisinya seperti ini.
"Oh ya, aku bisa menumpang kamar mandi di sini? Di mana letak kamar mandinya?" tanya Nia sambil menatap ke sekeliling.
"Anna, tunjukkan padanya kamar mandi yang ada di ruang tunggu keluarga. Di sana lebih bersih."
"Baiklah. Silakan ikuti saya."
Lalu keduanya pergi, meninggalkan dirinya —seorang diri— dengan pria yang mengganggu kenyamananya itu.
Elsie akui, dirinya adalah orang yang hebat dalam melobi. Namun itu bukan berarti dirinya masuk dalam kategori orang ramah, yang akan berbicara basa-basi pada semua orang. Sebaliknya, ia biasanya akan bersikap cuek, bahkan dia akan berlaku dingin, jika orang yang ada di depannya bukanlah orang yang bisa menguntungkannya. Itu merupakan sikap yang dipelajarinya sejak kecil, yang dulu diajarkan oleh mendiang kakeknya. Namun diakhir hidupnya, sepertinya dia mulai menyesal karena telah mengajarkan sikap itu padanya.
"Maaf, aku pulang tanpa mengabari." Kini ia tak memiliki tempat lagi untuk merasa nyaman. Ia tak tahu kapan pria itu datang, tapi tiba-tiba saja ketika dirinya baru menoleh ke arah lain sejenak, Eizel tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
"Lupakan saja, lagipula aku tak tertarik. Namun biar kuperingatkan dari awal, jangan berani-berani berpikir untuk mencuri harta keluargaku dariku. Bukankah diangkat sebagai cucu oleh kakekku, itu sudah cukup untukmu. Jadi jangan melewati batas." ucapnya sambil mendesis kesal.
"Haruskah kau berkata sedingin itu, setelah kita lama tak berjumpa?"
"Lantas apakah kau berharap aku akan menyambutmu dengan tangan terbuka dan pelukan hangat?"
Aneh sekali, ia tak sedang melucu, tapi pria ini bisa terkekeh mendengar sindirannya. Hanya saja, senyumannya itu tak bertahan lama. Seperti dirinya, kini Eizel juga menangkap kehadiran sosok asisten Nia, yang tampak mengusik keingintahuannya. "Siapa dia? Apakah kau mengenalnya?"
Melihatnya terganggu oleh asisten Nia, Elsie menjadi tertantang untuk membuatnya semakin resah,
Tanpa meminta ijin, ia mengaitkan tangannya di lengan pria itu dan tersenyum lebar, "Tentu. Bukankah aku sudah mengumumkannya tadi kalau aku akan menikah. Perkenalkan, dia calon pengantin pria-ku."
Dalam sekejap, ada aura bingung dan tak percaya di wajah Eizel, yang membuatnya sangat puas. Namun ia lupa, ia belum meminta persetujuan pria ini.
"Maaf." Entah karena tidak peka, atau pria ini ingin mempermalukannya. Asisten Nia melepaskan tangannya dan menatapnya serta Eizel secara bergantian. "Jika kalian ingin saling bertengkar, silakan saja. Namun jangan sangkut-pautkan orang lain dalam masalah kalian. Aku pergi."
Elsie yang merasa dipermalukan, hanya dapat melotot melihat pria itu dan kini ia menjadi tak bisa berkata-kata oleh tindakan pria itu, "Apa yang ...?!"
...****************...
"Dasar pria kurang ajar!" pekik keras Elsie selagi terperanjat dari tidurnya.Sontak karena lengkingan suaranya itu, semua orang mendelik ke arahnya, terlebih Anna yang duduk tepat di sampingnya."Direktur, Anda baik-baik saja? Apakah Anda bermimpi buruk?"Sambil memegang kepalanya yang terasa pusing, ia mengangguk malu. "Aku baik-baik saja. Tenggorokanku kering, ambilkan aku minum."Sementara Anna sibuk mengambilkan dan membukakan minum untuknya. Elsie mencoba untuk mengatur kembali perasaannya yang mulai memburuk.'Semua ini karena pria itu!'Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden memalukan itu. Meskipun begitu, Elsie masih tetap menyimpan dendam untuk asisten Nia. Bukannya karena ia tak mau melupakan kejadian itu, tapi karena ia tak bisa menghapus kenangan buruk itu dari kepalanya. Hingga dari hari ke hari ia hanya dapat terus merasa kesal, dan pada puncaknya ia mulai mengumpatnya di tengah tidur seperti yang terjadi barusan.
Semenjak kejadian di pemakaman itu, Nia merasa takut untuk bertemu dengan Elsie. Meskipun hubungannya dengan sangat dekat sedari kecil ..., tidak, justru karena hubungannya dekat sejak kecil, Nia menjadi tahu —dengan sangat jelas— seperti apa sifat pemarah Elsie.Tak perlu Elsie, Nia pun juga akan kesal jika berada di posisi temannya saat itu. Terlebih temannya memiliki harga diri yang cukup tinggi, dan ketika dia menjadikan Alvan sebagai kekasih palsunya, sebenarnya dia sedang melindungi harga dirinya dari Eizel yang merupakan pesaingnya. Namun sayang sekali, Alvan mengacaukan segalanya. Bahkan Nia —yang melihat kejadian itu secara langsung— tidak berhenti-hentinya mengangakan mulutnya, lantaran peristiwa itu lebih menyerupai tragedi, alih-alih hanya kesalahan semata."Bagaimana ini? Haruskah aku menghubunginya? Namun bagaimana jika dia meneriakiku sebagai gantinya?" gumamnya.Lalu selagi matanya melirik ke arah meja asistennya, ia
Semenjak pertemuannya dengan wanita itu, Alvan merasa ada yang janggal dalam kehidupannya.Manajer toko yang sebelumnya berjanji hendak memperpanjang kontrak kerjanya, mendadak berubah pikiran dan membatalkan perpanjangannya.Lalu ditengah persoalan itu, Profesor Nia memperlakukannya dengan baik, bahkan sangat baik. Seolah dia hendak memberikan kesan baik sebelum mengucapkan salam perpisahan dan memecatnya.Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa mendadak kehidupannya yang stabil berubah menjadi seperti ini?Alvan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Profesor Nia yang mungkin mengetahui penyebab kondisi ini melebihi dirinya."Profesor, apakah aku akan segera dipecat?" tanyanya di tengah mereka menyantap makan siang bersama.Profesor Nia nyaris tersedak ketika mendengar pertanyaannya, lalu menatap makanannya dan bergumam, "Maaf.""Kenapa? Apakah kinerja saya kurang bai
Tanpa diduga, ternyata peristiwa meninggalnya kakeknya tidak membawa dampak yang sangat besar seperti perkiraannya selama ini. Rupanya minimnya tugas direktur utamalah yang menjadi salah satu alasan mengapa kondisi perusahaan tak banyak berubah sepeninggalannya.Namun meskipun begitu, Elsie tidak menyangkal kalau topik 'penerus' saat ini masih gencar terdengar di antara karyawannya. Bahkan di antara para petinggi, ia bisa merasakan kebimbangan mereka yang terus merubah suara dukungan mereka. Hingga Elsie tidak bisa lagi menghitung seberapa banyak pendukungnya."Jika begini, warisan itu akan jatuh ke tangan Eizel." ucapnya dengan menyebutkan nama, lantaran ia tak ingin menganggapnya sebagai saudaranya. Baginya pria itu hanyalah lintah penghisap."Tak perlu khawatir. Kita bisa masih bisa menahan rapat pemegang saham, hingga pria itu menghubungi Anda." Sekretarisnya mencoba meyakinkannya."Sudah berapa lama? Sudah berapa lama sejak ke
Setelah kedua pihak menyetujui perjanjian mereka dan bersumpah akan menepatinya, Elsie langsung memboyong Alvan ke sebuah butik pakaian yang tampak megah. Di sana, seperti anak hilang, tiba-tiba saja Alvan diarahkan ke ruangan ganti yang besar dan di sodorkan dengan banyak setelan pakaian, hingga ia tak ingat berapa banyak pakaian yang ia coba. Hanya kata "tidak", yang menjadi satu-satunya ingatannya, lantaran terus-menerus diucapkan Elsie sebagai tanda ia harus kembali ke ruang ganti."Bagaimana jika kita pilih saja satu dari semua yang sudah kita coba?" bantah Alvan ketika ia sudah merasa teralu lelah untuk harus bolak-balik dari ruang ganti ke ruang tunggu.Namun dengan wajah yang dingin, Elsie menunjukkan ketidaksetujuannya. "Sepanjang aku melihat, aku belum menemukan satu pun yang bagus."Alvan mengambil satu setelan berwarna merah tua yang berada di gantungan, lalu menunjukkannya pada Elsie. "Ini bagus.""Tidak. Menurutku itu kurang terlihat menonjol."
Akhirnya tujuannya tercapai. Setelah menghabiskan tenaganya untuk berkeliling dan menyambut para tamu undangar, Elsie berhasil menyebarkan kabar pernikahannya.Banyak dari para pemegang saham yang mulai memihaknya, bahkan tak sedikit dari pihak saingannya yang mulai bersatu dengannya. Semua ini harus ia lakukan demi warisan itu. Ia akan segera menikahi Alvan dan mendapatkan semua harta warisan keluarganya."Kau senang?" tanya Alvan padanya setelah menyadari wajahnya tampak berseri-seri, meskipun kakinya menjerit kelelahan. "Kau tersenyum begitu lebar."Elsie menatap Alvan cukup lama dan melihat bagaimana pria itu mulai memperlakukannya tidak formal."Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya bingung."Kau berbicara dengan informal."Mendadak air muka Alvan berubah dan kini dia terlihat lebih sopan seperti dirinya ketika pertama kali menyetujui perjanjian ini. "Maafkan aku.""Tidak. Tidak masalah." Elsie menggeleng dan men
Begitu tiba di rumahnya, Eizel langsung menghancurkan semua benda yang ada di hadapannya. Dimulai dengan vas bunga, lalu hiasan meja yang terbuat dari kaca, hingga pajangan fotonya, semua mulai hancur satu per satu.Meskipun ia mencoba melampiaskan kemarahannya pada benda-benda di rumah tersebut, api di dalam dirinya tak juga kunjung pudar. Justru emosinya semakin membesar, seolah ia menuangkan bensin ke atasnya.Ddrrtt ..., drrrtt ...Ponselnya berbunyi di saat yang tidak diinginkannya."Halo.""Halo." Suara Direktur Johan terdengar begitu sangat jelas di telepon. "Kau baik-baik saja? Kenapa pulang sebelum pestanya selesai?"Eizel melepaskan jasnya yang masih melekat pada tubuhnya, lalu melonggarkan dasinya yang terasa menekik dirinya. "Aku sedang tidak enak badan.""Ah, begitu. Sayang sekali. Padahal ini saat yang tepat untuk memperlihatkan diri ke dewan direksi."Dewan direksi, pemegang saham, warisan, masa
Sudah puluhan kali ia bertemu dengan para petinggi pemerintah, sudah ratusan kali ia bertatapan langsung dengan investor besar, dan tak terbilang jumlahnya Elsie bertemu orang terkemuka. Namun untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bertemu dengan calon mertuanya. Meskipun pada awalnya ia tak merasa tak perlu menghakhawatirkan kondisi ini, tapi saat ia sudah di depan pintunya, ia merasa gugup juga.Tarik napas, keluarkan.Lalu ia mencengkram erat-erat buket bunganya dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu.Tak lama kemudian, pintu pun terbuka, dan meskipun mereka belum pernah bertemu, tapi wanita yang membukakannya pintu itu tidak menanyakan identitasnya. Seakan dia tahu siapa dirinya dan alasannya berada di sana."Silakan masuk." ajaknya sambil menuntun Elsie ke sebuah ruangan kecil yang berisikan ruang makan, ruang tamu dan ruang keluarga, sekaligus."Kau sudah datang?" Seorang wanita berkepala lima muncul dan tersenyum sangat ramah